Hidupkan Pasal Penghinaan Presiden Hambat Warga Kritik Pemerintah
A
A
A
JAKARTA - Upaya DPR dan Pemerintah untuk menghidupkan pasal penghinaan Presiden rupanya akan terus berlanjut setelah seluruh fraksi di DPR menyetujui pasal tersebut dimasukkan dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menganggap tidak ada urgensinya untuk menghidupkan pasal itu kembali. Menurutnya, upaya itu melanggar nilai-nilai demokrasi dan karena itu pula, sebenarnya pasal itu sudah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Kontitusi (MK) melalui putusan No. 013-022/PUUIV/2006.
"Pasal itu sudah tidak relevan dengan demokrasi dan negara hukum modern. Di negara-negara asalnya, yaitu negara-negara monarki di Eropa, pasal itu sudah ditinggalkan," tutur Bivitri saat dihubungi SINDOnews, Sabtu (10/2/2018).
Bivitri menilai, jika pasal itu dihidupkan kembali, dampaknya adalah makin besarnya hambatan bagi warga negara untuk menyampaikan kritiknya terhadap pemerintah. Karena pasal itu sangat "karet" dan juga tidak relevan lagi untuk menempatkan presiden sebagai "simbol" negara.
Ia mengingatkan, pasal ini asalnya di negara monarki, yang rajanya dahulu pada masa lalu, diterapkan kolonial Belanda. Penerapan pasal ini disebutnya absolut, di mana pemerintahan bentukan Kolonial tidak bisa "dijatuhkan".
"Nah ini juga kan negara modern dengan sistem pemerintahan presidensil. Konteksnya sangat berbeda. Implikasi konkretnya, bisa-bisa kritik biasa terhadap presiden kena pasal ini. Padahal dalam negara demokrasi, kritik itu wajar dan justru harus ada," pungkasnya.
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menganggap tidak ada urgensinya untuk menghidupkan pasal itu kembali. Menurutnya, upaya itu melanggar nilai-nilai demokrasi dan karena itu pula, sebenarnya pasal itu sudah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Kontitusi (MK) melalui putusan No. 013-022/PUUIV/2006.
"Pasal itu sudah tidak relevan dengan demokrasi dan negara hukum modern. Di negara-negara asalnya, yaitu negara-negara monarki di Eropa, pasal itu sudah ditinggalkan," tutur Bivitri saat dihubungi SINDOnews, Sabtu (10/2/2018).
Bivitri menilai, jika pasal itu dihidupkan kembali, dampaknya adalah makin besarnya hambatan bagi warga negara untuk menyampaikan kritiknya terhadap pemerintah. Karena pasal itu sangat "karet" dan juga tidak relevan lagi untuk menempatkan presiden sebagai "simbol" negara.
Ia mengingatkan, pasal ini asalnya di negara monarki, yang rajanya dahulu pada masa lalu, diterapkan kolonial Belanda. Penerapan pasal ini disebutnya absolut, di mana pemerintahan bentukan Kolonial tidak bisa "dijatuhkan".
"Nah ini juga kan negara modern dengan sistem pemerintahan presidensil. Konteksnya sangat berbeda. Implikasi konkretnya, bisa-bisa kritik biasa terhadap presiden kena pasal ini. Padahal dalam negara demokrasi, kritik itu wajar dan justru harus ada," pungkasnya.
(ysw)