Besok, MK Gelar Lagi Sidang Gugatan Syarat Usia Capres-Cawapres
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi ( MK ) menjadwalkan sidang perdana pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama (NU), Brahma Aryana, Rabu (7/11/2023).
Dalam perkara yang teregister bernomor 141/PUU-XXI/2023, Brahma menggugat putusan MK soal batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) 40 tahun atau punya pengalaman jadi kepala daerah.
Dalam situs MK, Brahma didampingi kuasa hukumnya, Viktor Santoso Tandiasa dan Harseto Setyadi Rajah. Sidang tersebut beragendakan pemeriksaan pendahuluan pertama.
"Pemeriksaan Pendahuluan (I)" tulis dalam situs MK dikutip Selasa, (7/11/2023).
Sebelumnya diberitakan, Ketua Majelis Kehormatan MK (MKMK) Jimly Asshiddiqie mengungkapkan baru kali ini ada pihak yang mengajukan permohonan uji materiil atas perkara yang sudah diputuskan. Brahma mengajukan uji materiil terhadap putusan MK soal batas usia minimal capres-cawapres 40 tahun atau punya pengalaman jadi kepala daerah.
"Ada hal-hal baru setiap sidang itu termasuk ini. Ini saudara harus hadir, hal baru ini. Anda nggak kepikiran ini," kata Jimly saam memimpin sidang perkara laporan kode etik di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/11/2023).
Permohonan uji materiil tersebut sudah teregister dengan nomor 141/PUU-XXI/2023. Menurut Jilmy, permohonan uji materiil ini kreatif karena sebelumnya belum pernah terjadi.
"Saya juga kaget. Kalau nggak dia, saya nggak tahu itu. Ternyata sudah diregistrasi. Kalau sudah registrasi harus disidang, lalu dia minta cuma 8 orang aja yang menyidangkan. Kan Anda bisa membayangkan kan. Kreatif itu," katanya.
Dalam permohonannya, Brahma meminta agar Pasal 169 huruf q undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 diubah.
"Terhadap frasa "yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah" bertentangan dengan undang-undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai "yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi". Sehingga bunyi selengkapnya "Berusia paling rendah 40 tahun atau sedang mendudukinya jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi," jelasnya.
Brahma lantas mempersalahkan jumlah hakim yang sepakat dengan putusan tersebut yakni terdapat 5 hakim yang sepakat untuk mengabulkan permohonan. Terdapat perbedaan syarat alternatif dalam memaknai Pasal 169 huruf q UU 7 tahun 2017.
"3 hakim Konstitusi yang memaknai 'pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum tennasuk pemilihan kepala daerah', 2 hakim Konstitusi yang memaknai berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi pada jabatan Gubernur," tulis Brahma dalam permohonannya.
Menurutnya, putusan tersebut tidak memenuhi syarat. Sebab, hanya 3 hakim konstitusi yang setuju pada putusan tersebut diantaranya Anwar Usman Guntur Hamzah, dan Manahan MP Sitompul.
"Bahwa sementara 2 hakim konstitusi lainnya setuju terdapat alternatif syarat 'berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi'. Yakni Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Foekh," katanya.
Sementara terdapat 4 hakim yang tidak sepakat dengan putusan tersebut yakni Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Arief Hidayat. Artinya, Hanya 3 hakim saja yang sepakat dengan putusan tersebut, 4 Hakim tidak setuju dan 2 hakim sepakat kalau dengan frasa pengalaman jadi kepala daerah minimal tingkat Provinsi. Brahma pun menegaskan bahwa putusan tersebut tidak sah atau inkonstitusional.
"Putusan itu inkonstitusional karena hanya berdasarkan 3 suara Hakim Konstitusi dari 5 suara hakim konstitusi yang dibutuhkan," ucapnya.
Untuk diketahui, laporan pelanggaran kode etik bermula ketika para hakim MK menangani perkara soal uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Tepatnya, soal batas usia capres-cawapres.
Dari 11 gugatan hanya 1 saja yang dikabulkan oleh MK, yakni gugatan yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A. Dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itu, Almas meminta MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik tingkat provinsi, kabupaten atau kota. Gugatan tersebut ditengarai untuk memuluskan Gibran Raka Buming Raka menjadi Cawapres. Sebab, dia baru berusia 36 tahun namun memiliki pengalaman menjadi Wali Kota Solo.
Benar atau tidak anggapan tersebut, sepekan pasca uji materiil itu dikabulkan MK, Gibran resmi diumumkan menjadi Cawapres mendampingi Capres Prabowo Subianto, Minggu, (22/10/2023). Mereka juga sudah mendaftar di KPU RI sebagai pasangan Capres Cawapres.
Hubungan kekeluargaan antara Gibran dan Anwar Usman pun disorot. Anwar merupakan paman dari Gibran. Lantaran hubungan kekeluargaan itu, Anwar Usman dikhawatirkan ada konflik kepentingan dalam perkara tersebut. Saat ini, ada 20 laporan soal pelanggaran kode etik tersebut yang ditangani MKMK.
Dalam perkara yang teregister bernomor 141/PUU-XXI/2023, Brahma menggugat putusan MK soal batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) 40 tahun atau punya pengalaman jadi kepala daerah.
Dalam situs MK, Brahma didampingi kuasa hukumnya, Viktor Santoso Tandiasa dan Harseto Setyadi Rajah. Sidang tersebut beragendakan pemeriksaan pendahuluan pertama.
"Pemeriksaan Pendahuluan (I)" tulis dalam situs MK dikutip Selasa, (7/11/2023).
Sebelumnya diberitakan, Ketua Majelis Kehormatan MK (MKMK) Jimly Asshiddiqie mengungkapkan baru kali ini ada pihak yang mengajukan permohonan uji materiil atas perkara yang sudah diputuskan. Brahma mengajukan uji materiil terhadap putusan MK soal batas usia minimal capres-cawapres 40 tahun atau punya pengalaman jadi kepala daerah.
"Ada hal-hal baru setiap sidang itu termasuk ini. Ini saudara harus hadir, hal baru ini. Anda nggak kepikiran ini," kata Jimly saam memimpin sidang perkara laporan kode etik di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/11/2023).
Permohonan uji materiil tersebut sudah teregister dengan nomor 141/PUU-XXI/2023. Menurut Jilmy, permohonan uji materiil ini kreatif karena sebelumnya belum pernah terjadi.
"Saya juga kaget. Kalau nggak dia, saya nggak tahu itu. Ternyata sudah diregistrasi. Kalau sudah registrasi harus disidang, lalu dia minta cuma 8 orang aja yang menyidangkan. Kan Anda bisa membayangkan kan. Kreatif itu," katanya.
Dalam permohonannya, Brahma meminta agar Pasal 169 huruf q undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 diubah.
"Terhadap frasa "yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah" bertentangan dengan undang-undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai "yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi". Sehingga bunyi selengkapnya "Berusia paling rendah 40 tahun atau sedang mendudukinya jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi," jelasnya.
Brahma lantas mempersalahkan jumlah hakim yang sepakat dengan putusan tersebut yakni terdapat 5 hakim yang sepakat untuk mengabulkan permohonan. Terdapat perbedaan syarat alternatif dalam memaknai Pasal 169 huruf q UU 7 tahun 2017.
"3 hakim Konstitusi yang memaknai 'pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum tennasuk pemilihan kepala daerah', 2 hakim Konstitusi yang memaknai berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi pada jabatan Gubernur," tulis Brahma dalam permohonannya.
Menurutnya, putusan tersebut tidak memenuhi syarat. Sebab, hanya 3 hakim konstitusi yang setuju pada putusan tersebut diantaranya Anwar Usman Guntur Hamzah, dan Manahan MP Sitompul.
"Bahwa sementara 2 hakim konstitusi lainnya setuju terdapat alternatif syarat 'berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi'. Yakni Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Foekh," katanya.
Sementara terdapat 4 hakim yang tidak sepakat dengan putusan tersebut yakni Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Arief Hidayat. Artinya, Hanya 3 hakim saja yang sepakat dengan putusan tersebut, 4 Hakim tidak setuju dan 2 hakim sepakat kalau dengan frasa pengalaman jadi kepala daerah minimal tingkat Provinsi. Brahma pun menegaskan bahwa putusan tersebut tidak sah atau inkonstitusional.
"Putusan itu inkonstitusional karena hanya berdasarkan 3 suara Hakim Konstitusi dari 5 suara hakim konstitusi yang dibutuhkan," ucapnya.
Untuk diketahui, laporan pelanggaran kode etik bermula ketika para hakim MK menangani perkara soal uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Tepatnya, soal batas usia capres-cawapres.
Dari 11 gugatan hanya 1 saja yang dikabulkan oleh MK, yakni gugatan yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A. Dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itu, Almas meminta MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik tingkat provinsi, kabupaten atau kota. Gugatan tersebut ditengarai untuk memuluskan Gibran Raka Buming Raka menjadi Cawapres. Sebab, dia baru berusia 36 tahun namun memiliki pengalaman menjadi Wali Kota Solo.
Benar atau tidak anggapan tersebut, sepekan pasca uji materiil itu dikabulkan MK, Gibran resmi diumumkan menjadi Cawapres mendampingi Capres Prabowo Subianto, Minggu, (22/10/2023). Mereka juga sudah mendaftar di KPU RI sebagai pasangan Capres Cawapres.
Hubungan kekeluargaan antara Gibran dan Anwar Usman pun disorot. Anwar merupakan paman dari Gibran. Lantaran hubungan kekeluargaan itu, Anwar Usman dikhawatirkan ada konflik kepentingan dalam perkara tersebut. Saat ini, ada 20 laporan soal pelanggaran kode etik tersebut yang ditangani MKMK.
(abd)