Peneliti BRIN: Dinasti Politik Ancaman bagi Demokrasi

Senin, 06 November 2023 - 18:34 WIB
loading...
Peneliti BRIN: Dinasti...
Dinasti politik menjadi persoalan ketika membajak dan membonsai demokrasi. Khususnya untuk negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Dinasti politik menjadi persoalan ketika membajak dan membonsai demokrasi . Khususnya untuk negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

“Bukan hanya itu saja, politik dinasti saat berkuasa dan untuk mempertahankan kekuasaannya memberlakukan aturan main tertutup atau close game,” kata Peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional ( BRIN ) Prof Lili Romli di Jakarta, Senin (6/11/2023).

Menurutnya, banyak kasus di Indonesia karena demokrasi elektoral hanya sekadar formalitas. Hal itu terjadi karena semua kekuatan politik dikendalikan, media massa dilemahkan dan civil society dikooptasi. Politik dinasti juga menguasai sumber daya ekonomi dan bahkan koruptif.

“Kalo di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak menunjukkan hal yang positif. Itu karena prosesnya membajak demokrasi dan ketika berkuasa mereka koruptif,” tuturnya.

Lili menyebut negara-negara maju juga ada politik dinasti yang melalui proses sesuai dengan prosedur demokrasi. Tidak tiba-tiba berkuasa, ada tahapan-tahapan yang harus dilalui melalui pengkaderan dan rekrutmen politik yang sama seperti kader yang lain.

“Mereka juga memiliki kualifikasi dan kapasitas yang baik sehingga ketika berkuasa juga berhasil dengan baik, tidak koruptif. Jika gagal, publik tidak akan memilihnya kembali, ada punishment,” sambungnya.

Lili menilai jika kondisi politik dinasti berlanjut, bukan tidak mungkin demokrasi akan meradang. “Untuk proyeksi ke depan, jika politik dinasti tetap bercokol dan menang dalam pemilu, demokrasi Indonesia akan terancam. Sekarang saja demokrasi Indonesia mengalami kemunduran, apalagi nanti jika yang berkuasa dinasti politik,” ujarnya.

Sementara itu, Pakar Ilmu Politik dari Universitas Airlangga Prof Kacung Marijan mengatakan subur tidaknya politik dinasti tergantung mekanisme kontrol. "Kontrolnya bisa dua. Pertama adalah di level proses pemilihannya. Ketika masyarakat anggap itu tidak baik, masyarakat bisa secara kolektif menolak dan tidak memilihnya," katanya.

Namun masih ada kesempatan di tahap kedua, setelah terjadi pemilihan. "Ketika calonnya itu sudah terpilih, bagaimana terjadi proses kontrol sehingga penyalahgunaan kekuasaan bisa dihindari. Dalam hal ini lewat DPR," imbuhnya.

DPR memiliki fungsi pengawasan yaitu melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN, dan kebijakan pemerintah. "Kalau DPR-nya lebih kuat, harusnya kontrol kepada pemerintah harus lebih kuat," lanjutnya.

Lebih lanjut, Prof Kacung mengatakan, politik dinasti terjadi karena proses rekruitmen politik di dalam keluarga secara tidak demokratis. "Proses rekrutmen politik dinasti itu dibangun dan dibungkus melalui pemilihan secara demokratis formal. Hal ini terlihat di sejumlah daerah. Misal, habis jadi kepala daerah, istri atau anaknya yang gantikan," jelasnya.

Menurut dia, pengalaman di beberapa daerah di Indonesia ada contoh baik dan buruknya. Misalnya, di Banyuwangi, Bupati Azwar Anas digantikan istrinya. "Sejauh ini jalannya pemerintahan oleh istrinya Pak Anas itu baik. Sementara contoh yang jelek misalnya di Bogor. Bupati Bogor pernah digantikan adiknya, dua-duanya tersangka korupsi," tandasnya.

Sementara politik dinasti terjadi pada masa pemerintahan Presiden Jokowi. Anaknya, Gibran Rakabuming terjun ke dunia politik, menjadi wali kota Solo, kini cawapresnya Prabowo Subianto. Menantunya, Bobby Nasution adalah wali kota Medan. Lalu adik ipar Jokowi adalah Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, yang meloloskan sebagian gugatan batas usia capres-cawapres.
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1473 seconds (0.1#10.140)