Soal Program Ganjar-Mahfud, Pengamat: Pendidikan Obat Mujarab Putus Rantai Kemiskinan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pendidikan dinilai obat mujarab untuk memutus rantai kemiskinan. Satu anggota keluarga miskin yang berpendidikan tinggi berpotensi besar mengubah ekonomi keluarganya karena memiliki kesempatan kerja yang lebih luas.
Pandangan ini disampaikan Pakar Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjudin Nur Effendi menanggapi Program Satu Keluarga Miskin Satu Sarjana yang diusung pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) Ganjar Pranowo-Mahfud MD di Pilpres 2024.
"Kita bisa memutus mata rantai kemiskinan dengan pendidikan. Seandainya dalam satu keluarga pendidikan berubah, kehidupan mereka akan berubah. Ada kesempatan bekerja dan mendapat penghasilan, memutus mata rantai kemiskinan," kata Tadjudin, Kamis (28/12/2023).
Sejak 1990-an, kata Tadjudin, pemerintah berupaya menyelaraskan antara pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja. Belakangan ini muncul keinginan untuk memberikan pendidikan vokasi yang menekankan keterampilan untuk menjawab kebutuhan pasar kerja.
Namun, Tadjudin melihat ada gap antara perkembangan teknologi dan dunia pendidikan. "Semacam ada jarak antara dunia pendidikan dan teknologi, yang berkelindan langsung dengan lapangan pekerjaan," katanya.
Menurutnya, sektor pendidikan dan ketenagakerjaan saling berkelindan, sehingga dibutuhkan tenaga kerja yang kompeten dan melek teknologi untuk menjawab tantangan hari ini. Namun di sisi lain, lapangan kerja yang tersedia juga terbatas.
"Dalam rangka Indonesia Emas, kita berhadapan dengan bonus demografi, penduduk usia produktif mencapai 70%, sedangkan lapangan pekerjaan berkembang sangat lambat," katanya.
Untuk diketahui, pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD memiliki Program Satu Keluarga Miskin Satu Sarjana. Ganjar merasa semua daerah harus menjalankan program tersebut yang dikomandoi oleh pemerintah pusat. Pendataan akan dilakukan dengan rinci, penyusunan sistem canggih dan pelaksanaan dengan benar dan transparan. "Negara bisa hadir membantu keluarga itu agar ada anaknya 1 sarjana dalam keluarga miskin untuk mengubah nasibnya," kata Ganjar.
Mantan Gubernur Jawa Tengah dua periode itu yakin dalam satu keluarga selalu ada potensi besar. Jika dipersiapkan dengan benar, maka akan mampu mengubah nasib ke depan.
"Ketika kemudian mereka menyiapkan diri jauh ke depan dan dia butuh bimbingan, maka pendidikan menjadi jalur utama yang ada," imbuh Ganjar.
Sementara itu, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Teguh Dartanto menerangkan, berdasarkan penelitian dengan menggunakan data panel 21 tahun menunjukkan ada keterkaitan erat antara investasi pendidikan dengan pengentasan kemiskinan.
"Investasi pendidikan yang dapat memutus rantai kemiskinan dan juga mendorong kelompok miskin naik kelas menjadi kelompok kelas menengah," katanya.
Kendati demikian, Teguh menerangkan tantangan beratnya adalah bagaimana agar para sarjana terlahir dari kampus atau universitas berkualitas. "Isunya bukan tentang mencetak sarjana atau bukan sarjana, isunya adalah bagaimana mendorong orang sekolah di tempat berkualitas, sehingga bisa menjadi sarjana yang berkualitas yang bisa diserap di pasar tenaga kerja," katanya.
Menurutnya, jika sekadar mencetak sarjana, maka akan sangat berpotensi memunculkan masalah baru. "Jika kita sekadar mencetak sarjana tanpa dibarengi dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh lapangan kerja, maka yang terjadi adalah pengangguran terdidik yang akan mendorong instabilitas sosial," katanya.
Pandangan ini disampaikan Pakar Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjudin Nur Effendi menanggapi Program Satu Keluarga Miskin Satu Sarjana yang diusung pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) Ganjar Pranowo-Mahfud MD di Pilpres 2024.
"Kita bisa memutus mata rantai kemiskinan dengan pendidikan. Seandainya dalam satu keluarga pendidikan berubah, kehidupan mereka akan berubah. Ada kesempatan bekerja dan mendapat penghasilan, memutus mata rantai kemiskinan," kata Tadjudin, Kamis (28/12/2023).
Sejak 1990-an, kata Tadjudin, pemerintah berupaya menyelaraskan antara pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja. Belakangan ini muncul keinginan untuk memberikan pendidikan vokasi yang menekankan keterampilan untuk menjawab kebutuhan pasar kerja.
Namun, Tadjudin melihat ada gap antara perkembangan teknologi dan dunia pendidikan. "Semacam ada jarak antara dunia pendidikan dan teknologi, yang berkelindan langsung dengan lapangan pekerjaan," katanya.
Menurutnya, sektor pendidikan dan ketenagakerjaan saling berkelindan, sehingga dibutuhkan tenaga kerja yang kompeten dan melek teknologi untuk menjawab tantangan hari ini. Namun di sisi lain, lapangan kerja yang tersedia juga terbatas.
"Dalam rangka Indonesia Emas, kita berhadapan dengan bonus demografi, penduduk usia produktif mencapai 70%, sedangkan lapangan pekerjaan berkembang sangat lambat," katanya.
Untuk diketahui, pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD memiliki Program Satu Keluarga Miskin Satu Sarjana. Ganjar merasa semua daerah harus menjalankan program tersebut yang dikomandoi oleh pemerintah pusat. Pendataan akan dilakukan dengan rinci, penyusunan sistem canggih dan pelaksanaan dengan benar dan transparan. "Negara bisa hadir membantu keluarga itu agar ada anaknya 1 sarjana dalam keluarga miskin untuk mengubah nasibnya," kata Ganjar.
Mantan Gubernur Jawa Tengah dua periode itu yakin dalam satu keluarga selalu ada potensi besar. Jika dipersiapkan dengan benar, maka akan mampu mengubah nasib ke depan.
"Ketika kemudian mereka menyiapkan diri jauh ke depan dan dia butuh bimbingan, maka pendidikan menjadi jalur utama yang ada," imbuh Ganjar.
Sementara itu, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Teguh Dartanto menerangkan, berdasarkan penelitian dengan menggunakan data panel 21 tahun menunjukkan ada keterkaitan erat antara investasi pendidikan dengan pengentasan kemiskinan.
"Investasi pendidikan yang dapat memutus rantai kemiskinan dan juga mendorong kelompok miskin naik kelas menjadi kelompok kelas menengah," katanya.
Kendati demikian, Teguh menerangkan tantangan beratnya adalah bagaimana agar para sarjana terlahir dari kampus atau universitas berkualitas. "Isunya bukan tentang mencetak sarjana atau bukan sarjana, isunya adalah bagaimana mendorong orang sekolah di tempat berkualitas, sehingga bisa menjadi sarjana yang berkualitas yang bisa diserap di pasar tenaga kerja," katanya.
Menurutnya, jika sekadar mencetak sarjana, maka akan sangat berpotensi memunculkan masalah baru. "Jika kita sekadar mencetak sarjana tanpa dibarengi dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh lapangan kerja, maka yang terjadi adalah pengangguran terdidik yang akan mendorong instabilitas sosial," katanya.
(cip)