Dinamika Asumsi dan Perubahan APBN di Era Ketidakpastian

Senin, 22 April 2024 - 16:23 WIB
loading...
A A A
Salah satu efek yang paling mencolok dari kenaikan harga barang adalah meningkatnya biaya impor, terutama jika barang tersebut merupakan bahan baku vital dan mesin-mesin produksi (barang modal), yang tentu akan menekan daya saing barang tersebut. Indonesia sebagai negara net-importir minyak, tentu akan terkena imbas naiknya harga minyak dunia.

Pemerintah tentu akan berupaya keras untuk tetap menjaga harga BBM pada level yang diinginkan. Dengan kata lain, belanja subsidi untuk BBM akan naik signifikan. Berdasarkan estimasi perhitungan yang ada, pemerintah setidaknya harus menambah anggaran untuk subsidi BBM hingga Rp50 triliun-Rp110 triliun, konsekuensinya tentu defisit fiskal akan melebar, bahkan lebih tinggi dari ketentuan (3%).

Di sisi lain, apabila pemerintah memilih untuk membiarkan harga BBM non-subsidi sesuai harga dunia, maka berbagai komoditas penting dalam proses produksi tersebut akan terkerek naik, inflasi akan terkerek juga. Efeknya adalah pada daya beli masyarakat secara umum. Saat ini, daya beli masyarakat di kelompok menengah pun juga rentan oleh kenaikan harga.

Bagaimana kebijakan moneter? Bank Indonesia bisa saja menaikkan suku bunga acuan sebagai upaya menekan angka inflasi. Satu sisi, kebijakan tersebut dapat menekan nasabah/ masyarakat terutama naiknya beban cicilan kreditnya, sisi lain, akan mampu menahan meningkatnya jumlah modal keluar (capital outflow) yang tentu akan menekan nilai rupiah. Pilihan-pilihan kebijakan tersebut memperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah dan bank sentral.

Adapun keberhasilan Indonesia dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah berbagai guncangan ekonomi yang terjadi tak lepas dari peran APBN. Bahkan, hingga di tahun 2024 kini, APBN Indonesia masih menjadi instrumen kebijakan yang dapat diandalkan dalam menghadapi gejolak ekonomi dan geopolitik, serta mendukung berbagai agenda pembangunan.

Sejatinya, pemerintah dan DPR RI telah menyepakati asumsi dasar makro pada APBN 2024, yaitu pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2%, inflasi yang terkendali sebesar 2,8%, nilai tukar rupiah sebesar Rp15.000/US$, suku bunga SBN 10 tahun sebesar 6,7%, harga minyak dunia (ICP) sebesar US$82/Barel, lifting minyak sebesar 635 ribu barel per hari, serta lifting gas sebesar 1,033 juta barel setara minyak per hari.

Pun pendapatan negara 2024 diestimasi sebesar Rp2.802,3 triliun, dengan sumber terbesar dari dari penerimaan perpajakan sebesar Rp2.309,9 triliun, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp492 triliun. Upaya optimalisasi pendapatan negara dilakukan, dengan tetap memperhatikan keberlanjutan dunia usaha dan daya beli masyarakat, serta aspek keadilan dalam sistem perpajakan.

Lebih lanjut, belanja negara dalam APBN Tahun 2024 direncanakan sebesar Rp3.325,1 triliun, dengan alokasi terbesar untuk belanja pemerintah pusat sebesar Rp2.467,5 triliun, serta transfer ke daerah sebesar Rp857,6 triliun. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka defisit APBN tahun 2024 pun telah disepakati oleh DPR RI sebesar 2,29% dari PDB atau secara nominal 522,8 Triliun.

Oleh sebab itu, dengan berbagai dinamika ketidakpastian yang ada, maka pemerintah perlu terus berkerja keras dalam melakukan pengelolaan APBN, penerimaan, belanja dan juga pembiayan serta kolaborasi dengan bank sentral termasuk memaksimalkan peran KSSK dalam menjaga Indonesia tetap tumbuh dan resilien.

Urgensi Menjaga Kredibilitas APBN


Pendekatan efektif yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan penyesuaian APBN melalui penetapan skala prioritas dalam perencanaan dan penganggaran serta melakukan perubahan dengan menganalisis sektor-sektor yang memiliki risiko rendah terhadap perubahan ekonomi.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1248 seconds (0.1#10.140)