Membaca Kepentingan Jokowi atas Pemberian Gelar Bintang Empat kepada Prabowo

Selasa, 05 Maret 2024 - 11:45 WIB
loading...
Membaca Kepentingan...
S Edi Hardum. FOTO/IST
A A A
S Edi Hardum
Doktor Hukum, Dosen, dan Advokat

HARI-hari terakhir media massa dan media sosial masih diramaikan dengan berita Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan gelar Jenderal Bintang Empat kehormatan kepada Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto. Presiden melakukan hal tersebut berdasarkan masukan dari Panglima TNI Jenderal Agus Subyanto dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

Pemberian gelar tersebut menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat Indonesia. Pihak yang kontra adalah sebagian akademisi, lembaga dan aktivis HAM seperti Setara Institute, Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), dan lain-lain serta keluarga korban aktivis yang hilang karena diculik tahun 1997-1998.

Alasan dari pihak yang kontra antara lain, pertama, pemberian pangkat Jenderal Bintang Empat kehormatan itu ilegal karena bertentangan dengan UU Nomor 34 Tahun 2024 tentang Tentara Nasional Indonesia. Dalam UU ini tidak mengenal bintang kehormatan sebagai pangkat kemiliteran. Bintang sebagai pangkat militer untuk Perwira Tinggi hanya berlaku untuk TNI aktif, bukan purnawirawan atau pensiunan.



Sedangkan UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, maka Bintang yang dimaksud adalah Bintang sebagai Tanda Kehormatan, yang menurut Pasal 7 Ayat (3), dalam bentuk Bintang Gerilya, Bintang Sakti, Bintang Dharma, Bintang Yudha Dharma, Bintang Kartika Eka Pakçi, Bintang Jalasena, dan Bintang Swa Bhuwana Paksa, bukan bintang sebagai pangkat kemiliteran perwira tinggi bagi purnawirawan militer.

Kedua, Jokowi memberikan Jenderal Bintang Empat kehormatan kepada Prabowo merupakan sebuah penghinaan kepada korban dan pembela HAM, terutama dalam tragedi penculikan aktivis 1997-1998. Pasalnya, Prabowo berhenti dari militer karena terlibat menculik para aktivis. Keterlibatan Prabowo dalam kasus penculikan aktivis itu telah dinyatakan Dewan Kehormatan Perwira (DKP), di mana rekomendasinya pemberhentian Prabowo dari dinas kemiliteran yang dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden yakni KEP/03/VIII/1998/DKP dan Keppres No. 62 Tahun 1998.

Karena itulah bagi pihak yang kontra, langkah politik Jokowi memberikan Jenderal Bintang Empat kehormatan kepada Prabowo bertentangan dengan hukum yakni KEP/03/VIII/1998/DKP dan Keppres Nomor 62 Tahun 1998 serta pada saat yang sama melecehkan para korban dan pembela HAM.

Bagi pihak yang pro dengan tindakan Jokowi memberikan pangkal Jenderal Bintang Empat kehormatan kepada Prabowo, dengan alasannya antara lain, Pertama, mereka sepakat dengan Jokowi. Menurut Jokowi, ia menyetujui usulan Panglima TNI Jenderal Agus Subyanto memberikan gelar empat bintang empat kehormatan kepada mantu Presiden kedua RI itu, karena Prabowo telah memberikan kontribusi luar biasa bagi kemajuan TNI dan negara. Prabowo, kata Jokowi, telah menerima Bintang Yudha Dharma Utama atas jasa di bidang pertahanan.

Kedua, kontribusi Prabowo untuk TNI dan NKRI bukan hanya ketika menjadi Menteri Pertahanan selama lima tahun terakhir, tetapi Prabowo telah puluhan tahun menjadi TNI sampai mengakhiri karier militernya dengan jabatan terakhir sebagai Pangkostrad pada tahun 1999 dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal (Letjen) atau bintang tiga. Barangkali itulah salah satu alasan bagi Megawati Soekarnoputri dan PDIP mengangkat Prabowo sebagai calon Wakil Presiden dari Megawati Soekarnoputri tahun 2009.

Ketiga, Prabowo Subianto dua kali maju sebagai calon Presiden melawan Jokowi yakni tahun 2014 dan tahun 2019. Tahun 2014 Pasangan Prabowo-Hatta mendapatkan suara 46,85%, sementara Jokowi-Jusuf Kalla unggul dengan perolehan suara 53,15%.

Pada 2019, Prabowo-Sandi mendapatkan suara 44,50%. Sementara Jokowi-Ma’ruf Amin menang dengan perolehan suara 55,50%. Dari persentasi dukungan terhadap Prabowo pada tahun 2014 dan 2019 menggambarkan bahwa begitu banyak masyarakat memaafkan atau mengabaikan tindakan Prabowo kasus pelanggaran HAM tahun 1997-1998.

Keempat, secara hukum pemberian gelar kehormatan Jenderal Bintang Empat tidak melanggar hukum dan itu sudah sering dilakukan terhadap banyak perwira pensiunan seperti Jenderal Hendro Priyono, Jenderal Susilo Bambang Yudhono, Jenderal Agum Gumilar, dll.

Kelima, para Jenderal TNI (Purn) yang tergabung dalam DKP 1998 yang memutuskan dipecat dari militer karena terbukti menculik aktivis sudah tidak mempersoalkan Prabowo mendapatkan gelar Jenderal Bintang Empat kehormatan serta mereka mendukung Prabowo maju sebagai calon Presiden 2024, dan berdasarkan hasil Quict Count semua lembaga survei yang terdaftar di KPU, pasangan Prabowo-Gibran menang.

Kepentingan Jokowi

Selain alasan pro dan kontra di atas, penulis menduga Jokowi juga mempunyai kepentingan atas pemberian Jenderal Bintang Empat kehormatan kepada Prabowo. Pertama, Jokowi membuat Prabowo berutang budi kepadanya. Utang budi pertama Prabowo kepada Jokowi dan keluarganya adalah Jokowi berani meninggalkan PDIP dengan menyodorkan anaknya Gibran menjadi calon Wakil Prabowo. Walaupun kalau dilihat di sisi Prabowo, Jokowi dan keluarga juga diuntungkan dengan sikap Prabowo menjadikan Gibran sebagai wakilnya.

Selanjutnya dengan pemberian gelar Jenderal Bintang Empat kehormatan kepada Prabowo, maka Prabowo minimal tidak akan 'mendepak' Gibran sebagai Wakil Presiden nanti ketika pemerintahan mereka berjalankan. Gibran tidak hanya sebagai ban serep, sebagaimana dianggap banyak pihak. Bahkan, Jokowi nantinya akan ikut berperan dalam menjalankan pemerintahan yang dipimpin Prabowo-Gibran.

Menurut penulis, kepentingan utama Jokowi ke depan adalah pertama, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) harus sukses. Ini proyek bergensi bahkan proyek ambisius dari Jokowi. Ia merasa dikenang sejarah kalau IKN ini sukses.

Ya, Inilah alasan utama juga Jokowi rela meninggalkan PDIP, Megawati Soekarnoputri dan Ganjar Prabowo yang telah memenangkannya dalam dua kali kontestasi Pilpres dengan memajukan anaknya Gibran mendukung Prabowo Subianto. Jokowi lebih percaya Prabowo dan anaknya menyelesaikan ambisi besarnya akan IKN.

Kedua, politik dinasti. Jokowi memanfaatkan kondisi di mana masih begitu banyak masyarakat suka dengan gaya dan tindakannya dalam memimpin, sehingga siapa pun yang didukung Jokowi, apalagi Gibran anak kandungnya, masyarakat pasti mendukung.

Penegakan HAM Jadi Redup

Menurut penulis, kalau Prabowo-Gibran benar-benar memenangi Pilres 2024, ditambah Jokowi memberikan Jenderal Bintang Empat kehormatan kepada Prabowo, maka pertama, perjuangan penuntasan penyelesaian masalah HAM masa lalu masih panjang bahkan tinggal cerita.

Kedua, kasus penculikan terhadap aktivis dan kaum kritis ke depan sepertinya 'dilegalkan'. Ketiga, kasus pelanggaran HAM, terutama kalau dilakukan oknum TNI maka tidak akan ada penyelesaian. Keempat, keberadaan lembaga Komnas HAM sepertinya perangkat-perangkatnya sepertinya hanya hiasan belaka.

Usul untuk Prabowo-Gibran

Penulis mengusulkan, kalau Prabowo-Gibran dinyatakan seperti pemenang, maka langkah yang dilakukan Prabowo-Gibran adalah pertama, meminta maaf kepada korban dan keluarga korban penculikan 1997-1998. Selain itu, Prabowo harus memberikan konpensasi kepada korban dan keluarga korban.

Kedua, untuk semua kasus HAM masa lalu, pemerintahan Prabowo-Gibran atas nama negara memberikan permintaan maaf dan konpensasi kepada korban dan keluarga korban. Ketiga, pemerintahan Prabowo-Gibran segera membentuk Pengadilan HAM untuk pelanggaran HAM ke depan, sedangkan pelanggaran HAM masa lalu ditutup, dengan permintaan maaf dari negara serta memberi kompensasi.

Kalau ini dilakukan Prabowo-Gibran, maka kesalahan mereka secara hukum dan etika dimaafkan dan dukung rakyat Indonesia untuk sama-sama membangun NKRI. Semoga.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1438 seconds (0.1#10.140)