Kritisi Kebebasan berpendapat, LBH Sebut Demokrasi Indonesia Jauh dari Ideal
loading...
A
A
A
Gufron menyoroti beberapa kasus yang dialami Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang kini berhadapan dengan hukum dalam kasus dugaan pencemaran nama baik. Bahkan yang terbaru Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Melki Sedek Huang juga dikabarkan menerima intimidassi akibat mengkritik Putusan MK Nomor 90.
"Saya kira itu beberapa tanda yang dirasakan masyarakat dari menurunnya kebebasan sebagai cerminan dari demokrasi yang mengalami regresi," paparnya.
Berbagai kejadian itu juga dinilai menjadi potret yang secara induktif menggambarkan situasi umum hari ini. Kebebasan di ruang publik untuk kritis, berekspresi, berorganisasi, berdiskusi itu menghadapi dinamika politik elite yang anti terhadap kebebasan.
Gufron menilai kondisi dan situasi demokrasi di Indonesia tengah mengalami kemunduran serius, terutama di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya, kemunduran demokrasi Indonesia semakin nyata saat Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan atas perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia capres dan cawapres yang dinilai melanggengkan politik dinasti.
"Demokrasi Indonesia mengalami de-konsolidasi, regresi. Indikatornya banyak. Puncak dari kemunduran itu salah satunya ditandai dengan politik dinasti yang dimuluskan lewat Putusan MK Nomor 90," katanya.
Bahkan jauh sebelum Putusan MK muncul, publik juga sudah dihantui ketakutan untuk berbicara kritis di ruang publik.
"Sebelumnya kan sudah banyak yang secara kritis menyoroti situasi kebebasan di ruang publik yang menurun. Orang takut untuk bicara, menyuarakan pandangan kritisnya ke pemerintah, presiden, DPR, dan elite politik. Beberapa di antaranya ada yang dilaporkan ke polisi, dikriminalisasi," jelasnya.
Gufron menyayangkan penguasa saat ini yang muncul dari mekanisme demokrasi justru menyerang demokrasi. "Padahal mereka misalnya presiden, elite politik lain yang duduk dalam kekuasaan kan mereka muncul dari mekanisme politik demokrasi. Tapi justru mereka menjadi aktor yang menyerang demokrasi, kebebasan. Tentu itu menjadi sebuah ironi," tutupnya.
"Saya kira itu beberapa tanda yang dirasakan masyarakat dari menurunnya kebebasan sebagai cerminan dari demokrasi yang mengalami regresi," paparnya.
Berbagai kejadian itu juga dinilai menjadi potret yang secara induktif menggambarkan situasi umum hari ini. Kebebasan di ruang publik untuk kritis, berekspresi, berorganisasi, berdiskusi itu menghadapi dinamika politik elite yang anti terhadap kebebasan.
Gufron menilai kondisi dan situasi demokrasi di Indonesia tengah mengalami kemunduran serius, terutama di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya, kemunduran demokrasi Indonesia semakin nyata saat Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan atas perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia capres dan cawapres yang dinilai melanggengkan politik dinasti.
"Demokrasi Indonesia mengalami de-konsolidasi, regresi. Indikatornya banyak. Puncak dari kemunduran itu salah satunya ditandai dengan politik dinasti yang dimuluskan lewat Putusan MK Nomor 90," katanya.
Bahkan jauh sebelum Putusan MK muncul, publik juga sudah dihantui ketakutan untuk berbicara kritis di ruang publik.
"Sebelumnya kan sudah banyak yang secara kritis menyoroti situasi kebebasan di ruang publik yang menurun. Orang takut untuk bicara, menyuarakan pandangan kritisnya ke pemerintah, presiden, DPR, dan elite politik. Beberapa di antaranya ada yang dilaporkan ke polisi, dikriminalisasi," jelasnya.
Gufron menyayangkan penguasa saat ini yang muncul dari mekanisme demokrasi justru menyerang demokrasi. "Padahal mereka misalnya presiden, elite politik lain yang duduk dalam kekuasaan kan mereka muncul dari mekanisme politik demokrasi. Tapi justru mereka menjadi aktor yang menyerang demokrasi, kebebasan. Tentu itu menjadi sebuah ironi," tutupnya.
(kri)