ICW Nilai Dewan Pengawas KPK Tidak Efektif, Ini Alasannya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) berpandangan kinerja Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi dalam semester I tahun 2020 belum efektif. Menurut ICW, hal tersebut membuktikan keberadaan Dewas sebenarnya tidak dibutuhkan KPK.
ICW menghimpun beberapa catatan tidak efektifnya kinerja Dewas KPK. Pertama, Dewas sebagai produk hukum tidak tepat sasaran. Sebagaimana tertera dalam Pasal 37 B UU 19/2019 bahwa salah satu tugas dari Dewan Pengawas adalah menyusun dan menetapkan kode etik Pimpinan dan Pegawai KPK.
"Faktanya, Dewas hanya membuat satu kode etik yang mencakup subjek pimpinan sekaligus pegawai KPK. Tentu ini penting untuk dikritisi bersama, sebab potensi abuse of power yang paling besar ada pada level pimpinan. Untuk itu, Dewas sebaiknya membedakan kode etik diantara keduanya," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya, Kamis (6/8/2020).(Lihat Foto: Dewan Pengawas KPK Sampaikan Laporan Kinerja Semester I Tahun 2020 )
Dewas juga dianggap abai dalam melihat dugaan pelanggaran kode etik Ketua KPK Firli Bahuri. Pada akhir Januari lalu diketahui salah satu penyidik KPK yang bertugas untuk menangani perkara suap pergantian antarwaktu anggota DPR, Kompol Rossa Purbo Bekti dikembalikan paksa oleh Ketua KPK.
"Padahal yang bersangkutan belum masuk dalam minimal batas waktu bekerja di KPK dan proses pengembalian tersebut juga tanpa adanya persetujuan dari pimpinan instansi asal (Kapolri). Bahkan Kompol Rossa sendiri juga diketahui tidak pernah melanggar etik saat sedang bekerja di KPK. Tentu harusnya kejadian ini dapat dijadikan pemantik bagi Dewas untuk memproses dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Ketua KPK," tuturnya.
Dewas juga dinilai lamban dalam memproses dugaan pelanggaran kode etik Firli lainnya, yakni terkait dengan penggunaan helikopter mewah di Sumatera Selatan.
"Tindakan Firli juga berpotensi melanggar hukum jika ditemukan fakta bahwa fasilitas helikopter diberikan oleh pihak tertentu sebagai bentuk penerimaan gratifikasi. Namun Dewas sampai saat ini tidak kunjung menjatuhkan putusan terkait dugaan pelanggaran tersebut," ungkapnya.
ICW juga menilai Dewas membiarkan terjadinya kesimpangsiuran informasi terkait pemberian izin penggeledahan kantor DPP PDIP. Karena pada waktu itu terdapat silang pendapat antara pimpinan KPK dan Dewas.
Dengan dasar catatan tersebut maka dapat dikatakan bahwa kinerja Dewas tidak lebih baik dibandingkan dengan Deputi Pengawas Internal KPK pada era UU KPK lama.
Berkaca pada pengalaman sebelumnya, kedeputian tersebut terbukti pernah menjatuhkan sanksi pada dua orang Pimpinan KPK, yakni Abraham Samad dan Saut Situmorang.
"Dewas sampai saat ini di tengah ragam dugaan pelanggaran kode etik Ketua KPK- tidak kunjung menjatuhkan sanksi terhadap yang bersangkutan," katanya.
Tidak hanya itu, melihat kinerja Dewas yang tidak maksimal, maka hal ini sekaligus memperkuat fakta bahwa keberlakuan UU KPK baru tidak menciptakan situasi yang baik pada KPK.
"Di luar itu, ICW berharap agar uji formil UU KPK baru dapat dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi agar kelembagaan Dewas itu segera ditiadakan dan mengembalikan fungsinya pada kedeputian pengawas internal," pungkasnya.
ICW menghimpun beberapa catatan tidak efektifnya kinerja Dewas KPK. Pertama, Dewas sebagai produk hukum tidak tepat sasaran. Sebagaimana tertera dalam Pasal 37 B UU 19/2019 bahwa salah satu tugas dari Dewan Pengawas adalah menyusun dan menetapkan kode etik Pimpinan dan Pegawai KPK.
"Faktanya, Dewas hanya membuat satu kode etik yang mencakup subjek pimpinan sekaligus pegawai KPK. Tentu ini penting untuk dikritisi bersama, sebab potensi abuse of power yang paling besar ada pada level pimpinan. Untuk itu, Dewas sebaiknya membedakan kode etik diantara keduanya," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya, Kamis (6/8/2020).(Lihat Foto: Dewan Pengawas KPK Sampaikan Laporan Kinerja Semester I Tahun 2020 )
Dewas juga dianggap abai dalam melihat dugaan pelanggaran kode etik Ketua KPK Firli Bahuri. Pada akhir Januari lalu diketahui salah satu penyidik KPK yang bertugas untuk menangani perkara suap pergantian antarwaktu anggota DPR, Kompol Rossa Purbo Bekti dikembalikan paksa oleh Ketua KPK.
"Padahal yang bersangkutan belum masuk dalam minimal batas waktu bekerja di KPK dan proses pengembalian tersebut juga tanpa adanya persetujuan dari pimpinan instansi asal (Kapolri). Bahkan Kompol Rossa sendiri juga diketahui tidak pernah melanggar etik saat sedang bekerja di KPK. Tentu harusnya kejadian ini dapat dijadikan pemantik bagi Dewas untuk memproses dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Ketua KPK," tuturnya.
Dewas juga dinilai lamban dalam memproses dugaan pelanggaran kode etik Firli lainnya, yakni terkait dengan penggunaan helikopter mewah di Sumatera Selatan.
"Tindakan Firli juga berpotensi melanggar hukum jika ditemukan fakta bahwa fasilitas helikopter diberikan oleh pihak tertentu sebagai bentuk penerimaan gratifikasi. Namun Dewas sampai saat ini tidak kunjung menjatuhkan putusan terkait dugaan pelanggaran tersebut," ungkapnya.
ICW juga menilai Dewas membiarkan terjadinya kesimpangsiuran informasi terkait pemberian izin penggeledahan kantor DPP PDIP. Karena pada waktu itu terdapat silang pendapat antara pimpinan KPK dan Dewas.
Dengan dasar catatan tersebut maka dapat dikatakan bahwa kinerja Dewas tidak lebih baik dibandingkan dengan Deputi Pengawas Internal KPK pada era UU KPK lama.
Berkaca pada pengalaman sebelumnya, kedeputian tersebut terbukti pernah menjatuhkan sanksi pada dua orang Pimpinan KPK, yakni Abraham Samad dan Saut Situmorang.
"Dewas sampai saat ini di tengah ragam dugaan pelanggaran kode etik Ketua KPK- tidak kunjung menjatuhkan sanksi terhadap yang bersangkutan," katanya.
Tidak hanya itu, melihat kinerja Dewas yang tidak maksimal, maka hal ini sekaligus memperkuat fakta bahwa keberlakuan UU KPK baru tidak menciptakan situasi yang baik pada KPK.
"Di luar itu, ICW berharap agar uji formil UU KPK baru dapat dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi agar kelembagaan Dewas itu segera ditiadakan dan mengembalikan fungsinya pada kedeputian pengawas internal," pungkasnya.
(dam)