Bawaslu: Jakarta Paling Rawan Kampanye SARA di Media Sosial
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penyebaran kampanye bermuatan SARA, hoax, dan ujaran kebencian di media sosial pada Pemilu 2024 harus menjadi perhatian semua pihak. DKI Jakarta merupakan provinsi paling rawan terjadi kampanye SARA di media sosial.
Berdasarkan data yang dirilis Badan Pengawas Pemilu ( Bawaslu ) RI, DKI Jakarta merupakan provinsi yang memiliki tingkat kerawanan paling tinggi dengan nilai 75 persen.
Hal itu berdasarkan total jumlah kejadian untuk seluruh indikator kerawanan media sosial baik adanya kampanye bermuatan sara, hoax, dan ujaran kebencian di media sosial.
Setelah DKI Jakarta, menyusul Maluku Utara (36,11%), Kepulauan Bangka Belitung (34,03%), Jawa Barat (11,11%), Kalimantan Selatan (0,69%), dan Gorontalo (0,69%).
Pada tingkat kabupaten/kota, secara umum Kabupaten Fakfak (30,46%) dan Intan Kaya (19,35%) memiliki tingkat kerawanan paling tinggi.
Media sosial kerap digunakan oleh penyelenggara maupun peserta pemilu untuk mengkampanyekan masing-masing agendanya pada Pemilu 2024. Media sosial menjadi instrumen yang dinilai paling efektif untuk mengkampanyekan agenda atau penyebarluasan informasi.
Penggunaan media sosial telah menjadi pasar politik yang luas dan efektif dalam mendukung pemenangan kandidat maupun partai pada pemilu.
Berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa 2 Internet Indonesia (APJII) pada 2023 penetrasi internet mencapai 215,6 juta atau 78,19% dari jumlah penduduk Indonesia. Mayoritas penggunan internet aktif mengkases media sosial, YouTube (65,41%), Facebook (60,24%), Instagram (30,51%) dan TikTok (26,80%).
Selain itu, hampir seluruh pengguna internet di Indonesia aktif menggunakan media chat. 98,63% menggunakan Whatsapp, 46% pengguna facebook masanger, 12,91% pengguna telegram, dan 10,72% aktif menggunakan direct massage di Instagram.
Beberapa pola penyebaran kampanye SARA, hoaks dan ujaran kebencian yang ditransmisi melalui media sosial terjadi pada Pemilu 2019. Pertama, serangan yang ditujukan pada kandidat, partai atau kubu yang bertarung dalam Pilpres.
Saling serang antarkubu dilakukan baik yang mengandung unsur SARA, hoax, mupun ujaran kebencian. Selain itu, terjadi juga pola penyebaran hoax yang menyasar pada pemerintah dan penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu.
Kerawanan Pemilu 2024 dalam aspek kampanye di media sosial diukur berdasarkan tiga indikator utama, yaitu adanya materi kampanye bermuatan SARA di media sosial akun lokal (Grup Whatsapp atau Facebook). Kemudian, adanya materi kampanye hoax di media sosial akun lokal dan adanya materi kampanye ujaran kebencian media sosial akun lokal.
Secara keseluruhan, kerawanan pada kampanye media sosial terjadi baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Berdasarkan data yang dirilis Badan Pengawas Pemilu ( Bawaslu ) RI, DKI Jakarta merupakan provinsi yang memiliki tingkat kerawanan paling tinggi dengan nilai 75 persen.
Hal itu berdasarkan total jumlah kejadian untuk seluruh indikator kerawanan media sosial baik adanya kampanye bermuatan sara, hoax, dan ujaran kebencian di media sosial.
Setelah DKI Jakarta, menyusul Maluku Utara (36,11%), Kepulauan Bangka Belitung (34,03%), Jawa Barat (11,11%), Kalimantan Selatan (0,69%), dan Gorontalo (0,69%).
Pada tingkat kabupaten/kota, secara umum Kabupaten Fakfak (30,46%) dan Intan Kaya (19,35%) memiliki tingkat kerawanan paling tinggi.
Media sosial kerap digunakan oleh penyelenggara maupun peserta pemilu untuk mengkampanyekan masing-masing agendanya pada Pemilu 2024. Media sosial menjadi instrumen yang dinilai paling efektif untuk mengkampanyekan agenda atau penyebarluasan informasi.
Penggunaan media sosial telah menjadi pasar politik yang luas dan efektif dalam mendukung pemenangan kandidat maupun partai pada pemilu.
Berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa 2 Internet Indonesia (APJII) pada 2023 penetrasi internet mencapai 215,6 juta atau 78,19% dari jumlah penduduk Indonesia. Mayoritas penggunan internet aktif mengkases media sosial, YouTube (65,41%), Facebook (60,24%), Instagram (30,51%) dan TikTok (26,80%).
Selain itu, hampir seluruh pengguna internet di Indonesia aktif menggunakan media chat. 98,63% menggunakan Whatsapp, 46% pengguna facebook masanger, 12,91% pengguna telegram, dan 10,72% aktif menggunakan direct massage di Instagram.
Beberapa pola penyebaran kampanye SARA, hoaks dan ujaran kebencian yang ditransmisi melalui media sosial terjadi pada Pemilu 2019. Pertama, serangan yang ditujukan pada kandidat, partai atau kubu yang bertarung dalam Pilpres.
Saling serang antarkubu dilakukan baik yang mengandung unsur SARA, hoax, mupun ujaran kebencian. Selain itu, terjadi juga pola penyebaran hoax yang menyasar pada pemerintah dan penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu.
Kerawanan Pemilu 2024 dalam aspek kampanye di media sosial diukur berdasarkan tiga indikator utama, yaitu adanya materi kampanye bermuatan SARA di media sosial akun lokal (Grup Whatsapp atau Facebook). Kemudian, adanya materi kampanye hoax di media sosial akun lokal dan adanya materi kampanye ujaran kebencian media sosial akun lokal.
Secara keseluruhan, kerawanan pada kampanye media sosial terjadi baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
(thm)