Pengamat Sebut Presiden Jokowi Membuka Ruang Pelanggaran Pemilu

Jum'at, 19 Januari 2024 - 21:10 WIB
loading...
Pengamat Sebut Presiden...
Presiden Jokowi dinilai membuka ruang pelanggaran pada Pemilu 2024. Foto/MPI
A A A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai membuka ruang terhadap pelanggaran pemilu. Hal itu dapat dilihat perilaku tidak netral Aparatur Sipil Negara (ASN), bantuan sosial (bansos) yang dipolitisasi.

Direktur Eksekutif LIMA Ray Rangkuti menilai, semua bentuk pelanggaran harus diadukan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meski belum tentu akan ditindak lanjuti.

“Diadukan saja ke Bawaslu, meski saya ragu Bawaslu mau menyelesaikan. Tetapi paling tidak tercatat di Bawaslu. Kita punya memori peristiwa ini dicatatkan di Bawaslu. Meski saya pesimistis Bawaslu punya keinginan untuk mengusut berbagai temuan yang disebut,” kata Ray, Jumat (19/1/2024).



Pengamat politik ini menyebut ragam bentuk pelanggaran begitu banyak, dan hal ini sangat menyedihkan. Mulai dari perilaku tidak netral Aparatur Sipil Negara (ASN), bansos yang dipolitisasi, termasuk hambatan yang dialami kandidat lain.

“Pak Jokowi ini seperti meruntuhkan banyak hal yang berhubungan dengan demokrasi. Dia mempromosikan dinasti politik yang meruntuhkan gerakan anti nepotisme, membuat KPK lumpuh, sekarang pemilu menuju ke arah yang terburuk sepanjang reformasi,” jelas Ray.



Pun dengan keberadaan PP N0.52/2023, salah satunya tentang aturan menteri, anggota legislatif hingga kepala daerah yang tidak wajib mundur dari jabatan jika maju sebagai calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam pemilihan presiden (pilpres) yang diteken November lalu. Hal ini semakin mengancam demokrasi, membuka ruang-ruang pelanggaran.

Tanda-tanda demokrasi sakit sangat terlihat jelang Pemilu yang akan diselenggarakan kurang dari satu bulan lagi. Indikator pemberantasan korupsi, kebebasan berpendapat, dan partisipasi publik menurun,sementara aksi nepotisme meroket. “Nah, kita mau mempertahankan demokrasi atau set back?" tanya Ray.

Calon presiden (capres) nomor urut, 3 Ganjar Pranowo menilai, aturan PP No. 53/2023 berisiko terkait kemungkinan adanya penyalahgunaan kekuasaan dan kemunduran demokrasi. “Ketentuannya tidak mundur, maka kita akan memasuki situasi yang penuh risiko. Rasanya ketentuan tidak harus mundur itu sedang diambil sebuah risiko,” kata Ganjar kemarin.

Menurut dia, pemberlakuan aturan tersebut dianggap dapat membuat makna pemilu yang luber-jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil) berpotensi tidak terealisasi karena adanya kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan. Begitu pula dengan kualitas demokrasi yang dipastikan akan mundur.

Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow menilai keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2023 membuka potensi untuk penyalahgunaan kekuasaan. Aturan itu menyatakan menteri, DPR, hingga kepala daerah tidak wajib mundur dari jabatan jika maju sebagai capres dan cawapres.

"Kalau saya kira memang itu berpotensi untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Demokrasi kita ini kan sedang berkembang dan kelihatannya mekanisme-mekanisme demokrasi itu sekarang digunakan oleh para elite untuk kepentingan dirinya. Kan situasi kita sekarang begitu," ungkapnya.

Menurutnya, peraturan itu membuka ruang untuk terjadi pelanggaran pemilu yang dilandasi penyalahgunaan kekuasaan. "Sehingga kalau ada peraturan seperti itu dia membuka ruang bagi elite politik menggunakan kekuasaan untuk kepentingannya. Menurut saya di situ problem regulasi itu," katanya.

Jeirry menilai proses pemilu saat ini sudah diwarnai dengan penyalahgunaan jabatan dan wewenang. Hal itu diperparah dengan ketidakmampuan untuk memberikan sanksi pada elite ataupun pejabat yang melanggar.

"Lalu sekarang kita lihat, bagaimana penindakan terhadap mereka? Tidak bisa. Inikan mobilisasi ASN, sudah jelas tidak bisa (boleh), TNI/Polri mendukung paslon, kejaksaan, kehakiman, itu main semua, dengan kewenangan yang mereka punya sekarang, dengan jabatan," sebutnya.

Oleh sebab itu, Jeirry berharap agar aturan tersebut bisa disikapi, entah dengan revisi ataupun uji materi di Mahkamah Agung (MA). Jika cara tersebut dirasa mustahil, maka diperlukan suara publik untuk mengingatkan agar demokrasi kembali pada rel yang benar. "Ya mestinya kalau bisa direvisi ya direvisi, tapi kan hampir tidak mungkin. Apalagi kalau ada unsur kekuasaan pusat sengaja membuatnya untuk kepentingan pemilu ini," tandasnya.
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1753 seconds (0.1#10.140)