Putusan MK soal Batas Usia Capres-Cawapres Dibacakan Rabu Pekan Depan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi ( MK ) akan membacakan putusan perkara 141/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama (NU), Brahma Aryana. Putusan perkara yang menyoal putusan batas usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) 40 tahun atau punya pengalaman jadi kepala daerah itu akan dibacakan pada Rabu (29/11/1013) pukul 11.00 WIB.
"Pengucapan putusan," tulis dalam situs MK yang dikutip, Jumat (24/11/2023).
Perkara tersebut diputuskan setelah melalui tahap dua kali sidang yang beragendakan pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan persidangan. Setelah itu, perkara tersebut dibahas dalam Rapat Permusyawatan Hakim (RPH).
Dalam permohonannya, Brahma meminta agar Pasal 169 huruf q undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 diubah.
"Terhadap frasa "yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah" bertentangan dengan undang-undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai "yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi", sehingga bunyi selengkapnya "Berusia paling rendah 40 tahun atau sedang mendudukinya jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi," jelasnya.
Brahma lantas mempersalahkan jumlah hakim yang sepakat dengan putusan tersebut yakni terdapat 5 hakim yang sepakat untuk mengabulkan permohonan. Terdapat perbedaan syarat alternatif dalam memaknai Pasal 169 huruf q UU 7 tahun 2017.
"3 hakim Konstitusi yang memaknai 'pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum tennasuk pemilihan kepala daerah', 2 hakim Konstitusi yang memaknai berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi pada jabatan Gubernur," kata Brahma dalam permohonannya.
Menurutnya, putusan tersebut tidak memenuhi syarat. Sebab, hanya 3 hakim konstitusi yang setuju pada putusan tersebut diantaranya Anwar Usman Guntur Hamzah, dan Manahan MP Sitompul.
"Bahwa sementara 2 hakim konstitusi lainnya setuju terdapat alternatif syarat 'berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi'. Yakni Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Foekh," katanya.
Sementara terdapat 4 hakim yang tidak sepakat dengan putusan tersebut yakni Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Arief Hidayat. Artinya, hanya 3 hakim saja yang sepakat dengan putusan tersebut, 4 Hakim tidak setuju dan 2 hakim sepakat kalau dengan frasa pengalaman jadi kepala daerah minimal tingkat Provinsi. Brahma pun menegaskan bahwa putusan tersebut tidak sah atau inkonstitusional.
"Putusan itu inkonstitusional karena hanya berdasarkan 3 suara Hakim Konstitusidari 5 suara hakim konstitusi yang dibutuhkan," ucapnya.
Untuk diketahui, laporan pelanggaran kode etik Anwar Usman ini bermula ketika, para hakim MK menangani perkara soal uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Tepatnya, soal batas usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres Cawapres), dari 11 gugatan hanya 1 saja yang dikabulkan oleh MK.
Yakni gugatan yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A. Dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itu, Almas meminta MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik tingkat provinsi, kabupaten atau kota.
Gugatan tersebut ditengarai untuk memuluskan Gibran Raka Buming Raka menjadi Cawapres. Sebab, dia baru berusia 36 tahun namun memiliki pengalaman menjadi Wali Kota Solo. Benar atau tidak anggapan tersebut, sepekan pasca uji materiil itu dikabulkan MK, Gibran resmi diumumkan menjadi cawapres mendampingi Capres Prabowo Subianto, Minggu, (22/10/2023). Mereka juga sudah mendaftar di KPU RI sebagai pasangan capres-cawapres.
Hubungan kekeluargaan antara Gibran dan Anwar Usman pun disorot. Anwar merupakan paman dari Gibran. Lantaran hubungan kekeluargaan itu, Anwar Usman dikhawatirkan ada konflik kepentingan dalam perkara tersebut. Saat ini, ada 20 laporan soal pelanggaran kode etik tersebut yang ditangani MKMK.
Lihat Juga: Teliti Langkah Cak Imin sebagai Cawapres 2024, Mahasiswa S2 Paramadina Ini Raih IPK 3,95
"Pengucapan putusan," tulis dalam situs MK yang dikutip, Jumat (24/11/2023).
Perkara tersebut diputuskan setelah melalui tahap dua kali sidang yang beragendakan pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan persidangan. Setelah itu, perkara tersebut dibahas dalam Rapat Permusyawatan Hakim (RPH).
Dalam permohonannya, Brahma meminta agar Pasal 169 huruf q undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 diubah.
"Terhadap frasa "yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah" bertentangan dengan undang-undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai "yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi", sehingga bunyi selengkapnya "Berusia paling rendah 40 tahun atau sedang mendudukinya jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi," jelasnya.
Brahma lantas mempersalahkan jumlah hakim yang sepakat dengan putusan tersebut yakni terdapat 5 hakim yang sepakat untuk mengabulkan permohonan. Terdapat perbedaan syarat alternatif dalam memaknai Pasal 169 huruf q UU 7 tahun 2017.
"3 hakim Konstitusi yang memaknai 'pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum tennasuk pemilihan kepala daerah', 2 hakim Konstitusi yang memaknai berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi pada jabatan Gubernur," kata Brahma dalam permohonannya.
Menurutnya, putusan tersebut tidak memenuhi syarat. Sebab, hanya 3 hakim konstitusi yang setuju pada putusan tersebut diantaranya Anwar Usman Guntur Hamzah, dan Manahan MP Sitompul.
"Bahwa sementara 2 hakim konstitusi lainnya setuju terdapat alternatif syarat 'berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi'. Yakni Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Foekh," katanya.
Sementara terdapat 4 hakim yang tidak sepakat dengan putusan tersebut yakni Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Arief Hidayat. Artinya, hanya 3 hakim saja yang sepakat dengan putusan tersebut, 4 Hakim tidak setuju dan 2 hakim sepakat kalau dengan frasa pengalaman jadi kepala daerah minimal tingkat Provinsi. Brahma pun menegaskan bahwa putusan tersebut tidak sah atau inkonstitusional.
"Putusan itu inkonstitusional karena hanya berdasarkan 3 suara Hakim Konstitusidari 5 suara hakim konstitusi yang dibutuhkan," ucapnya.
Untuk diketahui, laporan pelanggaran kode etik Anwar Usman ini bermula ketika, para hakim MK menangani perkara soal uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Tepatnya, soal batas usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres Cawapres), dari 11 gugatan hanya 1 saja yang dikabulkan oleh MK.
Yakni gugatan yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A. Dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itu, Almas meminta MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik tingkat provinsi, kabupaten atau kota.
Gugatan tersebut ditengarai untuk memuluskan Gibran Raka Buming Raka menjadi Cawapres. Sebab, dia baru berusia 36 tahun namun memiliki pengalaman menjadi Wali Kota Solo. Benar atau tidak anggapan tersebut, sepekan pasca uji materiil itu dikabulkan MK, Gibran resmi diumumkan menjadi cawapres mendampingi Capres Prabowo Subianto, Minggu, (22/10/2023). Mereka juga sudah mendaftar di KPU RI sebagai pasangan capres-cawapres.
Hubungan kekeluargaan antara Gibran dan Anwar Usman pun disorot. Anwar merupakan paman dari Gibran. Lantaran hubungan kekeluargaan itu, Anwar Usman dikhawatirkan ada konflik kepentingan dalam perkara tersebut. Saat ini, ada 20 laporan soal pelanggaran kode etik tersebut yang ditangani MKMK.
Lihat Juga: Teliti Langkah Cak Imin sebagai Cawapres 2024, Mahasiswa S2 Paramadina Ini Raih IPK 3,95
(abd)