Fatwa MUI Harus Disikapi Rasional, Hindari Tindakan Intoleransi

Minggu, 19 November 2023 - 23:36 WIB
loading...
Fatwa MUI Harus Disikapi...
Kepala Bidang Penyelenggaraan Peribadatan Masjid Istiqlal Jakarta, KH Bukhori Sail Attahiri. FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait konflik Palestina-Israel disikapi kurang tepat oleh sejumlah kalangan. Fatwa MUI yang bertujuan menggalang dukungan terhadap rakyat Palestina, justru disalahpahami hingga menjurus pada tindakan intoleransi.

Kepala Bidang Penyelenggaraan Peribadatan Masjid Istiqlal Jakarta, KH Bukhori Sail Attahiri mengungkapkan MUI telah mengeluarkan fatwa sebagai bentuk solidaritas Indonesia terhadap Palestina. Namun jangan sampai masyarakat justru kesulitan karena terlalu banyak produk terkait Israel diboikot.

"Dalam menyikapi fatwa MUI ini, kalau saya pakai kaidah fikih, maa laa yudroku kulluh, laa yudroku kulluh. Artinya, sesuatu hal yang tidak bisa kita laksanakan semuanya. Fatwa MUI ini bisa kita laksanakan pada produk-produk yang memang tidak vital pada kebutuhan kita dan ada alternatif produk lain yang bisa kita gunakan," kata Kiai Bukhori di Jakarta, Minggu (19/11/2023).



Kiai Bukhori mengatakan, jika semua produk yang berkaitan dengan Israel diboikot, maka akan menyulitkan. Selain itu, akan berdampak negatif terhadap perekonomian rakyat Indonesia. Beberapa industri dalam negeri juga akan terdampak.

Fatwa MUI, kata Kiai Bukhori, dasarnya adalah hukum yang ditentukan oleh ijtihad para ulama. Adakalanya dalam mengikuti ijtihad para ulama, umat juga perlu menakar kemampuan sendiri. Jangan karena ingin menunjukkan solidaritas terhadap Palestina, malah menyulitkan diri sendiri dan menimbulkan kemudharatan lebih besar.

Pemboikotan produk Israel saat ini mirip dengan ketika dulu Presiden Prancis Emmanuel Macron melindungi majalah Charlie Hebdo, majalah mingguan di Prancis yang pernah membuat karikatur Nabi Muhammad. Ujungnya, banyak negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim, ramai-ramai memboikot segala produk yang terafiliasi dengan Prancis. Bahkan beberapa pihak ada yang sampai membeli produk-produk tertentu untuk kemudian membuangnya begitu saja.

"Kalau dengan cara membuang barang yang sudah terlanjur kita beli, maka itu hukumnya menjadi mubazir. Kalau kita mau memboikot, lakukanlah dengan cara tidak membeli barang yang terafiliasi Israel. Adapun produk yang sudah kita beli, sebaiknya kita gunakan dan manfaatkan saja. Jangan sampai kita berlaku mubazir, karena orang yang seperti itu justru kawannya setan," kata Kiai Bukhori.



Menurutnya, membuang begitu saja barang yang sudah dimiliki tidak sesuai dengan ajaran Islam. Apalagi jika sampai datang ke toko tertentu lalu menjarah barang-barangnya dan membuangnya dengan dalih solidaritas Palestina.

"Itu sudah masuk tindak pidana dan juga tidak sesuai dengan syariat Islam. Silakan saja kalau kita tidak mau membelinya, namun jangan sampai kita merugikan orang lain," katanya.

Kiai Bukhori mengatakan, sebenarnya konflik Palestina-Israel tidak terlepas dari kerumitan kepentingan politik di sana. Banyak negara di sekitar Palestina juga pernah mengajukan solusi yang sama seperti Indonesia, yaitu two-state solution atau pendirian dua negara yang sah dan saling berdampingan antara Palestina dan Israel. Dari dulu pun sebenarnya sudah banyak perundingan yang dilakukan untuk mendamaikan kedua negara ini.

Sebenarnya dulu itu sudah hampir terjadi suatu kesepakatan damai antara Palestina dan Israel. Saat itu Israel masih dipimpin Perdana Menteri Yitzhak Rabin yang ikut mengusulkan perdamaian kedua negara melalui Perundingan Oslo (Oslo Accords) pada tahun 1993-1995.

"Israel sudah dalam posisi menyetujui, Faksi Fattah pun menerima, namun Faksi Hamas dan beberapa grup militan Palestina pada saat itu masih menolak isi dari perjanjian damai tersebut. Hal ini akhirnya menghasilkan peperangan yang berlanjut sampai dengan sekarang," kata KH Bukhori.

Untuk itu Kiai Bukhori berharap agar masyarakat bisa menyikapi fatwa dari MUI secara rasional. Tidak ada yang salah dengan fatwanya, tapi akan menjadi masalah jika menafsirkannya secara kebablasan bahkan menjurus pada tindakan intoleransi hingga kekerasan.

"Fatwa ulama boleh kita ikuti, boleh juga tidak, karena itu bagian dari hasil ijtihad. Ijtihad ulama derajatnya tidaklah sama dengan nash qath'i, yang mana jika nash qath'i itu harus diikuti dan tidak boleh dilanggar, seperti keharaman memakan daging babi atau perbuatan mencuri. Adapun fatwa ulama harus dilakukan sesuai dengan kemampuan kita masing-masing," katanya.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1130 seconds (0.1#10.140)