Mahfud MD: Pewaris Pemikiran Pluralisme Gus Dur

Jum'at, 03 November 2023 - 18:33 WIB
loading...
Mahfud MD: Pewaris Pemikiran...
Harryanto Aryodiguno, Ph.D, Dosen Hubungan Internasional, Universitas Presiden. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Harryanto Aryodiguno, Ph.D
Dosen Hubungan Internasional Universitas Presiden

TAHUN 1995, ketika saya menginjakkan kaki di Jakarta dan melanjutkan SMA kelas 2 di Bekasi, saat itu adalah tahun-tahun terakhir Orde Baru. Tetapi saat itu, masih teringat sekali, dimana diskriminasi terhadap etnis minoritas terutama etnis Tionghoa sangat kental.

Orang Tionghoa sendiri, khususnya yang tinggal di Pulau Jawa selalu berusaha menanggalkan ke-Tionghoan-nya. Selalu takut dengan ke-Tionghoa-annya. Saya masih ingat ketika teman saya yang bilang untung matanya "belo" dan kulitnya hitam, jadi tidak mirip Tionghoa.

Banyak juga teman sesama Tionghoa yang waktu itu diucapkan selamat tahun baru Imlek sama saya, selalu menjawab," Saya sudah Kristen dan tidak merayakan Imlek lagi." Padahal jelas sekali Imlek sebenarnya itu perayaan budaya di berbagai negara.

Mungkin itulah sebabnya umat Konghucu merasa sebal ketika di era reformasi, orang-orang Tionghoa non-Konghucu beramai-ramai mengklaim Imlek sebagai budaya dan bukan perayaan agama, ramai-ramai mengadakan misa atau kebaktian Imlek, tetapi tidak tahu apa itu makna Imlek. Tulisan kali ini sebenarnya bukan mau membahas apa itu Imlek dan Tionghoa, tetapi ini hanya sebuah pengantar saja.

Perayaan Tahun Baru China atau Imlek tak lepas dari sosok Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Seperti yang diketahui pada 2004, gelar Bapak Tionghoa Indonesia disematkan kepada Gus Dur oleh Perkumpulan Sosial Rasa Dharma di Kleteng Tay Kek Sie, Semarang, Jawa Tengah.

Sebagai seorang ulama yang berpengetahuan luas, Gus Dur memiliki pemikiran yang pluralis. Gus Dur termasuk tokoh yang tidak suka diskriminasi terhadap etnis apapun di Indonesia. Dia merupakan orang pertama yang menyelesaikan permasalahan diskriminasi yang dialami etnis Tionghoa.

Melalui Keppres No 6/2000, Gus Dur mengakhiri satu permasalahan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa sehingga pada akhirnya mereka dapat merayakan Hari Imlek secara bebas dan terbuka. Keppres tersebut menghapus Inpres No 14/1967 yang mengatur tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa.

Pada peraturan lama, kelompok Tionghoa di Indonesia tidak diperbolehkan melakukan tradisi ataupun kegiatan peribadatan secara mencolok di depan umum dan hanya diperbolehkan dilakukan di lingkungan keluarga. Hal ini lantaran, saat itu Presiden Soeharto menganggap jika aktivitas warga Tionghoa akan menghambat proses asimilasi dengan masyarakat pribumi.

Pada masa Orde Baru, kelompok Tionghoa juga diminta untuk mengganti identitas mereka menjadi nama yang "berbau" atau mendekati Indonesia. Ketika resmi menjabat sebagai Presiden Indonesia, Gus Dur berbeda pendapat dengan beberapa pemikiran Soeharto.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1192 seconds (0.1#10.140)