Calon Tunggal Pilkada Terus Meningkat, DPR Sebut Ada Banyak Faktor
loading...
A
A
A
JAKARTA - Calon tunggal pada Pilkada 2020 yang dihelat di 270 daerah diprediksi mengalami peningkatan menjadi 31 daerah atau hampir 2 kali lipat dari Pilkada 2018 yang berjumlah 16.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Komisi II DPR Arif Wibowo menilai bahwa ada banyak faktor yang menyebabkan munculnya calon tunggal dalam pilkada. Masalah yang paling utama di sistem demokrasi saat ini adalah mahalnya biaya politik sehingga tidak banyak parpol maupun calon yang berani bertaruh di kompetisi pilkada tersebut. (Baca juga: Kemenkumham Sahkan Kubu Muchdi PR, Tommy Soeharto Diyakini Bakal Melawan)
“Lalu kondisi pandemi yang membuat petahana dalam posisi leading, kalau calon lain maju dengan potensi kalahnya tinggi ketimbang menangnya buat apa?” ujar Arif saat dihubungi SINDOnew s, Jumat (7/8/2020).
Kemudian, Arif menjelaskan, calon tunggal juga akibat proses politik yang tidak cukup dan hal itu yang tidak terbangun di banyak daerah. Karena, tidak adanya calon yang reputasi pribadi maupun politiknya dikenal masyarakat karena modal banyak uang saja tidak cukup untuk bertarung di pilkada.
“Jadi, tidak cukup calon karena reputasi pribadi, tapi juga reputasi politik, jejaknya harus jelas. Tidak cukup modal uang banyak,” terangnya.
Terkait pragmatisme parpol yang dinilai meningkat, Ketua DPP PDIP ini menegaskan bahwa tidak bisa calon tunggal ini hanya dikaitkan dengan satu faktor saja. Calon tunggal memang muncul karena biaya politik pilkada yang mahal tetapi itu bukan faktor tunggal.
“Proses politik yang tidak memadai juga berpengaruh. Kalau proses politik berjalan dan cost politik tidak mahal maka akan banyak calon yang muncul,” kilah Arif.
Selain itu, dia menambahkan, situasi masyarakat saat ini ada dalam apatisme politik yang kian mengkhawatirkan dan menjadi tanggung jawab parpol untuk mengubah itu. (Baca juga: Investigasi Ledakan Beirut, 2.750 Ton Amonium Nitrat Terbengkalai Sejak 2013)
“Ini tanggung jawab parpol yang harus diperjuangkan untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat,” tandasnya.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Komisi II DPR Arif Wibowo menilai bahwa ada banyak faktor yang menyebabkan munculnya calon tunggal dalam pilkada. Masalah yang paling utama di sistem demokrasi saat ini adalah mahalnya biaya politik sehingga tidak banyak parpol maupun calon yang berani bertaruh di kompetisi pilkada tersebut. (Baca juga: Kemenkumham Sahkan Kubu Muchdi PR, Tommy Soeharto Diyakini Bakal Melawan)
“Lalu kondisi pandemi yang membuat petahana dalam posisi leading, kalau calon lain maju dengan potensi kalahnya tinggi ketimbang menangnya buat apa?” ujar Arif saat dihubungi SINDOnew s, Jumat (7/8/2020).
Kemudian, Arif menjelaskan, calon tunggal juga akibat proses politik yang tidak cukup dan hal itu yang tidak terbangun di banyak daerah. Karena, tidak adanya calon yang reputasi pribadi maupun politiknya dikenal masyarakat karena modal banyak uang saja tidak cukup untuk bertarung di pilkada.
“Jadi, tidak cukup calon karena reputasi pribadi, tapi juga reputasi politik, jejaknya harus jelas. Tidak cukup modal uang banyak,” terangnya.
Terkait pragmatisme parpol yang dinilai meningkat, Ketua DPP PDIP ini menegaskan bahwa tidak bisa calon tunggal ini hanya dikaitkan dengan satu faktor saja. Calon tunggal memang muncul karena biaya politik pilkada yang mahal tetapi itu bukan faktor tunggal.
“Proses politik yang tidak memadai juga berpengaruh. Kalau proses politik berjalan dan cost politik tidak mahal maka akan banyak calon yang muncul,” kilah Arif.
Selain itu, dia menambahkan, situasi masyarakat saat ini ada dalam apatisme politik yang kian mengkhawatirkan dan menjadi tanggung jawab parpol untuk mengubah itu. (Baca juga: Investigasi Ledakan Beirut, 2.750 Ton Amonium Nitrat Terbengkalai Sejak 2013)
“Ini tanggung jawab parpol yang harus diperjuangkan untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat,” tandasnya.
(kri)