Paradigma Kepemimpinan Nasional: Mewujudkan Asa Masyarakat Indonesia Sehat Berdaulat

Jum'at, 09 Februari 2024 - 14:21 WIB
loading...
Paradigma Kepemimpinan...
Zaenal Abidin, Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (2012-2015). Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Zaenal Abidin
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (periode 2012-2015)

SAAT ini problematika kesehatan Indonesia telah mewujud menjadi bersifat struktural dan sistemik di semua lini. Bentuk konkrit dari problematika kesehatan ini dapat ditelusuri dari capaian beberapa indikator pembangunan kesehatan yang masih rendah. Kondisi ini semakin terbuka setelah keluarnya pernyataan Menteri Bappenas yang mengatakan, “Sembilan dari Sepuluh target pembangunan kesehatan pada era Jokowi terancam gagal”. (katadata.co.id, 5 Juni 2023).

Kondisi di atas kembali diperberat dengan munculnya berbagai masalah yang sering disebut “mala”. Baik malagizi, maladistribusi falilitas kesehatan, maladistribusi dokter tenaga kesehatan, mala persepsi tentang sehat dan upaya kesehatan, dan mala-mala lainnya.

Dalam menyehatkan rakyat Indonesia sebagian besar elit negeri ini mempersepsikan cukup dengan “memprduksi” dokter dan dokter sepesialis sebanyak-banyaknya padahal menyehatkan rakyat bukan semata-mata menjadi beban dokter dan pelayanan medis. Selain itu, menyeratkan rakyat juga dipersepsikan dengan membangun fakultas kedokteran, rumah sakit, mengimpor obat dan alat kesehatan. Komponen kesehatan lain kurang mendapat perhatian, padahal boleh jadi itulah yang menjadi kebutuhan kesehatan rakyat.

Dengan persepsi di atas, seolah-olah mengharapkan agak rakyat itu sakit. Padahal mencegah rakyat agar tidak jatuh sakit jauh lebih luas dan mulia. Mengapa mulia? Sebab upaya pencegahan itu dapat menghindarkan rakyat untuk terjatuh kepada suatu kondisi yang sama-sama tidak pernah diharapkannya, yaitu sakit. Upaya pencegahan memang tidak selamanya berjalan mulus, sebab membutuhkan keterlibat lintas sektor, kementerian, serta lembaga, dan lintas profesi, namun tetap harus dilakukan

Masalah lain yang kerap dihadapi adalah anggaran. Misalnya, lain yang diprogramkan lain pula yang dibiayai. Atau pengajuan anggarannya besar tapi yang dialokasikan sangat kecil. Sekalipun sudah ditetapkan di dalam UU No 36/2009 tentang Kesehatan, “minimal” anggran kesehatan 5% dari APBN dan “minimal” 10% dari APBD, namun belum tentu dipenuhi.

Kini UU No 36/2009 telah dicabut perberlakukannya oleh UU Omnibus Kesehatan No 17/2023. Dan, UU baru ini tidak mencantumkan kewajiban mengalokasikan anggaran kesehatan “minimal” 5% APBN dan 10% APBD. Peniadaan mandatory spending kesehatan ini dapat saja menjadi masalah baru dalam pembangunan kesehatan mewujudkan Asa Masyarakat Indonesia Sehat Berdaulat.

Tahapan Paradigma Pembangunan Kesehatan Indonesia
Paradigma adalah cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berfikir, bersikap dan bertingkah laku. Bagi seorang pemimpin, paradigma yang digunakannya dalam memimpin akan memengaruhi secara langsung segenap keputusannya. Di bidang kesehatan, apa yang menjadi paradigma pemimpin tersebut akan tercermin dalam program pembangunan kesehatan yang dicanangkannya.

Pertama, Paradigma Biomedis. Di awal kemerdekaan, situasi derajat kesehatan rakyat Indonesia relatif rendah. Angka kesakitan dan angka kematian sangat tinggi, utamanya disebabkan prevalensi penyakit menular yang merata terjadi diseluruh Indonesia. Kondisi ini diperparah dengan buruknya kualitas lingkungan, kurangnya SDM kesehatan, dokter warga negara Belanda sudah kembali ke negaranya, terbatasnya sarana pelayanan kesehatan, dan pembiayaan kesehatan masyarakat yang sangat minim.

Kondisi objektif ini menyebabkan terbangunnya paradigma biomedis yang mengedepankan aspek kuratif dalam pembangunan kesehatan. Hal mana ditandai dengan gencarnya pembangunan pelayanan kedokteran, pembangunan rumah sakit, pendistribusian obat-obatan dengan membuka peluang seluas-luasnya bagi industri farmasi, baik nasional maupun asing untuk berkiprah.

Namun, ketika paradigma biomedis dalam pembangunan kesehatan terus dipakai, berbagai distorsipun terjadi, seperti: Meningkatnya jumlah SDM Kesehatan tidak dibarengi dengan distribusi yang proporsional; Meningkatnya jumlah sarana pelayanan kesehatan (rumah sakit, puskesmas, posyandu) yang tidak didukung dengan sistem pelayanan yang terstruktur; Terbukanya peluang bagi industri farmasi yang tidak menjadikan obat generik dan obat-obat esensial sebagai primadona pengobatan.

Akumulasi dari distorsi pembangunan kesehatan di atas, timbullah masalah kesehatan baru. Seperti: tenaga kesehatan terkonsentrasi di daerah yang menguntungkan bagi profesinya, rumah sakit dijadikan sumber pendapatan asli daerah (PAD); dan obat-obatan berubah menjadi komoditi komersial.

Kedua, Paradigma Sehat. Keprihatinan atas terjadinya berbagai distorsi dalam pembangunan kesehatan dengan paradigma biomedis menyebabkan pemimpin Indonesia pada masa Orde Baru melakukan koreksi dan perubahan paradigma dalam pembangunan kesehatan, yaitu “Paradigma Sehat.”

Puncaknya dari perubahan paradigma tersebut adalah dicanangkannya visi "Indonesia Sehat 2010" sebagai program pemerintah awal Orde Reformasi oleh Presiden BJ Habibie pada tahun 1999. Indonesia Sehat 2010 merupakan komitmen negara untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, yang didukung dengan perlindungan finansial dan pemerataan pelayanan kesehatan.

Komitmen mulia yang menjadikan "Paradigma Sehat" sebagai cara pandang atau pola pikir pembangunan kesehatan yang bersifat holistik, proaktif, dan antisipatif ini sayangnya tidak didukung oleh infrastruktur dan kesamaan persepsi dari seluruh stakeholder dalam pembangunan kesehatan. Paradigma Sehat memang dijadikan acuan dalam Sistem Kesehatan Nasional, namun Paradigma Biomedis yang menekankan aspek kuratif, termasuk dalam pembiayaan kesehatan tetap tidak ditinggalkan.

Hal lain yang memperberat kondisi ini adalah terbukanya pasar pelayanan kesehatan bagi pihak asing untuk masuk ke Indonesia melalui pintu asuransi kesehatan komersial, transfer of knowlegde and technology, dan kerja sama manajemen rumah sakit. Bahkan setelah “Indonesia Sehat 2010”, pasar kesehatan Indonesia makin terbuka.

Berbagai saat ini keberadaan UU Onimbus Kesehatan ditengarai sebagai upaya terang-terangan untuk memberi “karpet merah” kepada rumah sakit asing, dokter, dan tenaga kesehatan asing untuk bekerja di Indonesia. Bukan lagi sebatas transfer of knowlegde and technology.

Ketiga, Paradigma Sehat Berdaulat. Memperhatikan problematika kesehatan yang saat ini terjadi secara struktural dan sistemik maka hemat penulis, mulai saat ini dan ke depan Indonesia harus memiliki paradigma pembangunan kesehatan yang mumpuni untuk mengatasi. Nilai-nilai baik pada paradigma biomedis (ketersediaan sarana dan tenaga kesehatan yang proporsional) harus dipertahankan dan dioptimalkan.

Nilai-nilai baik pada paradigma sehat (menjadikan aspek kesehatan sebagai mainstream pembangunan nasional, serta pelaksanaan sistem pelayanan kesehatan yang terstruktur) pun harus dikedepankan dan dioptimalkan. Indonesia butuh paradigma pembangunan kesehatan baru untuk mendukung terwujudnya Asa Masyarakat Indonesia Sehat Berdaulat.

Mewujudkan Asa Masyarakat Indonesia Sehat Berdaulat
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.

Pembangunan kesehatan diarahkan langsung kepada masyarakat sebagai subyek sekaligus objek untuk hidup sehat. Dengan kata lain, pembangunan kesehatan mengarahkan pada terbentuknya paradigma pembangunan kesehatan yang sehat berdaulat. Paradigma pembangunan kesehatan ini diharapkan dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang tertinggi.

Dalam mewujudkan Asa Masyarakat Indonesia Sehat Berdaulat sebagai tujuan pembangunan kesehatan, tidak lepas dari peran aktor kebijakan dan lingkungan kebijakan. Aktor kebijakan memiliki peran sangat penting untuk membuat suatu tatanan menuju tujuan yang dicita-citakan. Dalam menjalankan perannya, aktor kebijakan dipengaruhi oleh nilai-nilai politik, organisasi, pribadi, kebijakan, dan ideologi. Dan aktor kebijakan itu adalah pemimpin nasional itu sendiri.

Tepat atau tidaknya kebijakan yang dibuat oleh aktor kebijakan tergantung sejauh mana aktor kebijakan) menempatkan dirinya, apakah berpihak kepada kepentingan kesejahteraan masyarakat tanpa terkecuali atau hanya sebatas kepada kepertingan keluarga atau kelompoknya. Dengan kata lain, upaya mewujudkan asa masyarakat Indonesia sehat berdaulat tidak lepas dari peran pemimpin dan kepemimpinan nasionalnya.

Paradigma Kepemimpinan Nasional
Kepemimpinan (leadership) adalah value (nilai) yang dimiliki seseorang dalam mengemban amanah sebagai pemimpin. Dalam konteks kenegaraan, value ini harus dimiliki oleh pemimpin di semua lini, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Untuk melihat apakah para pemimpin suatu negara telah menjadikan masalah kesehatan sebagai salah satu value yang mendasari paradigmanya dalam memimpin dapat dilihat dari outcome kepemimpinannya di bidang kesehatan.

Analisis terhadap outcome kepemimpinan ini dapat ditelusuri dari bagaimana para pemimpin menjadikan problematika kesehatan di negaranya sebagai input strategis yang menjadi prioritas utama untuk diidentifikasi. Input strategis ini kemudian diproses dengan menempatkan dimensi kesehatan manusia (fisik, mental, sosial, dan spritual) sebagai acuan dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan.

Sebagai hasilnya maka program-program pembangunan yang dijalankan pemimpin tersebut harus mampu menggerakkan masyarakat dan seluruh komponen bangsa untuk mencapai peningkatan yang progresif dalam derajat kesehatan rakyatnya. Outcome kepemimpinannya akan tergambar melalui indikator-indikator kesehatan yang semakin baik dari waktu ke waktu.

Para pemimpin bangsa yang menjadikan kesehatan rakyat sebagai soko guru bagi "tegaknya" kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) adalah pemimpin yang tidak hanya mampu menyehatkan rakyatnya, tapi juga harus mampu menggerakkan para elit politik dan birokrasi untuk mempimpin seluruh komponen bangsa agar mempunyai kesadaran tinggi akan pentingnya kesehatan. Karena itu, keberadaan pemimpin sangat strategis untuk menjadi inspirator, agen perubahan, pendorong, dan penggerak bagi terwujudnya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.

Dalam rangka mewujudkan asa masyarakat Indonesia sehat serdaulat maka pemimpin nasional terlebih dahulu harus mengubah merubah cara berpikir, merubah paradigmanya, dari kepemimpinan nasional yang berparadigma sakit menjadi kepemimpinannasional berparadigma sehat berdaulat. Dengan berbekal paradigma kepemimpinan tersebut, maka pemimpin nasional akan selalu berupaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara optimal.

Karena itu, untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, hemat penulis pemimpin nasional dapat melakukan 12 langkah optimalisasi sebagai berikut: (1) optimalisasi penyamaan visi misi pembangunan dalam rangka mewujudkan asa masyarakat Indonesia sehat berdaulat; (2) optimalisasi program public health dengan penekanan pada upaya promotif dan preventif; (3) optimalisasi pembangunan sarana kesehatan terstruktur yang terdistribusi merata; (4) optimalisasi pelayanan kesehatan (fisik, jiwa, sosial, dan spiritual) dan jaminan kesehatan dengan universal coverage; (5) optimalisasi program kesehatan ibu dan anak serta gizi seimbang.

Berikutnya, (6) optimalisasi produksi nasional dan distribusi obat, vaksin, alat kesehatan; (7) optimalisasi program pendidikan kedokteran dan SDM Kesehatan serta pendistribusiannya secara adil dan merata; (8) optimalisasi pembebadayaan masyarakat kesehatan; (9) optimalisasi regulasi, manajemen, penelitian dan pengembangan kesehatan; (10) optimalisasi alokasi anggaran kesehatan melalui APBN dan APBD; (11) optimalisasi ketahanan pangan, air bersih, dan ruang terbuka hijau; dan (12) optimalisasi dukungan ekosistem kesehatan dari pemimpin nasional, kementerian/lembaga, serta lintas sektor.

Catatan Akhir
Paradigma sehat berdaulat adalah paradigma pembangunan kesehatan yang memungkinkan seluruh sumberdaya kesehatan masyakat Indonesia bekerja optimal untuk menjamin terwujudnya hak-hak kesehatan seluruh rakyat Indonesia.

Dalam rangka hak-hak kesehatan dan mewujudkan asa masyarakat Indonesia sehat berdaulat maka paradigma pembangunan kesehatan pun harus sehat berdaulat. Langkah pertama untuk mewujudkan paradigma pembangunan kesehatan sehat berdaulat adalah dengan mengubah cara pandang pemimpin nasional, yakni presiden dan wakil presiden tentang kesehatan.

Karena itu, presiden dan wakil presiden yang berpradigma sehat berdaulat disertai sifat-sifat utama yang dimiliki, seperti bijaksana, santun, cerdas, vioner, mengayomi, dan sehat akan menjadi agen perubahan yang amat dahsyat. Mereka juga sekaligus menjadi lokomotif untuk menyelesaikan problematika pembangunan kesehatan yang bersifat strukural dan sistemetik, sehingga “Asa Masyarakat Indonesia Sehat Berdaulat” dapat tercapai. Wallahu a'lam bishawab.
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1252 seconds (0.1#10.140)