Komeng, antara Uhuy dan Disonansi
loading...
A
A
A
Fenomena Komeng ini memang tidak lepas dari situasi pemilih yang umumnya memiliki keterbatasan preferensi saat masuk di kamar TPS yang sangat privasi itu. Kala terjadi kekosongan preferensi itulah kemudian otak merespons dengan melakukan scanning terhadap sosok yang paling mudah diingat. Di sinilah aspek keterkenalan dan penampilan menjadi dominan. Pilihan akhirnya jatuh kepada artis, tokoh besar atau mereka yang terlihat cantik, ganteng, muda, menarik dan sebagainya.
Namun terpilihnya Komeng sepertinya agak berbeda. Bukan ganteng, cantik, menarik atau muda yang jadi pemikat. Orang justru melihat Komeng sebagai sosok yang tulus dan polos. Dia memang komedian terkenal yang masyhur dengan celetukan 'uhuy'. Namun foto selfienya yang 'nyengir' menjadi penanda bahwa Komeng adalah sosok rakyat biasa yang tampil apa adanya. Pelawak bernama lengkap Alfiansyah Bustami ini berhasil menempatkan sosok dirinya yang terkenal tapi muncul tanpa sekat dan make up. Praktis, dia semakin menjadi begitu dekat dan lekat di hati masyarakat.
Keterkenalan dan kepolosan sebagaimana yang dimiliki Komeng tentu bukan menjadi jaminan tunggal seseorang bisa melenggang ke Senayan. Sebab, menjadi anggota Dewan menuntut kecerdasan, kepiawaian dan sederet pengalaman. Sementara Komeng adalah benar-benar pendatang baru yang belum pernah terjun ke lapangan politik sedikit pun.
Lalu mengapa pemilih begitu mudah menaruh sekaligus mempercayakan harapan kepada seorang Komeng yang latar belakangnya komedian alias pelawak? Di sisi lain, seiring perkembangan teknologi dan pendidikan, rasionalitas para pemilih juga meningkat seiring tingkat pendidikan mereka yang juga kian menanjak. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang tentu membutuhkan kajian lebih mendalam ke depan.
Yang jelas fenomena Komeng menjadi babak baru dan telah membukakan mata dan pikiran banyak orang. Bisa jadi, para pemilih umumnya tengah dilanda kejenuhan tingkat tinggi dalam hal perpolitikan. Ini bisa dipicu banyaknya aktor politik Tanah Air yang melakukan pelanggaran bahkan kriminal. Harapan akan tersalurkannya aspirasi pun menjadi awang-awang bahkan sebatas impian semata.
Potret buruknya perilaku anggota Dewan ini faktanya terus terjadi bahkan terkesan kian ugal-ugalan belakangan ini. Regulasi dan undang-undang misalnya dibuat tanpa mampu menangkap tepat isi hati nurani rakyat. Perilaku korupsi pun tak pernah henti meski mereka yang masuk balik jeruji sudah tak terbilang jari. Logika-logika publik pun kian karut marut karena perubahan-perubahan yang diimpikan menjadi sulit atau bahkan mustahil terwujud.
Rakyat pasti jengah karena dihadapkan kenyataan yang jauh dari harapan atau dalam kata lain mengalami inkonsistensi logis. Namun proses demokrasi untuk memilih wakil-wakil mereka mau tak mau harus terus berjalan. Di tengah kebingungan dan mungkin keputusasaan ini, orang menjadi gagap atau seperti diistilahkan Festinger (1957), mengalami disonansi kognitif.
Lalu, berdamai dengan situasi yang tidak ideal tentu jadi sebuah opsi terbaik meski kepercayaan terhadap aktor politik saat ini runtuh hebat. Orang pun menjadi tak lagi tergiur dengan kecantikan, ketampanan, kepiawaian bahkan kecerdasan atau kapasitas sekalipun. Publik lebih nyaman dengan kepolosan, kejujuran dan ketulusan. Sebab sangat mungkin dengan kepolosan tidak berpengalaman, seseorang justru akan mau belajar, lebih berintegritas dan serius bekerja. Mungkin meski dibalut dengan guyonan, namun praktik politik yang nanti dijalankan malah menghasilkan kebahagiaan atau Alfarabi menyebut dengan sa'adah.
Terlepas dari modal selebritas yang dimiliki, lolosnya Komeng menjadi indikasi bahwa komedian berusia 53 tahun ini seolah menjadi antitesis atas aktor-aktor politik saat ini. Pada saat yang sama, sejatinya di tengah masyarakat juga tengah terbangun representasi sosial baru sebagai respons atas situasi politik yang dinilai tak ideal.
Dilihat dari perspektif kajian komunikasi dan psikologi sosial, publik mungkin juga memiliki kesadaran bahwa saatnya ruang-ruang politik Indonesia diisi dengan praktik demokrasi yang lebih inklusif, deliberatif namun asyik. Tentu jika ini dipahami sebagai sebuah representasi baru seperti dikonsepkan Moscovici (1973), langkah Komeng ini juga belumlah final. Agar lebih menjangkar ke benak publik, dibutuhkan objektifikasi sebagai bukti adanya perubahan yang lebih konkret.
Namun terpilihnya Komeng sepertinya agak berbeda. Bukan ganteng, cantik, menarik atau muda yang jadi pemikat. Orang justru melihat Komeng sebagai sosok yang tulus dan polos. Dia memang komedian terkenal yang masyhur dengan celetukan 'uhuy'. Namun foto selfienya yang 'nyengir' menjadi penanda bahwa Komeng adalah sosok rakyat biasa yang tampil apa adanya. Pelawak bernama lengkap Alfiansyah Bustami ini berhasil menempatkan sosok dirinya yang terkenal tapi muncul tanpa sekat dan make up. Praktis, dia semakin menjadi begitu dekat dan lekat di hati masyarakat.
Keterkenalan dan kepolosan sebagaimana yang dimiliki Komeng tentu bukan menjadi jaminan tunggal seseorang bisa melenggang ke Senayan. Sebab, menjadi anggota Dewan menuntut kecerdasan, kepiawaian dan sederet pengalaman. Sementara Komeng adalah benar-benar pendatang baru yang belum pernah terjun ke lapangan politik sedikit pun.
Lalu mengapa pemilih begitu mudah menaruh sekaligus mempercayakan harapan kepada seorang Komeng yang latar belakangnya komedian alias pelawak? Di sisi lain, seiring perkembangan teknologi dan pendidikan, rasionalitas para pemilih juga meningkat seiring tingkat pendidikan mereka yang juga kian menanjak. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang tentu membutuhkan kajian lebih mendalam ke depan.
Yang jelas fenomena Komeng menjadi babak baru dan telah membukakan mata dan pikiran banyak orang. Bisa jadi, para pemilih umumnya tengah dilanda kejenuhan tingkat tinggi dalam hal perpolitikan. Ini bisa dipicu banyaknya aktor politik Tanah Air yang melakukan pelanggaran bahkan kriminal. Harapan akan tersalurkannya aspirasi pun menjadi awang-awang bahkan sebatas impian semata.
Potret buruknya perilaku anggota Dewan ini faktanya terus terjadi bahkan terkesan kian ugal-ugalan belakangan ini. Regulasi dan undang-undang misalnya dibuat tanpa mampu menangkap tepat isi hati nurani rakyat. Perilaku korupsi pun tak pernah henti meski mereka yang masuk balik jeruji sudah tak terbilang jari. Logika-logika publik pun kian karut marut karena perubahan-perubahan yang diimpikan menjadi sulit atau bahkan mustahil terwujud.
Rakyat pasti jengah karena dihadapkan kenyataan yang jauh dari harapan atau dalam kata lain mengalami inkonsistensi logis. Namun proses demokrasi untuk memilih wakil-wakil mereka mau tak mau harus terus berjalan. Di tengah kebingungan dan mungkin keputusasaan ini, orang menjadi gagap atau seperti diistilahkan Festinger (1957), mengalami disonansi kognitif.
Lalu, berdamai dengan situasi yang tidak ideal tentu jadi sebuah opsi terbaik meski kepercayaan terhadap aktor politik saat ini runtuh hebat. Orang pun menjadi tak lagi tergiur dengan kecantikan, ketampanan, kepiawaian bahkan kecerdasan atau kapasitas sekalipun. Publik lebih nyaman dengan kepolosan, kejujuran dan ketulusan. Sebab sangat mungkin dengan kepolosan tidak berpengalaman, seseorang justru akan mau belajar, lebih berintegritas dan serius bekerja. Mungkin meski dibalut dengan guyonan, namun praktik politik yang nanti dijalankan malah menghasilkan kebahagiaan atau Alfarabi menyebut dengan sa'adah.
Terlepas dari modal selebritas yang dimiliki, lolosnya Komeng menjadi indikasi bahwa komedian berusia 53 tahun ini seolah menjadi antitesis atas aktor-aktor politik saat ini. Pada saat yang sama, sejatinya di tengah masyarakat juga tengah terbangun representasi sosial baru sebagai respons atas situasi politik yang dinilai tak ideal.
Dilihat dari perspektif kajian komunikasi dan psikologi sosial, publik mungkin juga memiliki kesadaran bahwa saatnya ruang-ruang politik Indonesia diisi dengan praktik demokrasi yang lebih inklusif, deliberatif namun asyik. Tentu jika ini dipahami sebagai sebuah representasi baru seperti dikonsepkan Moscovici (1973), langkah Komeng ini juga belumlah final. Agar lebih menjangkar ke benak publik, dibutuhkan objektifikasi sebagai bukti adanya perubahan yang lebih konkret.