Kampanye Pilpres-Pemilu Minim Ide dan Lebih Banyak Berisi Cacian

Jum'at, 16 November 2018 - 13:59 WIB
Kampanye Pilpres-Pemilu Minim Ide dan Lebih Banyak Berisi Cacian
Kampanye Pilpres-Pemilu Minim Ide dan Lebih Banyak Berisi Cacian
A A A
JAKARTA - Jelang Pilpres 2019 dan Pemilu 2019 , ruang publik di Indonesia dibanjiri konten mengenai pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Sayangnya konten yang mengemuka semakin tidak bermutu dan berulang-ulang.

Hal ini disampaikan Guru Besar Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Komaruddin Hidayat. Pendapat Komaruddin ini sebelumnya sebagai opini di KORAN SINDO dan SINDOnews dengan judul Political Fatigue, Jumat (16/11/2018).

Komaruddin melihat, para aktivis politik seperti kehabisan gagasan yang cerdas dan menarik ditonton. Ada yang bagus, namun banyak juga isinya cacian dan hujatan antara pihak-pihak yang berbeda pilihan politiknya.

Sekarang ini untuk berpose foto dengan acungkan tangan saja mesti pikir-pikir karena akan ditafsirkan sebagai pilihan politik. “Misalnya dengan acungkan telunjuk jari atau jempol akan dianggap sebagai pendukung pasangan capres-cawapres nomor satu. Atau dua jari yang semula dimaknai victory, sekarang ditafsirkan sebagai kampanye pasangan capres-cawapres nomor dua,” katanya.

Sedemikian masifnya pengaruh politik ini sehingga hampir semua obrolan, ujung-ujungnya masuk pilihan politik praktis. Sebuah perdebatan menjadi semakin sensitif ketika dibumbui dengan preferensi keagamaan.

Bahkan bendera bertulis kalimat syahadat saja menjadi pertikaian seru ketika ditarik ke ranah politik. Gesekan yang muncul tidak sebatas antarparpol peserta pemilu, tetapi juga ormas-ormas pendukung yang berafiliasi politik.

Aspek politik dari situasi ini adalah rakyat mulai terkondisikan terlibat dalam proses politik nasional. Rakyat mulai melek politik dan memiliki kebebasan berekspresi.

Situasi ini sangat jauh berbeda dibandingkan zaman Orde Baru. Dulu, untuk mengadakan seminar saja mesti izin ke aparat keamanan dan ada intel yang diam-diam mengawasi.

Untuk ceramah agama sekalipun pembicara mesti hati-hati jangan sampai mengkritik pemerintah. Salah-salah bisa dianggap merongrong wibawa negara atau subversi yang berujung ke penjara.

Kebebasan berbicara ini merupakan salah satu prestasi reformasi yang paling fenomenal. “Adapun negatifnya, kita dibuat lelah ketika para politisi dan partai politik tidak dewasa serta cerdas dalam mengisi ruang kebebasan,” ujarnya.

Padahal melalui parpol, sebenarnya rakyat bisa menyalurkan aspirasinya untuk ikut serta mengatur pemerintahan dan negara. Sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, di mana seleksi dan rekrutmennya melalui mekanisme kepartaian secara fair dalam alam demokrasi. “Idenya sangat bagus dan mulia, tetapi praktiknya kedodoran. Berpolitik miskin gagasan dan modal,” tandasnya.

Hal yang mengemuka kemudian perebutan kekuasaan dengan modal jumlah suara dan mengandalkan uang untuk membeli suara rakyat serta ongkos operasional parpol yang amat mahal. “Dari mana uang didapat? Dari para pengusaha yang ingin membeli kebijakan publik untuk kepentingan bisnisnya, bukan untuk rakyat,” tuturnya.

Mengingat kekuatan uang tidak menjamin kemenangan untuk meraih suara, maka masih ada dua senjata lainnya, yaitu para tokoh selebritas yang dikenal luas masyarakat agar mau bergabung ke parpol untuk maju jadi calon legislatif (caleg), dengan harapan popularitas mereka akan mendongkrak suara. Tetapi, kelihatannya peran selebritas ini sudah menurun. Lalu dimainkanlah sentimen dan identitas keagamaan.

Sekarang ini wacana di ruang publik sarat dengan pesan dan ekspresi politik dengan berbagai formatnya, baik tersamar maupun terang-terangan. Baik yang lucu, kocak, sampai yang vulgar dan kasar dengan penuh hujatan dan cacian.

“Saya menduga dan juga berharap, rakyat mulai jenuh. Namun, ada saja sekelompok orang yang mencari sumber rezeki dengan menggoreng isu politik agar selalu panas, sensasional, dan mengundang perhatian rakyat. Bahkan, ada yang secara kreatif menciptakan hoaks,” jelasnya.

Lebih lanjut Komaruddin merasakan masa kampanye dan sosialisasi ini terlalu lama waktunya sehingga menimbulkan kelelahan psikis. Agenda sosialisasi dan pendidikan politik tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. “Yang muncul cacian dan hujatan, miskin pemikiran dan program yang bermutu sehingga mental masyarakat dibuat lelah,” imbuhnya.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5106 seconds (0.1#10.140)