Turunnya Elektabilitas Prabowo-Gibran Bukti Publik Kecewa Putusan MK
loading...
A
A
A
JAKARTA - Hasil survei terbaru Charta Politika menunjukkan hasil pencalonan Gibran Rakabuming Raka malah membebani elektabilitas capres Prabowo Subianto. Hal itu dinilai wajar oleh pengamat politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Airlangga Pribadi.
Menurut Airlangga, penurunan elektabilitas itu merupakan konsekuensi dari semakin tingginya kesadaran publik bahwa telah terjadi intervensi kekuasaan dalam meloloskan nama Gibran seusai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipimpin Anwar Usman, adik ipar Presiden Jokowi alias paman Gibran. Apalagi, di media sosial juga marak plesetan MK menjadi Mahkamah Keluarga. Sebuah sindiran atas putusan kontroversial MK yang harus mengubah UU Pemilu untuk meloloskan Gibran.
“Survei yang dilakukan Charta Politika memperlihatkan tampilnya Gibran mendampingi Prabowo justru membebani Prabowo, alih-alih ikut memperkuat suara. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari persepsi tentang naiknya Gibran sebagai cawapres tidak bisa dipisahkan dari intevensi kekuasaan dan penggunaan institusi hukum MK sebagai instrumen kekuasaan,” ujar Airlangga kepada media, Selasa (7/11/2023).
Airlangga memaparkan, persepsi adanya intervensi kekuasaan di tubuh MK membuat pandangan publik bergeser. Terutama bagi para pendukung Presiden Jokowi dan tidak serta merta memperkuat kandidasi Gibran.
“Justru yang terjadi adalah penguatan tentang tampilnya Gibran sebagai simbol representasi politik dinasti Jokowi yang berusaha melanggengkan kekuasaan,” ujar doktor alumnus Murdoch University, Australia tersebut.
Seperti diketahui, pada Senin (6/11/2023), Charta Politika merilis hasil survei terbaru. Simulasi tiga pasang calon presiden-calon wakil presiden, Ganjar Pranowo-Mahfud MD mendapat elektabilitas tertinggi yakni 36,8%, disusul Prabowo Subianto-Gibran (34,7%), dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (24,3%). Adapun jumlah responden yang tidak menjawab sebanyak 4,3%.
Survei Charta Politika juga menyebutkan sebanyak 39,7% responden percaya Presiden Jokowi turut campur dalam keputusan MK. Sebanyak 49,9% responden setuju bahwa hal tersebut merupakan penyalahgunaan wewenang untuk memuluskan langkah Gibran sebagai cawapres.
Direktur Eksekutif Indonesia Presidential Studies, Nyarwi Ahmad mengatakan, apabila skandal di MK diibaratkan drama maka publik percaya Jokowi juga punya peran dalam drama tersebut. “Atau bahkan beberapa pihak mensinyalir, salah satu sutradara di balik drama itu, wajar saja, karena presiden tidak pernah menyampaikan ekspresinya secara eksplisit,” jelasnya.
Pakar Komunikasi Politik UGM ini menambahkan, Jokowi sebagai Presiden menjadi sangat sentral dalam politik hari ini. Peran Jokowi sangat besar, bukan sekadar dari proses kandidasi namun juga sampai nanti penyelenggaraan Pemilu.
Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Action (CISA) Herry Mendrofa menyebut penilaian publik atas adanya cawe-cawe Jokowi dalam putusan MK bisa dipahami. Hal itu dikarenakan relasi kekeluargaan dan relasi kekuasaan sangat kental dalam putusan 90/PUU-XXI/2023.
“Karena relasi kekeluargaan sangat lekat dengan relasi kuasa dalam konteks hubungan Jokowi dengan Ketua MK. Ini hal yang tidak bisa dipisahkan begitu saja. Penilaian publik seperti itu," terangnya.
Selain itu, Herry mengungkap indeks demokrasi era Jokowi menjadi yang terburuk sejak 14 tahun terakhir. Menurutnya, ada aspek-aspek tertentu yang harus menjadi bahan evaluasi misalnya budaya politik. "Yang terjadi adalah per hari ini budaya politik itu tidak muncul karena intervensi kekuasaan, sehingga publik enggan untuk mengatakan politik Indonesia baik-baik saja," tegasnya.
Herry juga mengungkapkan indeks demokrasi Indonesia yang termasuk rendah, apalagi ketika muncul putusan MK. Hal itu dinilai akan semakin memburuk kehidupan demokrasi. "Apalagi ini kaitannya dengan relasi kekuasaan dan relasi kekeluargaan yang erat kaitannya dengan keputusan MK. Ada hal yang ditabrak juga," tandasnya.
Lihat Juga: Budi Gunawan Tegaskan Kualitas Pilkada Ditentukan oleh Netralitas Penyelenggara, Termasuk Aparat dan ASN
Menurut Airlangga, penurunan elektabilitas itu merupakan konsekuensi dari semakin tingginya kesadaran publik bahwa telah terjadi intervensi kekuasaan dalam meloloskan nama Gibran seusai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipimpin Anwar Usman, adik ipar Presiden Jokowi alias paman Gibran. Apalagi, di media sosial juga marak plesetan MK menjadi Mahkamah Keluarga. Sebuah sindiran atas putusan kontroversial MK yang harus mengubah UU Pemilu untuk meloloskan Gibran.
“Survei yang dilakukan Charta Politika memperlihatkan tampilnya Gibran mendampingi Prabowo justru membebani Prabowo, alih-alih ikut memperkuat suara. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari persepsi tentang naiknya Gibran sebagai cawapres tidak bisa dipisahkan dari intevensi kekuasaan dan penggunaan institusi hukum MK sebagai instrumen kekuasaan,” ujar Airlangga kepada media, Selasa (7/11/2023).
Airlangga memaparkan, persepsi adanya intervensi kekuasaan di tubuh MK membuat pandangan publik bergeser. Terutama bagi para pendukung Presiden Jokowi dan tidak serta merta memperkuat kandidasi Gibran.
“Justru yang terjadi adalah penguatan tentang tampilnya Gibran sebagai simbol representasi politik dinasti Jokowi yang berusaha melanggengkan kekuasaan,” ujar doktor alumnus Murdoch University, Australia tersebut.
Seperti diketahui, pada Senin (6/11/2023), Charta Politika merilis hasil survei terbaru. Simulasi tiga pasang calon presiden-calon wakil presiden, Ganjar Pranowo-Mahfud MD mendapat elektabilitas tertinggi yakni 36,8%, disusul Prabowo Subianto-Gibran (34,7%), dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (24,3%). Adapun jumlah responden yang tidak menjawab sebanyak 4,3%.
Survei Charta Politika juga menyebutkan sebanyak 39,7% responden percaya Presiden Jokowi turut campur dalam keputusan MK. Sebanyak 49,9% responden setuju bahwa hal tersebut merupakan penyalahgunaan wewenang untuk memuluskan langkah Gibran sebagai cawapres.
Direktur Eksekutif Indonesia Presidential Studies, Nyarwi Ahmad mengatakan, apabila skandal di MK diibaratkan drama maka publik percaya Jokowi juga punya peran dalam drama tersebut. “Atau bahkan beberapa pihak mensinyalir, salah satu sutradara di balik drama itu, wajar saja, karena presiden tidak pernah menyampaikan ekspresinya secara eksplisit,” jelasnya.
Pakar Komunikasi Politik UGM ini menambahkan, Jokowi sebagai Presiden menjadi sangat sentral dalam politik hari ini. Peran Jokowi sangat besar, bukan sekadar dari proses kandidasi namun juga sampai nanti penyelenggaraan Pemilu.
Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Action (CISA) Herry Mendrofa menyebut penilaian publik atas adanya cawe-cawe Jokowi dalam putusan MK bisa dipahami. Hal itu dikarenakan relasi kekeluargaan dan relasi kekuasaan sangat kental dalam putusan 90/PUU-XXI/2023.
“Karena relasi kekeluargaan sangat lekat dengan relasi kuasa dalam konteks hubungan Jokowi dengan Ketua MK. Ini hal yang tidak bisa dipisahkan begitu saja. Penilaian publik seperti itu," terangnya.
Selain itu, Herry mengungkap indeks demokrasi era Jokowi menjadi yang terburuk sejak 14 tahun terakhir. Menurutnya, ada aspek-aspek tertentu yang harus menjadi bahan evaluasi misalnya budaya politik. "Yang terjadi adalah per hari ini budaya politik itu tidak muncul karena intervensi kekuasaan, sehingga publik enggan untuk mengatakan politik Indonesia baik-baik saja," tegasnya.
Herry juga mengungkapkan indeks demokrasi Indonesia yang termasuk rendah, apalagi ketika muncul putusan MK. Hal itu dinilai akan semakin memburuk kehidupan demokrasi. "Apalagi ini kaitannya dengan relasi kekuasaan dan relasi kekeluargaan yang erat kaitannya dengan keputusan MK. Ada hal yang ditabrak juga," tandasnya.
Lihat Juga: Budi Gunawan Tegaskan Kualitas Pilkada Ditentukan oleh Netralitas Penyelenggara, Termasuk Aparat dan ASN
(poe)