Gembira Beragama, War Takjil, dan Moderasi Beragama

Kamis, 04 April 2024 - 09:30 WIB
loading...
Gembira Beragama, War Takjil, dan Moderasi Beragama
Foto: Istimewa
A A A
Anis Masykhur
Kepala Subdit Pendidikan Kesetaraan Dit. Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren


RAMADAN
tahun ini, ada dua fenomena beragama yang jika diamati secara kasat mata menunjukkan gejala menggembirakan. Yakni mulai bergeraknya program "Gembira Beragama", dimulai dari Provinsi Jawa Barat dan Bengkulu, pada pertengahan Maret lalu (19/3).

baca juga: War Takjil Komunikasi Penuh Kedamaian sebagai Ciri Budaya Indonesia

Program Gembira Beragama sejatinya telah di-launching Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 20Februari lalu, dalam Rapat Kerja Nasional Forum Komunikasi Penanggulangan Terorisme (FKPT).Istilah "Gembira Beragama" ini memiliki dua makna; hakiki dan majazi. Gembira Beragama menjadi nomenklatur program yang merupakan akronim dari Gerakan Muda Bahagia Bernegara-Beragama.

Program ini menjadi tema pokok yang akan diseminasikan ke 34 provinsi di tahun 2024, yang menyasar tokoh agama dari kalangan pemuda. Secara hakiki memanglah dalam beragama harus dijalankan dengan bahagia, gembira dan santai. Agama membawa misi mewujudkan kebahagiaan dan pencerahan bagi pemeluknya. Agama tidaklah membawa ketakutan, apalagi mewariskan kebencian.

Di saat bersamaan, memasuki pekan kedua hingga menjelang akhir Ramadan, ada gerakan "penyerbuan" takjil Ramadan oleh nonis--istilah baru sebutan bagi non muslim--dalam rangka turut menyemarakkan kehidupan keberagamaan selama bulan suci Ramadan, yang dikenal dengan sebutan "war takjil".

baca juga: Fenomena War Takjil, Kapolri: Artinya Ekonomi Masyarakat Saat Ini Alhamdulillah

War takjil sendiri dipromosikan oleh Pdt Steve Marcel di beberapa khutbahnya di gereja saat pelaksanaan ibadah kaum kristiani, sebagai wujud implementasi toleransi secara riil. "Dalam beragama kita toleran, tapi dalam takjil kita duluan," kelakarnya. Meskipun motivasi sebenarnya adalah bersifat pragmatis, yakni ingin "berburu" jajanan yang jarang muncul di hari-hari biasa.

Pdt Marcel termasuk model tokoh agama yang unik. Ia membawakannya dengan gaya yang melawan mainstream yang selalu serius. Ia memperlihatkan bagaimana pentingnya beragama dengan gembira. War takjil menjadi makin populer di kalangan nonis yang ingin berpartisipasi dalam menikmati "berkah" Ramadan, yakni merasa dalam satu rasa merayakan kebahagiaan berbuka puasa. Fenomena ini tentu hanya terjadi di Indonesia.

Memang bangsa Indonesia banyak "gaya" dalam beragama, menunjukkan ekspressi gembira dalam beragama yang tidak akan pernah dimiliki bangsa lain. Hal demikian ini tentunya juga tidak bisa dipisahkan dengan semangat pemerintah dalam menggelorakan moderasi beragama yang "dikomandoi" Kementerian Agama melalui amanat Perpres No. 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024.

Gembira Beragama dengan war takjil harus diakui sebagai bagian dari ekses dan dampak implementasi riil moderasi beragama Ramadan tahun ini. Gejala "war takjil" dan "Gembira Beragama" adalah gejala positif dalam tradisi beragama di Indonesia.

baca juga: Santuni 1.500 Anak Yatim, Ketum IWAPI: Gak Usah War Takjil, tapi War Sedekah

Basis budaya masyarakat agraris tidak bisa dipisahkan sebagai fondasi bahwa doktrin agama terlihat begitu cair (fluid), sehingga agama menunjukkan tanda fleksibililitasnya. Dalam bahasa agama, sering terdengar bahwa ajaran agama itu selalu menyesuaikan dengan perubahan zaman dan tempat (shalih likulli zaman wa makan).

War Takjil Bukan Sinkretisme Beragama

Respon masyarakat terhadap fenomena war takjil beragam, ada yang bahagia karena beginilah potret kehidupan beragama masyarakat nusantara yang senantiasa diwarnai kebersamaan dan penuh nuansa kegembiraan. Tapi ada pula yang menganggap sebagai bentuk pencampuradukan ajaran agama. War takjil dianggap sinkretis.

Dalam hukum Islam, harus dibedakan antara ushul (pokok) dan furu' (cabang). Dalam ajaran yang bersifat pokok, tidak dibenarkan mencampuradukkan keyakinan dengan keyakinan atau aspek yang lain. Namun dalam hal furu', bisa dimungkinkan karena adanya kebaruan yang memerlukan pendapat hukumnya. Sementara takjil ini tidaklah masuk dalam ushul maupun furu'. Sehingga jika ada pelibatan nonis tidak akan mengganggu keyakinan.

baca juga: Fenomena Takjil War Viral, Muhammadiyah: Wujud Kerukunan Umat

Takjil di kalangan masyarakat Indonesia dipahami sebagai budaya yang diinisiasi karena adanya perintah Rasul SAW untuk menyegerakan berbuka puasa. Menyegerakan berbuka puasa itu disebut takjil. Namun dalam perkembangannya, terjadi pendefinisian baru takjil. Takjil menjadi bermakna makanan atau hidangan untuk buka puasa.

Tentunya pergeseran makna ini terjadi adalah akibat sifat kelenturan ajaran agama dan budaya nusantara. Betapa ajaran agama akan mengalami pelbagai penyesuaian sebagaimana takjil ini. Mari kita ekspresikan agama dengan penuh keriangan, sehingga umat merasa asyik ketika beragama dan tentunya makin menambah semarak suasana Ramadan.
(hdr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0963 seconds (0.1#10.140)