Sidang Tahunan Dikritik, Presiden Dinilai Tak Bisa Wakili Yudikatif
loading...
A
A
A
JAKARTA - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah menggelar Sidang Tahunan menjelang Hari Kemedekaan Republik Indonesia yang ke-75 di Gedung MPR-DPR, Senayan, Jakarta, Jumat 14 Agustus 2020.
Acara juga dirangkai denganSidang Bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam sidang yang digelar di Gedung MPR-DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8/2020), Presiden Joko Widodo menyampaikan laporan kinerja Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), dan Mahkamah Agung (MA).
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie menilai model sidang tahunan yang berisi laporan lembaga-lembaga negara selama setahun terakhir yang diwakili oleh Presiden, tidak tepat.
"Secara substansial, cabang-cabang kekuasaan melalui trias politica telah dipisah melalui mekanisme separation of power. Presiden tidak bisa mewakili lembaga legislatif maupun yudikatif. Termasuk badan pemeriksa keuangan (BPK). Ke depan perlu diatur mengenai pelaporan tiap-tiap lembaga untuk menyampaikan secara langsung di hadapan sidang MPR," kata Ahmad Tholabi dalam keterangan tertulisnya, Jumat 14 Agustus 2020. ( )
Dia menyarankan ke depan, materi pelaporan dalam sidang tahunan juga perlu ditekankan pada penyampaian kondisi obyektif tiap-tiap lembaga. Sidang Tahunan tidak hanya menyampaikan "kabar gembira" namun tantangan dan persoalan di masing-masing lembaga sebaiknya disampaikan dalam forum Sidang Tahunan ini. Sidang ini dilihat oleh seluruh rakyat Indonesia.
"Rakyat berhak mengetahui bagaimana kondisi oyektif tiap-tiap lembaga negara. Upaya ini agar Sidang Tahunan tidak terjebak pada agenda rutin yang lebih menonjol sisi seremonial saja," katanya.
Kendati demikian, Ahmad Tholabi menegaskan materi pidato Presiden yang menyebut pandemi ini dijadikan momentum kebangkitan baru untuk melakukan lompatan besar patut didukung.
Dia juga menyerukan perlunya upaya "great reset" atau penataan ulang secara besar-besaran di semua sektor melalui jalur hukum. Hukum harus responsif atas persoalan pandemi dan dampak turunan akibat pandemi.
"Penataan ulang secara besar-besaran (great reset) harus diwujudkan melalui hukum dengan tetap menjadikan konstitusi dan demokrasi sebagai kompasnya. Jangan sampai langkah "great reset" justru terjebak pada pengabaian konstitusi dan demokrasi," tuturnya.
Menurut dia, titik tekan Presiden ke sejumlah sektor seperti pendidikan, penegakan hukum, pemberantasan korupsi, dan legislasi tampak mengabaikan realitas yang terjadi di lapangan.
Dia mencontohkan persoalan pendidikan. Hari-hari ini siswa dan orang tua siswa termasuk kalangan perguruan tinggi di masa pandemi menjadi masalah krusial yang hingga saat ini belum menemukan format ideal.
Begitu juga mengenai legislasi antara DPR dan Presiden. Menurut dia, aspirasi masyarakat sipil mengenai pembahasan sejumlah RUU di DPR saat masa pandemi ini, luput dari cermatan Presiden. "Aspirasi dari warga negara semestinya menjadi catatan penting bagi negara dalam perumusan setiap kebijakan publik, khususnya produk legislasi," tandasnya.
Terkait pelaporan kinerja MA dan KY dalam sidang tahunan ini, kata dia, Presiden semestinya turut mendorong reformasi di lembaga peradilan yang hingga saat ini masih menyisakan masalah serius.
"Dorongan lahirnya RUU Jabatan Hakim menjadi salah satu embrio awal untuk kehadiran reformasi di lembaga peradilan. Gagasan share responsibility antara KY dan MA diharapkan menjadi resep jitu untuk menempatkan hakim dalam muruwah yang sejatinya," tuturnya.
Lihat Juga: Tom Lembong Ditahan Kejagung, Pakar Ingatkan Omongan Jokowi Minta Kebijakan Jangan Dikriminalisasi
Acara juga dirangkai denganSidang Bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam sidang yang digelar di Gedung MPR-DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8/2020), Presiden Joko Widodo menyampaikan laporan kinerja Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), dan Mahkamah Agung (MA).
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie menilai model sidang tahunan yang berisi laporan lembaga-lembaga negara selama setahun terakhir yang diwakili oleh Presiden, tidak tepat.
"Secara substansial, cabang-cabang kekuasaan melalui trias politica telah dipisah melalui mekanisme separation of power. Presiden tidak bisa mewakili lembaga legislatif maupun yudikatif. Termasuk badan pemeriksa keuangan (BPK). Ke depan perlu diatur mengenai pelaporan tiap-tiap lembaga untuk menyampaikan secara langsung di hadapan sidang MPR," kata Ahmad Tholabi dalam keterangan tertulisnya, Jumat 14 Agustus 2020. ( )
Dia menyarankan ke depan, materi pelaporan dalam sidang tahunan juga perlu ditekankan pada penyampaian kondisi obyektif tiap-tiap lembaga. Sidang Tahunan tidak hanya menyampaikan "kabar gembira" namun tantangan dan persoalan di masing-masing lembaga sebaiknya disampaikan dalam forum Sidang Tahunan ini. Sidang ini dilihat oleh seluruh rakyat Indonesia.
"Rakyat berhak mengetahui bagaimana kondisi oyektif tiap-tiap lembaga negara. Upaya ini agar Sidang Tahunan tidak terjebak pada agenda rutin yang lebih menonjol sisi seremonial saja," katanya.
Kendati demikian, Ahmad Tholabi menegaskan materi pidato Presiden yang menyebut pandemi ini dijadikan momentum kebangkitan baru untuk melakukan lompatan besar patut didukung.
Dia juga menyerukan perlunya upaya "great reset" atau penataan ulang secara besar-besaran di semua sektor melalui jalur hukum. Hukum harus responsif atas persoalan pandemi dan dampak turunan akibat pandemi.
"Penataan ulang secara besar-besaran (great reset) harus diwujudkan melalui hukum dengan tetap menjadikan konstitusi dan demokrasi sebagai kompasnya. Jangan sampai langkah "great reset" justru terjebak pada pengabaian konstitusi dan demokrasi," tuturnya.
Menurut dia, titik tekan Presiden ke sejumlah sektor seperti pendidikan, penegakan hukum, pemberantasan korupsi, dan legislasi tampak mengabaikan realitas yang terjadi di lapangan.
Dia mencontohkan persoalan pendidikan. Hari-hari ini siswa dan orang tua siswa termasuk kalangan perguruan tinggi di masa pandemi menjadi masalah krusial yang hingga saat ini belum menemukan format ideal.
Begitu juga mengenai legislasi antara DPR dan Presiden. Menurut dia, aspirasi masyarakat sipil mengenai pembahasan sejumlah RUU di DPR saat masa pandemi ini, luput dari cermatan Presiden. "Aspirasi dari warga negara semestinya menjadi catatan penting bagi negara dalam perumusan setiap kebijakan publik, khususnya produk legislasi," tandasnya.
Terkait pelaporan kinerja MA dan KY dalam sidang tahunan ini, kata dia, Presiden semestinya turut mendorong reformasi di lembaga peradilan yang hingga saat ini masih menyisakan masalah serius.
"Dorongan lahirnya RUU Jabatan Hakim menjadi salah satu embrio awal untuk kehadiran reformasi di lembaga peradilan. Gagasan share responsibility antara KY dan MA diharapkan menjadi resep jitu untuk menempatkan hakim dalam muruwah yang sejatinya," tuturnya.
Lihat Juga: Tom Lembong Ditahan Kejagung, Pakar Ingatkan Omongan Jokowi Minta Kebijakan Jangan Dikriminalisasi
(dam)