Lewat Survei, Alvara Ungkap Sikap Keagamaan Kalangan Profesional
A
A
A
JAKARTA - Alvara Research Centre dan Mata Air Foundation memaparkan hasil survei mengenai pandangan kalangan profesional yang berkaitan dengan keagamaan.
Survei dilakukan terhadap 1.200 responden di enam kota besar Indonesia, yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar.
Profesional yang menjadi responden adalah kalangan pegawai negeri sipil (PNS), profesional di kalangan swasta, dan juga di kalangan badan usaha milik negara (BUMN).
CEO Alvara, Hasanuddin Ali memaparkan hasil surveinya mengungkapkan, profesional yang menjadi responden adalah kalangan PNS, profesional di kalangan swasta, dan juga di kalangan BUMN.
Survei dilakukan pada 10 September-5 Oktober 2017 melalui wawancara tatap muka. Dalam hasil survei ini diketahui relasi antara agama dan negara, bahwa dalam persepsi kepemimpinan, ada 29,7% yang tak mendukung pemimpin nonmuslim dan dari jumlah ini 31,3% adalah golongan PNS, kemudian 25,9% swasta dan 25,9% karyawan BUMN.
Dalam isu perda syariah, sebanyak 27,6% profesional mendukung perda syariah karena dianggap tepat mengakomodasi agama mayoritas.
“Dari jumlah ini, PNS yang mendukung perda syariah sebanyak 35,3%, swasta 36,6%. Adapun yang menyatakan perda syariah tak tepat karena membahayakan NKRI adalah sebanyak 45,1%,” Hasanuddin di Hotel Sari Pan Pacific, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Senin (23/10/2017).
Kemudian ketika ditanya Pancasila sebagai ideologi negara, kata dia, mayoritas profesional sebanyak 84,5% menyatakan Pancasila sebagai ideologi yang tepat bagi negara Indonesia sedangkan 15,5% menyatakan idiologi Islam yang tepat.
Namun menariknya, sambung dia, PNS yang menyatakan ideologi Islam yang tepat di Indonesia ada sebanyak 19,4%, jauh lebih besar dibanding swasta 9,1% dan BUMN 18,1%.
Hasanuddin menjelaskan, tidak kalah menarik sebanyak 29,6% profesional setuju negara Islam perlu diperjuangkan untuk penerapan Islam secara kaffah.
Kendati demikian, ketika dipersempit dengan khilafah sebagai bentuk negara, profesional yang setuju khilafah sebanyak 16%, dan 84% menyatakan yang ideal adalah NKRI.
"Dalam soal jihad untuk tegaknya agama Islam, mayoritas profesional tak setuju berjihad. Namun tak bisa diabaikan juga bahwa ada 19,6% profesional yang setuju bahkan ini lebih banyak PNS dibanding yang BUMN maupun swasta," tuturnya.
Menanggapi hasil survei tersebut, Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Fajar Riza Ul Haq menganggap sebagai alarm untuk semua puhak mengenai potret kecenderungan masyarakat muslim kelas menengah di Indonesia saat ini.
Fajar yakin apa yang ditunjukkan survei ini bukan datang tiba-tiba tapi hasil proses panjang yang konsekuensinya dirasakan sekarang.
"Dahulu kelompok masyarakat Islam kita berdebat NU dan Muhammadiyah. Sekarang yang terjadi adalah kontestasi siapa yang lebih Islam. Kemudia generasi sekarang yang jadi kelas menengah adalah yang hanya merasakan gejolak Reformasi tapi tak merasakan gejolak Islam Orde Baru," tuturnya.
Pembicara lainnya dari Lakpasdam PBNU Rumadi Ahmad mengatakan, apa yang disampaikan dalam survei ini sangat penting.
Menurut dia, dahulu banyak kalangan menilai radikalisme bukan hal serius, padahal efeknya sangat besar. “Sekarang terbukti bahwa intoleransi masuk ke semua lini kehidupan kebangsaan. Bukan hanya masuk pada yang kelompok DNA-nya sudah radikal tapi juga kelompok yang DNA tak radikal namun ikut-ikut. Yang tak punya imunitas terhadap radikalisme masuk dan ikut. Sehingga semua dengan mudah menerima ajaran intoleransi dan radikalisme," ujar Rumadi.
Rumadi juga melihat dari sisi usia, sebagian besar kalangan ini pekerja yang masuk pasca-Reformasi. Menurut dia, ini bisa menjelaskan banyak hal. Misalnya dalam seleksi PNS tak ada lagi yang mengecek ideologi kebangsaannya.
"Kita harus menata ulang persoalan ideologi kebangsaan. Apalagi ini aparatur negara yang kelihatan. Sekali lagi ini bukan masalah sederhana. Sebab yang dimasuki ini adalah PNS, profesiobal swasta dan BUMN," katanya.
Kepala Balitbang diklat Kementerian Agama (Kemenag) Abdurrahman Mas'ud mengatakan, pihaknya sangat terbuka untuk meneruskan kajian dari hasil survei ini karena bisa menjadi alarm sekaligus mengambil langkah kebijakan bersama.
"Hasil survei ini perlu dielaborasi. Selanjutnya kita harus duduk bersama dan hasil kajian ini kita jadikan pijakan mengambil langkah dengan konkret dalam mengantisipasi radikalisme," ujarnya.
Survei dilakukan terhadap 1.200 responden di enam kota besar Indonesia, yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar.
Profesional yang menjadi responden adalah kalangan pegawai negeri sipil (PNS), profesional di kalangan swasta, dan juga di kalangan badan usaha milik negara (BUMN).
CEO Alvara, Hasanuddin Ali memaparkan hasil surveinya mengungkapkan, profesional yang menjadi responden adalah kalangan PNS, profesional di kalangan swasta, dan juga di kalangan BUMN.
Survei dilakukan pada 10 September-5 Oktober 2017 melalui wawancara tatap muka. Dalam hasil survei ini diketahui relasi antara agama dan negara, bahwa dalam persepsi kepemimpinan, ada 29,7% yang tak mendukung pemimpin nonmuslim dan dari jumlah ini 31,3% adalah golongan PNS, kemudian 25,9% swasta dan 25,9% karyawan BUMN.
Dalam isu perda syariah, sebanyak 27,6% profesional mendukung perda syariah karena dianggap tepat mengakomodasi agama mayoritas.
“Dari jumlah ini, PNS yang mendukung perda syariah sebanyak 35,3%, swasta 36,6%. Adapun yang menyatakan perda syariah tak tepat karena membahayakan NKRI adalah sebanyak 45,1%,” Hasanuddin di Hotel Sari Pan Pacific, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Senin (23/10/2017).
Kemudian ketika ditanya Pancasila sebagai ideologi negara, kata dia, mayoritas profesional sebanyak 84,5% menyatakan Pancasila sebagai ideologi yang tepat bagi negara Indonesia sedangkan 15,5% menyatakan idiologi Islam yang tepat.
Namun menariknya, sambung dia, PNS yang menyatakan ideologi Islam yang tepat di Indonesia ada sebanyak 19,4%, jauh lebih besar dibanding swasta 9,1% dan BUMN 18,1%.
Hasanuddin menjelaskan, tidak kalah menarik sebanyak 29,6% profesional setuju negara Islam perlu diperjuangkan untuk penerapan Islam secara kaffah.
Kendati demikian, ketika dipersempit dengan khilafah sebagai bentuk negara, profesional yang setuju khilafah sebanyak 16%, dan 84% menyatakan yang ideal adalah NKRI.
"Dalam soal jihad untuk tegaknya agama Islam, mayoritas profesional tak setuju berjihad. Namun tak bisa diabaikan juga bahwa ada 19,6% profesional yang setuju bahkan ini lebih banyak PNS dibanding yang BUMN maupun swasta," tuturnya.
Menanggapi hasil survei tersebut, Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Fajar Riza Ul Haq menganggap sebagai alarm untuk semua puhak mengenai potret kecenderungan masyarakat muslim kelas menengah di Indonesia saat ini.
Fajar yakin apa yang ditunjukkan survei ini bukan datang tiba-tiba tapi hasil proses panjang yang konsekuensinya dirasakan sekarang.
"Dahulu kelompok masyarakat Islam kita berdebat NU dan Muhammadiyah. Sekarang yang terjadi adalah kontestasi siapa yang lebih Islam. Kemudia generasi sekarang yang jadi kelas menengah adalah yang hanya merasakan gejolak Reformasi tapi tak merasakan gejolak Islam Orde Baru," tuturnya.
Pembicara lainnya dari Lakpasdam PBNU Rumadi Ahmad mengatakan, apa yang disampaikan dalam survei ini sangat penting.
Menurut dia, dahulu banyak kalangan menilai radikalisme bukan hal serius, padahal efeknya sangat besar. “Sekarang terbukti bahwa intoleransi masuk ke semua lini kehidupan kebangsaan. Bukan hanya masuk pada yang kelompok DNA-nya sudah radikal tapi juga kelompok yang DNA tak radikal namun ikut-ikut. Yang tak punya imunitas terhadap radikalisme masuk dan ikut. Sehingga semua dengan mudah menerima ajaran intoleransi dan radikalisme," ujar Rumadi.
Rumadi juga melihat dari sisi usia, sebagian besar kalangan ini pekerja yang masuk pasca-Reformasi. Menurut dia, ini bisa menjelaskan banyak hal. Misalnya dalam seleksi PNS tak ada lagi yang mengecek ideologi kebangsaannya.
"Kita harus menata ulang persoalan ideologi kebangsaan. Apalagi ini aparatur negara yang kelihatan. Sekali lagi ini bukan masalah sederhana. Sebab yang dimasuki ini adalah PNS, profesiobal swasta dan BUMN," katanya.
Kepala Balitbang diklat Kementerian Agama (Kemenag) Abdurrahman Mas'ud mengatakan, pihaknya sangat terbuka untuk meneruskan kajian dari hasil survei ini karena bisa menjadi alarm sekaligus mengambil langkah kebijakan bersama.
"Hasil survei ini perlu dielaborasi. Selanjutnya kita harus duduk bersama dan hasil kajian ini kita jadikan pijakan mengambil langkah dengan konkret dalam mengantisipasi radikalisme," ujarnya.
(dam)