Penceramah Disarankan Gunakan Metode Lebih Friendly ke Milenial
loading...
A
A
A
JAKARTA - Karakter manusia Indonesia adalah pejuang pantang menyerah yang membangun peradabannya dengan modal persatuan. Memahami sejarah bangsa adalah sebuah kewajiban karena sejarah adalah penting untuk menguatkan karakter bangsa.
Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Modern Bayt Quran, Dr Syarullah Iskandar MA mengajak untuk mewaspadai paham radikal terorisme. Perlu juga upaya pencerahan kepada masyarakat untuk mencegah dan melindungi diri dari paham tersebut.
Dia mengajak para penceramah untuk menggunakan metode yang lebih bersahabat atau friendly dalam menyampaikan dakwah agar lebih mudah ditangkap dan dicerna oleh nalar masyarakat dan kaum milenial.
Misalnya "frekuensi" dalam memberikan pemahaman keagamaan agar lebih mengena ke masyarakat itu harus ditingkatkan. Kedua, pengembangan metode memberikan arahan, karena generasi milenial kan banyak perubahan dari yang sebelum-sebelumnya.
“Misalnya lebih visual ketimbang baca teks, nah kecenderungan-kecenderungan ini harus dibaca kemudian diisi dengan konten-konten yang menarik. Tentu saja kontennya isinya untuk memberikan pemahaman moderat kepada masyarakat dalam hal keagamaan,” ungkap Syarullah, Jumat 7 Agustus 2020.
Dia menyarankan pemerintah merangkul tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat. Tokoh agama mempunyai massa sehingga ketika dirangkul diharapkan mereka bisa menularkan ilmunya kepada masyarakat. Dengan demikian pemahaman yang moderat ini lahir dari sana.
“Dakwahnya tentu saja harus memberikan keteladanan, kemudian harus sesuai konteks zaman yang ada. Karena kekurangan kita selama ini selalu mengaggap zaman kita itu yang terbaik di masa dulu, padahal zaman kan berubah. Mungkin poin yang ingin disampaikan sama dengan yang dulu-dulu tetapi mungkin cara memahamkannya kekinian, kemudian metodenya juga kekinian itu pasti menarik untuk generasi muda,” tuturnya.
Di bagian lain, untuk memahami dan menggali teks-teks keagamaan itu perlu pendampingan oleh orang yang berkompeten untuk terus berguru.
( )
Dia menuturkan, dalam agama itu sebenarnya adalah fas`alu ahla adz-dzikri “bergurulah kepada yang ahlinya”. Karena kalau memahami Alquran, misalnya hanya satu ayat yang dipahami dan tidak dikaitkan dengan ayat yang lain, tentunya pasti ada yang kurang mengena pemahamannya
Syarullah mengungkapkan selama menjadi narasumber dalam program deradikalisasi, dirinya menyadarimereka yang telah terpapar paham radikal terorisme itu karena dulunya mereka dicekoki doktrin begitu saja tanpa melakukan tabayyun atau meneliti terlebih dahulu.
“Setelah kita debat, kita kasih data-data yang lain selain yang diterima dari jaringan mereka, maka mereka sadar juga. Saya kira memahamkan sesuatu hal ini harus terus berkelanjutan. Oleh karena itu banyak sektor yang harus kita masuki. Sektor komunikasi informasi, IT nya itu harus kita perkuat, karena mereka juga lihai dalam hal itu. Kemudian indoktrinasinya harus positif sehingga mereka bisa melakukan tabayyun terlebih dahulu dalam melihat suatu permasalahan,” tuturnya.
Menurut dia, menyadarkan orang karena pernah terlibat maupun terpapar paham radikal terorisme memang tidak harus diukur dengan cepat karena prosesnya lama. Karena ini menyangkut ideologi, dan kalau orang sudah berbicara ideologi, ibaratnya punya 1.000 nyawa. Mati satu nyawa masih ada 999 nyawa lagi.
“Seperti kanker. Itu memang agak memakan waktu (untuk mengatasinya-red). Harus berkelanjutan, terencana dengan baik, sistematis dan tepat sasaran. Saya kira itu yang harus dipadukan ketika menyusun program. Karena paham radikal teorisme di indonesia bagaimanapun tetap ada karena paham ini memang karena jaringan, bukan berarti satu orang ditangkap lalu sudah selesai,” tuturnya.
Lihat Juga: Ulama Sepuh dan Ribuan Warga 21 Kecamatan Lombok Timur Kukuhkan Dukungan untuk Rohmi-Firin
Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Modern Bayt Quran, Dr Syarullah Iskandar MA mengajak untuk mewaspadai paham radikal terorisme. Perlu juga upaya pencerahan kepada masyarakat untuk mencegah dan melindungi diri dari paham tersebut.
Dia mengajak para penceramah untuk menggunakan metode yang lebih bersahabat atau friendly dalam menyampaikan dakwah agar lebih mudah ditangkap dan dicerna oleh nalar masyarakat dan kaum milenial.
Misalnya "frekuensi" dalam memberikan pemahaman keagamaan agar lebih mengena ke masyarakat itu harus ditingkatkan. Kedua, pengembangan metode memberikan arahan, karena generasi milenial kan banyak perubahan dari yang sebelum-sebelumnya.
“Misalnya lebih visual ketimbang baca teks, nah kecenderungan-kecenderungan ini harus dibaca kemudian diisi dengan konten-konten yang menarik. Tentu saja kontennya isinya untuk memberikan pemahaman moderat kepada masyarakat dalam hal keagamaan,” ungkap Syarullah, Jumat 7 Agustus 2020.
Dia menyarankan pemerintah merangkul tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat. Tokoh agama mempunyai massa sehingga ketika dirangkul diharapkan mereka bisa menularkan ilmunya kepada masyarakat. Dengan demikian pemahaman yang moderat ini lahir dari sana.
“Dakwahnya tentu saja harus memberikan keteladanan, kemudian harus sesuai konteks zaman yang ada. Karena kekurangan kita selama ini selalu mengaggap zaman kita itu yang terbaik di masa dulu, padahal zaman kan berubah. Mungkin poin yang ingin disampaikan sama dengan yang dulu-dulu tetapi mungkin cara memahamkannya kekinian, kemudian metodenya juga kekinian itu pasti menarik untuk generasi muda,” tuturnya.
Di bagian lain, untuk memahami dan menggali teks-teks keagamaan itu perlu pendampingan oleh orang yang berkompeten untuk terus berguru.
( )
Dia menuturkan, dalam agama itu sebenarnya adalah fas`alu ahla adz-dzikri “bergurulah kepada yang ahlinya”. Karena kalau memahami Alquran, misalnya hanya satu ayat yang dipahami dan tidak dikaitkan dengan ayat yang lain, tentunya pasti ada yang kurang mengena pemahamannya
Syarullah mengungkapkan selama menjadi narasumber dalam program deradikalisasi, dirinya menyadarimereka yang telah terpapar paham radikal terorisme itu karena dulunya mereka dicekoki doktrin begitu saja tanpa melakukan tabayyun atau meneliti terlebih dahulu.
“Setelah kita debat, kita kasih data-data yang lain selain yang diterima dari jaringan mereka, maka mereka sadar juga. Saya kira memahamkan sesuatu hal ini harus terus berkelanjutan. Oleh karena itu banyak sektor yang harus kita masuki. Sektor komunikasi informasi, IT nya itu harus kita perkuat, karena mereka juga lihai dalam hal itu. Kemudian indoktrinasinya harus positif sehingga mereka bisa melakukan tabayyun terlebih dahulu dalam melihat suatu permasalahan,” tuturnya.
Menurut dia, menyadarkan orang karena pernah terlibat maupun terpapar paham radikal terorisme memang tidak harus diukur dengan cepat karena prosesnya lama. Karena ini menyangkut ideologi, dan kalau orang sudah berbicara ideologi, ibaratnya punya 1.000 nyawa. Mati satu nyawa masih ada 999 nyawa lagi.
“Seperti kanker. Itu memang agak memakan waktu (untuk mengatasinya-red). Harus berkelanjutan, terencana dengan baik, sistematis dan tepat sasaran. Saya kira itu yang harus dipadukan ketika menyusun program. Karena paham radikal teorisme di indonesia bagaimanapun tetap ada karena paham ini memang karena jaringan, bukan berarti satu orang ditangkap lalu sudah selesai,” tuturnya.
Lihat Juga: Ulama Sepuh dan Ribuan Warga 21 Kecamatan Lombok Timur Kukuhkan Dukungan untuk Rohmi-Firin
(dam)