TPDI: Jangan Biarkan Jokowi Rusak Sistem Demokrasi dan Konstitusi demi Dinasti Politik
loading...
A
A
A
”Ada kecenderungan kuat Presiden Jokowi hendak mendeclare dirinya akan berkampanye sekaligus bersikap memihak untuk memenangkan capres-cawapres 2,” katanya.
Padahal ketentuan pasal 283 UU No.7 Tahun 2017 jelas membatasi ruang gerak dan melarang presiden mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan pada peserta pemilu sebelum, selama dan sesudah masa kampanye demi mewujudkan asas Pemilu yang jujur dan adil menurut UUD 1945 dan rasa keadilan publik.
“Inilah watak arogansi Jokowi yang tanpa malu-malu mempertontonkan sikapnya melecehkan prinsip pemilu yaitu sikap jujur dan adil sebagaimana digariskan di dalam pasal 22E ayat (1) UUD 45 dan dalam UU No.7 Tahun 2017, Tentang Pemilihan Umum,” katanya.
Dia menilai, sikap Presiden Jokowi berdaya rusak sangat tinggi terhadap demokrasi dan konstitusi pada Pemilu 2024 karena pada saat yang sama Jokowi juga sedang menghidupkan budaya politik Orde Baru (Orba) yaitu budaya mono loyalitas aparatur negara pada satu kekuatan politik tertentu guna melanggengkan dinasti politik dan nepotisme yang sudah dibangunnya selama ini.
”Inilah yang berbahaya, karena ketika seluruh ASN bersikap mono loyalitas kepada kekuatan dinasti politik dan nepotisme Jokowi, maka pada saat yang sama netralitas ASN akan bergeser di mana seluruh ASN hanya loyal mengikuti arah pilihan politik Jokowi. Maka pada titik ini, rakyat tidak boleh berdiam diri tetapi mari lakukan perlawanan terhadap penyalahgunaan kekuasaan ini,” ujarnya.
Pergeseran perilaku ASN ini sangat mungkin terjadi karena bagaimanapun presiden itu adalah pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan Profesi dan Manajemen Aparatur Sipil Negara seperti yang tercantum dalam Pasal 26 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2023 Tentang ASN.
Munculnya perilaku sebagian aparatur negara yang tidak netral dalam pemilu dan ada kecenderungan mendukung capres-cawapres 2, hal itu merupakan dampak dari sikap dan perilaku Presiden Jokowi yang tanpa tedeng aling-aling berkampanye dan memihak pada capres-cawapres 2 karena di sana ada Gibran Rakabuming Raka putranya.
”Kita tidak tahu siapa penasehat/konsultan hukum Istana yang memoles cara berpikir Presiden Jokowi dalam soal-soal hukum terutama terkait pemilu, karena kalaupun Presiden Jokowi mau ikut kampanye pemilu, maka ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi antara lain harus cuti di luar tanggungan negara, tidak menggunakan fasilitas negara dan sebagainya,” ucapnya.
Dia menilai, ini merupakan penggunaan logika yang dangkal dari ketidakteraturan cara berpikir seorang Presiden RI, tanpa melihat rambu-rambu Pemilu di dalan UUD 1945 dan di dalam UU No.7 Tahun 2017, tentang Pemilu termasuk yang Presiden Jokowi gunakan pintu Mahkamah Konstitusi lewat Iparnya untuk mengoyak-ngoyak pasal 169 huruf q UU No.7 Tahun 2017 demi Gibran Rakabuming Raka jadi Cawapres 2024.
Padahal ketentuan pasal 283 UU No.7 Tahun 2017 jelas membatasi ruang gerak dan melarang presiden mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan pada peserta pemilu sebelum, selama dan sesudah masa kampanye demi mewujudkan asas Pemilu yang jujur dan adil menurut UUD 1945 dan rasa keadilan publik.
“Inilah watak arogansi Jokowi yang tanpa malu-malu mempertontonkan sikapnya melecehkan prinsip pemilu yaitu sikap jujur dan adil sebagaimana digariskan di dalam pasal 22E ayat (1) UUD 45 dan dalam UU No.7 Tahun 2017, Tentang Pemilihan Umum,” katanya.
Dia menilai, sikap Presiden Jokowi berdaya rusak sangat tinggi terhadap demokrasi dan konstitusi pada Pemilu 2024 karena pada saat yang sama Jokowi juga sedang menghidupkan budaya politik Orde Baru (Orba) yaitu budaya mono loyalitas aparatur negara pada satu kekuatan politik tertentu guna melanggengkan dinasti politik dan nepotisme yang sudah dibangunnya selama ini.
”Inilah yang berbahaya, karena ketika seluruh ASN bersikap mono loyalitas kepada kekuatan dinasti politik dan nepotisme Jokowi, maka pada saat yang sama netralitas ASN akan bergeser di mana seluruh ASN hanya loyal mengikuti arah pilihan politik Jokowi. Maka pada titik ini, rakyat tidak boleh berdiam diri tetapi mari lakukan perlawanan terhadap penyalahgunaan kekuasaan ini,” ujarnya.
Pergeseran perilaku ASN ini sangat mungkin terjadi karena bagaimanapun presiden itu adalah pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan Profesi dan Manajemen Aparatur Sipil Negara seperti yang tercantum dalam Pasal 26 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2023 Tentang ASN.
Munculnya perilaku sebagian aparatur negara yang tidak netral dalam pemilu dan ada kecenderungan mendukung capres-cawapres 2, hal itu merupakan dampak dari sikap dan perilaku Presiden Jokowi yang tanpa tedeng aling-aling berkampanye dan memihak pada capres-cawapres 2 karena di sana ada Gibran Rakabuming Raka putranya.
”Kita tidak tahu siapa penasehat/konsultan hukum Istana yang memoles cara berpikir Presiden Jokowi dalam soal-soal hukum terutama terkait pemilu, karena kalaupun Presiden Jokowi mau ikut kampanye pemilu, maka ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi antara lain harus cuti di luar tanggungan negara, tidak menggunakan fasilitas negara dan sebagainya,” ucapnya.
Dia menilai, ini merupakan penggunaan logika yang dangkal dari ketidakteraturan cara berpikir seorang Presiden RI, tanpa melihat rambu-rambu Pemilu di dalan UUD 1945 dan di dalam UU No.7 Tahun 2017, tentang Pemilu termasuk yang Presiden Jokowi gunakan pintu Mahkamah Konstitusi lewat Iparnya untuk mengoyak-ngoyak pasal 169 huruf q UU No.7 Tahun 2017 demi Gibran Rakabuming Raka jadi Cawapres 2024.