Perebutan Posisi Cawapres Kian Sengit

Kamis, 19 April 2018 - 15:50 WIB
Perebutan Posisi Cawapres Kian Sengit
Perebutan Posisi Cawapres Kian Sengit
A A A
JAKARTA - Perebutan posisi calon wakil presiden (cawapres) dalam poros Joko Widodo (Jokowi) maupun poros Prabowo Subianto kian sengit. Tiap partai politik (parpol) anggota koalisi berlomba menyodorkan nama kader terbaik untuk mendampingi Jokowi maupun Prabowo dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Di koalisi pemerintah, sejumlah parpol mulai terang-terangan menyodorkan kadernya untuk mendampingi Jokowi. Mereka di antaranya Partai Golkar, PKB, dan PPP. Bahkan PKB dan PPP mulai saling sindir atas kontribusi partai mereka kepada Jokowi. PKB sudah mendeklarasikan posko pemenangan Jokowi-Cak Imin (Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar) pada 10 April lalu, sementara PPP lewat Munas Alim Ulama di Semarang, Jawa Tengah, pada akhir pekan lalu memandatkan Ketua Umum PPP M Romahurmuziy (Romi) sebagai cawapres Jokowi.

Dewan Pakar Partai Golkar dalam pernyataan resminya pada Selasa (17/4/2018) malam juga menyodorkan nama ketua umumnya Airlangga Hartarto sebagai pendamping Jokowi di pilpres, begitu juga dengan PDIP yang sudah membuat daftar nama cawapres untuk Jokowi di 2019.

Ketua DPP PKB Jazilul Fawaid mengatakan, Cak Imin lebih pantas mendampingi Jokowi karena sejak awal koalisi di Pemilu 2014, PKB konsisten mendukung Jokowi. Sementara Partai Golkar dan PPP mendeklarasikan dukungan ketika Jokowi telah jelas memenangi Pilpres 2014. "Mungkin ada sesuatu yang mau dipanen di situ, maka datanglah. Tapi kami tetap menghargai itu dan kalau betul-betul tulus tanpa syarat mendukung Pak Jokowi enggak ada masalah," kata Jazilul di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (18/4/2018).

Menurut Jazilul, saat ini banyak yang malu-malu menyatakan keinginannya sebagai cawapres Jokowi. Dia mencontohkan Partai Golkar yang menyodorkan Airlangga sebagai cawapres melalui suara Dewan Pakar partai berlambang pohon beringin tersebut. Sementara Cak Imin yang menyatakan secara gamblang justru dianggap ambisius. "Saya yakin Pak Airlangga enggak mau itu. Mungkin maunya lebih dari itu," ucapnya.

Begitu juga dengan munculnya nama Romi. Menurutnya, jika ditelisik, PPP bergabung dalam koalisi pemerintah paling akhir, tapi aneh rasanya jika yang paling belakang menginginkan posisi di depan. Terlebih PPP bergabung dengan Jokowi agar PPP tetap utuh. Menurutnya, PPP juga tidak banyak berkontribusi untuk Jokowi.

"Pertanyaan berikutnya, apa kiprah PKB dan apa yang diberikan Presiden untuk mengawal itu. Sekarang yang mendekat Pak Romi. Itu pun tidak bicara isu-isu keislaman. Hanya selfie-selfie, tidak bicara menangani isu terkait pandangan Islam terhadap negara. Atau tokoh-tokoh Islam sekarang," tandasnya.

Sementara itu Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PPP Arsul Sani menegaskan, PPP belum menyampaikan sikapnya mengenai pilpres lantaran belum melakukan permusyawaratan internal partai. Tapi dirinya mengaku heran ada partai yang belum mendeklarasikan dukungannya kepada salah satu capres, tapi sudah melakukan langkah dengan memasangkan capres dan cawapres yang diajukannya.

"Artinya menunjukkan dulu apa deklarasi. PKS tegas akan mengusung Pak Prabowo dan kemudian meminta cawapres. Kalau ini kan enggak, mencawapreskan diri dulu, baru cari-cari ke sana, itu aja yang kita kritisi," kata Arsul menanggapi Jazilul.

Arsul juga membantah jika partainya dinilai meniru sejumlah program di PKB semisal program Wakaf Quran milik PPP dengan Nusantara Mengaji milik PKB. "Itu kan bentuk kegiatan yang berbeda-beda," tegasnya.

Kemudian Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Agung Laksono mengatakan, jika nanti Jokowi menginginkan cawapres dari Partai Golkar, Dewan Pakar sebagaimana mekanisme organisasi mengusulkan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto sebagai cawapres. "Bila hal itu terjadi, maka Dewan Pakar meminta kepada DPP Partai Golkar sesuai dengan mekanisme organisasi mengusulkan Airlangga Hartarto sebagai cawapres," kata Agung di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, Selasa (17/4/2018) malam.

Di sisi lain Ketua DPP PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno mengatakan, PDIP membuat tiga jenis daftar nama cawapres, di antaranya daftar panjang yang memenuhi kriteria umum, daftar pendek yang memenuhi kriteria umum dan khusus, dan daftar prioritas yang memenuhi kriteria umum, khusus dan kriteria kecocokan/kedekatan dengan capres.

"Saya kira Pak Airlangga masuk daftar panjang. Yang daftar pendek dan prioritas saya tidak tahu. Itu sudah ada di saku Ketum (Megawati Soekarnoputri)," kata Hendrawan saat dihubungi.

Adapun mengenai PPP yang mengaku keberatan atas deklarasi Jokowi-Cak Imin, Hendrawan menganggap itu sebagai ekspresi komunikasi. Dan aspirasi dalam proses demokrasi baiknya tidak perlu diintimidasi. "Pada saatnya akan terjadi konvergensi opini dan pemaknaan," katanya.

PKS Pasang Harga Mati untuk Cawapres PrabowoKeinginan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk mendudukkan salah satu kadernya dalam posisi calon wakil presiden (cawapres) tidak main-main. Untuk memenuhi hasrat itu, PKS mengikat Partai Gerindra dengan surat perjanjian koalisi bahwa dalam pemilu presiden (pilpres) nanti, cawapres Prabowo Subianto harus berasal dari salah satu dari 9 nama yang disodorkan PKS pada Pilpres 2019.

"Saya sendiri belum lihat (surat perjanjian koalisi). Saya dengar ada (surat), nggak masalah, isinya dari PKS atau di-endorse PKS, nanti didudukkan. Kalau ada yang baru lagi nanti duduk bersama lagi," kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon kepada wartawan di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (18/4/2018).
Perebutan Posisi Cawapres Kian Sengit

Fadli menjelaskan, apa pun yang menyangkut koalisi antara PKS dan Partai Gerindra akan dibahas bersama. Bahkan bila ada gentleman agreement atau satu initial agreement akan lebih bagus. Semua itu akan dibahas bersama mitra koalisi baik itu PKS, PAN atau partai lain yang belum menyatakan sikap. "Kalau ada yang lain akan lebih bagus, bisa bersama. Dengan PAN juga komunikasi, masing-masing punya mekanisme internal," ujarnya.

Sementara itu Wakil Ketua Majelis Syura PKS Hidayat Nur Wahid (HNW) juga mengakui keberadaan surat perjanjian antara kedua partai tersebut. Karena, jika Presiden PKS sudah menyatakan keberadaan surat tersebut, tentunya itu adalah suatu kebenaran. "Ya kalau Pak Sohibul menyampaikan agreement, sampaikan saja pernyataan itu kepada presiden partai. Saya tidak mengetahui dalam konteks surat. Kemudian Pak Sohibul menyampaikan demikian. Tentu presiden sebagai otoritas tertinggi di partai, tentu beliau tidak menyampaikan sembarangan," kata HNW di Gedung DPR Jakarta.

HNW mengatakan, kalau Presiden PKS mengetahui adanya surat tersebut, tentu dirinya sebagai salah satu pimpinan Majelis Syura PKS mengetahuinya. Menurutnya, surat itu merupakan komitmen bersama untuk menguatkan koalisi antara Gerindra dan PKS agar kemudian bisa memberikan komitmen-komitmen yang lebih operasional dan lebih baik ke depan.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7992 seconds (0.1#10.140)