Dilema Jenderal Polisi, Karier Sedang Cemerlang Malah Ditugaskan Jadi Ajudan Soeharto
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anton Tabah bingung bukan kepalang. Ketika namanya sedang naik daun, polisi berpangkat Mayor itu malah diperintahkan menjadi ajudan mantan Presiden Soeharto yang saat itu sedang dihujat sana-sini.
Perintah itu diterima melalui sambungan telepon pada Juli 1998 atau sekitar dua bulan setelah Soeharto lengser dari kursi presiden yang telah diduduki selama 32 tahun.
"Ya, saya Jenderal Rusmanhadi, Kapolri, Mas Anton". Begitu bunyi suara di ujung telepon seperti dituturkan Irjen Pol (Purn) Anton Tabah dalam buku Pak Harto The Untold Stories dikutip, Minggu (17/12/2023).
Anton yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Dinas Penerangan Polda Jawa Tengah setengah tidak percaya. Masak Kapolri meneleponnya langsung. Tidak mungkin. Namun setelah mendengarkan dengan seksama, Anton mengenali suara di ujung telepon itu. Kapolri menjelaskan bahwa ia akan ditugaskan sekretaris Soeharto.
Dilema, menerima atau menolak. Itulah yang dirasakan Anton Tabah mengingat namanya sedang naik daun karena kerap menulis hasil pemikirannya di media massa. Anton juga disebut sebagai The Rising Star ABRI oleh majalah terkemuka bersandingan dengan Brigjen TNI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Brigjen TNI Prabowo Subianto.
"Sebenarnya di kalangan kami tidak lazim menawar penugasan, tetapi saya mohon diberi kesempatan untuk salat istikharah, memohon petunjuk Allah SWT," kata Anton Tabah yang akhirnya diberikan waktu 2 pekan untuk berpikir.
Kapolda Jateng Mayjen Pol Nurfaizi yang mengetahui hal itu, kemudian membuat surat keberatan kepada Kapolri. Ada dua pertimbangan yang membuat Nurfaizi keberat. Pertama, ia merasa pemikiran Anton Tabah masih dibutuhkan oleh Kepolisian. Kedua, ia khawatir Anton Tabah masuk dalam killing ground karena tulisan-tulisannya.
"Sejak masih letnan, saya sudah melemparkan gagasan tentang pemisahan TNI dan Polri. Itu membuat saya ditugaskan tiga tahun dalam Operasi Seroja di Timor Timur," tutur Anton.
Alam pikiran Anton Tabah terus berkecamuk. Ia membayangkan mendampingi Pak Harto yang waktu itu dijauhi oleh banyak orang tentu bukan hal yang menyenangkan. Bisa-bisa hal itu malah membahayakan kariernya yang sedang cemerlang.
Dalam kebingungan itu, polisi kelahiran Godean, Yogyakarta, 6 Juni 1958 tersebut akhirnya pulang ke kampung halaman menemui ibunya. Anton Tabah meminta pendapat dari orang yang sangat dicintai dan dihormatinya itu.
"Jika itu memang perintah pimpinanmu, laksanakan. Mendampingi mantan penguasa yang sedang terluka dan teraniaya, lebih mulia daripada mendampingi penguasa yang sedang berjaya," ucap sang ibu kepada Anton.
Untuk memantapkan hati, Anton kemudian menelepon sahabatnya, seorang budayawan, Emha Ainun Najib alias Cak Nun. Dalam sambungan telepon itu, Cak Nun menyitir sebuah hadis, 'Akan dimuliakan Allah orang yang melakukan 3 hal; menemani penguasa yang jatuh, menemani orang terhormat yang dihinakan, menemani orang kaya yang jatuh miskin'.
"Saya pun mantap berangkat memenuhi perintah atasan," ujar Anton Tabah.
Anton langsung berangkat ke Jakarta dan menemui Soeharto di kediamannya, Jalan Cendana, Menteng. Setelah salat Isya, ia ditemani Kepala Protokol Istana Maftuh Basyuni, Komandan Paspampres Brigjen TNI Endriartono Sutarto, dan Wakapolda Metro Jaya Brigjen Pol Sutanto menghadap Pak Harto.
Soeharto dengan senyuman khasnya menyambut Anton Tabah. "Ton, kamu jangan takut bertugas mendampingi saya karena tugasmu ini konstitusional," kata Pak Harto.
Menurut Anton, kalimat itu menandakan Soeharto adalah seorang yang taat konstitusi. Setiap tindakannya memiliki landasan hukum, termasuk ketika mendapatkan pelayanan negara untuk didampingi sekretaris pribadi.
Anton Tabah melaksanakan tugas mendampingi mantan Presiden Soeharto hingga penguasa Orde Baru itu meninggal dunia pada 27 Januari 2008. Setelah itu, Anton sempat menjabat sebagai Staf Ahli Kapolri sebelum pensiun pada 2016 dengan pangkat terakhir Irjen Pol. Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI (2018-2020) itu meninggal dunia pada 10 Oktober 2021 dan dimakamkan di Margomulyo, Klaten Utara, Klaten, Jawa Tengah.
Perintah itu diterima melalui sambungan telepon pada Juli 1998 atau sekitar dua bulan setelah Soeharto lengser dari kursi presiden yang telah diduduki selama 32 tahun.
"Ya, saya Jenderal Rusmanhadi, Kapolri, Mas Anton". Begitu bunyi suara di ujung telepon seperti dituturkan Irjen Pol (Purn) Anton Tabah dalam buku Pak Harto The Untold Stories dikutip, Minggu (17/12/2023).
Baca Juga
Anton yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Dinas Penerangan Polda Jawa Tengah setengah tidak percaya. Masak Kapolri meneleponnya langsung. Tidak mungkin. Namun setelah mendengarkan dengan seksama, Anton mengenali suara di ujung telepon itu. Kapolri menjelaskan bahwa ia akan ditugaskan sekretaris Soeharto.
Dilema, menerima atau menolak. Itulah yang dirasakan Anton Tabah mengingat namanya sedang naik daun karena kerap menulis hasil pemikirannya di media massa. Anton juga disebut sebagai The Rising Star ABRI oleh majalah terkemuka bersandingan dengan Brigjen TNI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Brigjen TNI Prabowo Subianto.
"Sebenarnya di kalangan kami tidak lazim menawar penugasan, tetapi saya mohon diberi kesempatan untuk salat istikharah, memohon petunjuk Allah SWT," kata Anton Tabah yang akhirnya diberikan waktu 2 pekan untuk berpikir.
Kapolda Jateng Mayjen Pol Nurfaizi yang mengetahui hal itu, kemudian membuat surat keberatan kepada Kapolri. Ada dua pertimbangan yang membuat Nurfaizi keberat. Pertama, ia merasa pemikiran Anton Tabah masih dibutuhkan oleh Kepolisian. Kedua, ia khawatir Anton Tabah masuk dalam killing ground karena tulisan-tulisannya.
"Sejak masih letnan, saya sudah melemparkan gagasan tentang pemisahan TNI dan Polri. Itu membuat saya ditugaskan tiga tahun dalam Operasi Seroja di Timor Timur," tutur Anton.
Alam pikiran Anton Tabah terus berkecamuk. Ia membayangkan mendampingi Pak Harto yang waktu itu dijauhi oleh banyak orang tentu bukan hal yang menyenangkan. Bisa-bisa hal itu malah membahayakan kariernya yang sedang cemerlang.
Dalam kebingungan itu, polisi kelahiran Godean, Yogyakarta, 6 Juni 1958 tersebut akhirnya pulang ke kampung halaman menemui ibunya. Anton Tabah meminta pendapat dari orang yang sangat dicintai dan dihormatinya itu.
"Jika itu memang perintah pimpinanmu, laksanakan. Mendampingi mantan penguasa yang sedang terluka dan teraniaya, lebih mulia daripada mendampingi penguasa yang sedang berjaya," ucap sang ibu kepada Anton.
Untuk memantapkan hati, Anton kemudian menelepon sahabatnya, seorang budayawan, Emha Ainun Najib alias Cak Nun. Dalam sambungan telepon itu, Cak Nun menyitir sebuah hadis, 'Akan dimuliakan Allah orang yang melakukan 3 hal; menemani penguasa yang jatuh, menemani orang terhormat yang dihinakan, menemani orang kaya yang jatuh miskin'.
"Saya pun mantap berangkat memenuhi perintah atasan," ujar Anton Tabah.
Anton langsung berangkat ke Jakarta dan menemui Soeharto di kediamannya, Jalan Cendana, Menteng. Setelah salat Isya, ia ditemani Kepala Protokol Istana Maftuh Basyuni, Komandan Paspampres Brigjen TNI Endriartono Sutarto, dan Wakapolda Metro Jaya Brigjen Pol Sutanto menghadap Pak Harto.
Soeharto dengan senyuman khasnya menyambut Anton Tabah. "Ton, kamu jangan takut bertugas mendampingi saya karena tugasmu ini konstitusional," kata Pak Harto.
Menurut Anton, kalimat itu menandakan Soeharto adalah seorang yang taat konstitusi. Setiap tindakannya memiliki landasan hukum, termasuk ketika mendapatkan pelayanan negara untuk didampingi sekretaris pribadi.
Anton Tabah melaksanakan tugas mendampingi mantan Presiden Soeharto hingga penguasa Orde Baru itu meninggal dunia pada 27 Januari 2008. Setelah itu, Anton sempat menjabat sebagai Staf Ahli Kapolri sebelum pensiun pada 2016 dengan pangkat terakhir Irjen Pol. Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI (2018-2020) itu meninggal dunia pada 10 Oktober 2021 dan dimakamkan di Margomulyo, Klaten Utara, Klaten, Jawa Tengah.
(abd)