Latgab Persekutuan FPDA, untuk Hadapi Indonesia?
loading...
A
A
A
NEGARA-negara yang tergabung dalam persekutuan Five Power Defense Arrangement (FPDA) belum lama ini menggelar latihan militer gabungan di Malaysia. Latihan yang melibatkan 400 personel militer dari Australia ditambah prajurit Inggris, Selandia Baru, dan Singapura diarahkan untuk meningkatkan interoperabilitas militer, memperkuat hubungan profesional, serta meningkatkan kemampuan operasi gabungan dalam lingkungan multi-ancaman di antara negara anggota persekutuan.
baca juga: 8 Keunggulan Latihan Militer Gabungan Anggota ASEAN
Dalam latihan yang digelar selama dua minggu, Australia tercatat mengerahkan kekuatan paling besar, di antaranya berupa pesawat F/A-18 Super Hornet, pesawat angkut militer C-27J Spartan, kapal perusak berpeluru kendali kelas Hobart, dan HMAS Brisbane.
Kepala Operasi Gabungan Australia, Letnan Jenderal Greg Bilton AO, CSC, menekankan komitmen kuat negerinya terhadap FPDA yang telah memberikan landasan stabilitas regional selama setengah abad. Tentu saja, muara latihan anggota FPDA diarahkan untuk memperkuat kerja sama memudah kekuatan militer anggota untuk bekerja sama ketika diperlukan.
Dibanding latihan gabungan militer seperti Latgab Cooperation Afloat Readiness and Training (Carat) atau Latgab Garuda Shield yang intes digelar di kawasan dan melibatkan TNI, latgab anggota FDPA relatif jarang terdengar. Kalaupun digelar, gaungnya juga tidak begitu besar. Terakhir, mereka menggelar latihan pada Oktober 2021 dengan tajuk ‘Bersama Gold 2021’ untuk memperingati 50 tahun keberadaan FPDA.
Dari sisi skala pelibatan alutsista, latgab 2021 jauh lebih besar. Seperti dilansir USNI News, latgab total melibatkan 2.600 personel, 10 kapal, satu kapal selam, enam helikopter maritim, tiga pesawat patroli maritim, 25 pesawat tempur, dua pesawat pendukung. Satu pesawat komando dan kontrol berpartisipasi dalam latihan tersebut.
baca juga: Amerika-Filipina Akan Gelar Latihan Militer Gabungan Terbesar
Sebelumnya, latgab militer FPDA digelar pada 2019. Latihan yang dilaksanakan di Malaysia itu melibatkan sekitar 3.000 personel militer, lebih dari selusin kapal, dan 100 pesawat terbang dari lima negara anggota.
Meski gaung latgab FPDA tidak menggetarkan, bagi Indonesia eksistensi pakta pertahanan tersebut dan langkah menggelar latgab tetap patut mendapat perhatian. Betapa tidak, bila dirunut sejarahnya, kelahiran FPDA spesifik diarahkan untuk menghadapi Indonesia yang ketika itu berkonfrontasi dengan Malaysia.
Namun dalam kondisi damai seperti saat ini, dan negara-negara anggota FPDA menjalin hubungan mesra dengan Indonesia, eksistensi FPDA dan latgab yang digelar pun menimbulkan tanda tanya.
Pertanyaan dimaksud antara lain, apakah sejatinya masih menganggap Indonesia masih musuh potensial? Bila dengan Indonesia sudah menjalin hubungan mesra, lantas negara mana yang menjadi ancaman? Sebaliknya dari perspektif Jakarta, apakah FPDA masih layak dipertimbangkan sebagai ancaman?
Tujuan Pembentukan dan Dinamika
Berdasar sejarah, FPDA merupakan kerja sama pertahanan yang ditandatangani pada 1971 antara Inggris, Australia, Selandia Baru, Malaysia dan Singapura. Tujuan pembentukan sebagai wadah konsultasi 5 negara anggota untuk bersama-sama menentukan tindakan apa yang harus diambil secara kolektif atau terpisah dalam merespons munculnya ancaman atau serangan.
baca juga: AS Pantau Latihan Militer China di Sekitar Taiwan
Pembentukan FDPA dilakukan setelah Inggris pada Januari 1968 mengumumkan segera menarik pasukannya dari Malaysia dan Singapura pada 1971, sebagai hasil keputusan pada 1967 untuk menarik pasukannya di sebelah timur Terusan Suez.
Penarikan ini berkonsekwensi pada penghentian jaminan pertahanan Britania Raya atas Malaysia dan Singapura di bawah Perjanjian Pertahanan Anglo-Malaya. Karena itulah, 5 negara membuat keputusan bersama sebagai solusi atas kemungkinan serangan terhadap Malaysia dan Singapura setelah pasukan Inggris tidak lagi melindunginya.
Tak dapat dimungkiri, pembentukan FPDA yang dilakukan sesaat usai Dwikora mereda karena tumbangnya Orde Lama adalah untuk mengadapi kemungkinan ancaman Indonesia secara bersama-sama alias keroyokan.
Jurnal Lemhanas RI pada Desember 2022 secara gamblang menyebut pembentukan FPDA ditujukan melindungi Singapura dan Malaysia karena menganggap negeri ini ancaman baginya. Sebaliknya, bagi Indonesia adalah ancaman karena berada tepat di samping halaman rumah.
Selain itu, pembentukan FPDA juga merupakan jawaban Inggris atas keresahan meluasnya pengaruh Uni Soviet dengan ideologi komunisme di Asia Tenggara. Karena itulah, FPDA dibentuk untuk melindungi Singapura, Malaysia, Australia, Inggris dan Selandia Baru dari ancaman yang mewarnai geopolitik saat itu.
Sejak berdiri, anggota FPDA konsisten melakukan koordinasi seperti melakukan latihan bersama.Unsur penting FPDA adalah Markas Besar Sistem Pertahanan Wilayah Terpadu (HQ IADS) yang yang dipimpin perwira bintang dua dan didukung personel dari negara anggota dari tiga matra.
baca juga: Perbandingan Kekuatan Militer Indonesia dengan Vietnam
Pada satu dekade awal, latihan FPDA masih fokus pada latihan pertahanan udara sederhana. Hingga pada 1980-an, skala latihan terus berkembang mulai dari sisi ukuran, ruang lingkup dan kompleksitasnya. Per tahun 1997 latihan matra laut dan matra udara telah digabungkan. Memasuki fase 2000-an, latihan ditingkatkan mencakup penanganan ancaman non-konvensional seperti operasi kontra-pembajakan, peningkatan kapasitas dalam bantuan kemanusiaan dan penanggulangan bencana.
Hubungan Indonesia dengan negara-negara anggota FPDA yang diwarnai dengan kecurigaan dalam perkembangan sejarah menunjukkan tren positif. Kondisi cair ini terjadi karena hubungan antarnegara terbangun, baik secara bilateral maupun di level regional.
Dengan Malaysia misalnya, sejak ditandatanganinya perjanjian keamanan di wilayah perbatasan kedua negara pada 1972, Indonesia telah melakukan kerja sama bidang pertahanan. Model-kegiatan yang dilakukan antara lain kerja sama di bidang intelijen dan operasi dalam wadah General Border Committee Malaysia-Indonesia (GBC Malindo).
Begitu juga dengan Australia, kerja sama pertahanan semakin kuat melalui Lombok Treaty (Agreement between the Republic of Indonesia and Australia on the Framework for Security Cooperation) yang diteken pada 2006. Perjanjian tersebut telah ditindaklanjuti Kementerian Pertahanan RI dan Departemen Pertahanan Australia melalui kerangka kerja mengenai kerja sama keamanan dan rencana aksi di bidang pertahanan yang ditanda tangani pada tahun 2012.
baca juga: Militer Indonesia, Australia, dan Amerika Serikat Latihan Bersama
Kedua negara pun sangat intensif menjalin komunikasi dan konsultasi pertahanan melalui forum dialog meliputi Indonesia Australia Defence Strategic Dialogue (IADSD), Australia-Indonesia High Level Committee (Ausindo HLC), dan Two Plus Two antara menteri luar negeri dan menteri pertahanan kedua negara.
Mendekati Indonesia, Mengantisipasi China
Kepada Straits Times, pada 21 Oktober 2021, di sela Latgab militer FPDA, PM Singapura Lee Hsien Loong menegaskan FPDA harus mengambil langkah aktif agar Jakarta tak melihat pakta pertahanan ini sebagai ancaman. Pendekatan antara lain dilakukan dengan mengundang Indonesia untuk menyaksikan langsung latihan militer FPDA.
Selain menghindari konflik, Hsien Loong melihat mendekati Indonesia bisa menjadi sarana FPDA menangkal pengaruh China di Asia Tenggara. Bila melihat dinamika perkembangan FPDA hingga menginjak usia 50 tahun, apa yang disampaikan Hsien Loong sangat realitis. Mengapa? Indonesia memang bukan lagi ancaman, seperti menjadi muasal berdirinya aliansi tersebut.
baca juga: Perbandingan Kekuatan Militer Indonesia dan Swedia, Skor Beda Jauh?
Runtuhnya Orde Lama yang diiringi dengan perubahan cara pandang politik luar negeri, termasuk dengan Malaysia dan Singapura, melahirkan hubungan bilateral dengan negara-negara anggota FPDA pada level tertinggi, termasuk pada bidang pertahanan.
Bila demikian, mengapa FPDA tidak dibubarkan? Mestinya secara teoritis demikian, karena tidak ada lagi musuh sebagaimana menjadi latar belakang persekutuan ini didirikan.
Namun bila dilihat lebih dalam, bagi beberapa negara anggota, seperti Malaysia dan Singapura, FPDA masih dibutuhkan sebagai sandaran pertahanan karena kapasitas militer dan pertahanan mereka masih terbatas dan demi mengantipasi munculnya ancaman kedaulatan yang tidak bisa diduga.
Seperti diakui Menteri Pertahanan, Datuk Seri Mohamad Hasan, Malaysia meneruskan kerja sama dengan FPDA dalam memperkukuh industri pertahanan, memajukan teknologi bersama, dan menjalankan latihan bersama. Malaysia berharap menguatkan komitmen bekerja sama dengan FPDA dalam domain keselamatan serta pertahanan konvensional dan non-konvensional. Di sisi lain, FPDA juga masih dibutuhkan karena munculnya ancaman baru, dalam hal ini China. Kondisi demikian seperti disampaikan
Hsien Loong. Euan Graham, seorang peneliti senior di International Institute for Strategic Studies. Dalam pandangannya, FPDA telah mendapatkan relevansi dalam beberapa tahun terakhir karena kehadiran Tiongkok di kawasan ini, terutama sengketa teritorialnya di Laut Cina Selatan dengan Malaysia dan perambahan ke dalam perairan Indonesia.
baca juga: Terkuat di Asia Tenggara, Militer Indonesia Kangkangi Australia dan Korut
Menteri Pertahanan Selandia Baru Andrew Little dikutip dari Antara pada 3 Juni 2023 menandaskan, fokus utama FPDA adalah menjaga stabilitas kawasan Asia Tenggara di tengah ketegangan regional.
Bila awalnya tujuan utama FPDA menanggapi ancaman militer Vietnam dan Indonesia, maka saat ini untuk menghadapi ancaman Nine Dash Line China. Apalagi Amerika Serikat dkk mengambil langkah berlawanan dengan China, mau tak mau FPDA ikut terseret dalam pusaran konflik ‘tuan besarnya’.
Pada dialog Shangri-La di Singapura beberapa waktu lalu, para menteri pertahanan negara anggota FPDA -Menteri Pertahanan Singapura Ng Eng Hen, Wakil Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan Australia Richard Marles, Menteri Pertahanan Malaysia Seri Mohamad Hasan, dan Menteri Pertahanan Inggris Ben Wallace, dan Menteri Pertahanan Selandia Baru Andrew Little- menegaskan relevansi FPDA dalam menghadapi dinamika ancaman global.Mereka sepakat FPDA menjadi bagian penting
untuk memastikan pertahanan kolektif di kawasan dan menjaga keseimbangan di kawasan Asia Tenggara dari potensi konflik AS-China. Richard Marles menyebut, FPDA sebagai pakta pertahanan yang harus mempromosikan perdamaian di kawasan Asia Tenggara.
baca juga: Pengamat Militer: Indonesia Harusnya Abstain Soal Resolusi PBB Terkait Rusia-Ukraina
Jika tren perubahan geopolitik membuat FPDA mengalihkan pandangan potensi ancaman ke China, bagi Indonesia apakah pergeseran ini serta-merta membuat FPDA tidak lagi relevan dianggap sebagai ancaman? Jawabannya, situasi harmonis yang terbentuk dengan negara-negara anggota FPDA tidak boleh melengahkan sejengkal pun kewaspadaan terhadap mereka.
Poin utamanya adalah, keberadaan FPDA sebagai pakta pertahanan selalu selaras dengan kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya. Karena itu, bila terjadi benturan atau konflik, maka loyalitas mereka adalah pada kepentingan kelompoknya.
Berangkat dari pemahaman ini dan tetap berpegang pada prinsip paradigma pragmatis dalam hubungan antar-bangsa seperti disampaikan Lord Palmerston, there is no permanent but only permanent interest, maka Indonesia tidak serta-merta menisbikan ancaman dari FPDA.
Apalagi dengan ketersangkutan salah satu anggota FPDA dengan AUKUS, yakni Australia, maka bukan tidak mungkin FPDA akan terintegrasi dengan AUKUS bila menghadapi situasi mengancam. Bahkan, seperti sudah diingatkan Presiden Rusia Vladimir Putin, bukan tidak mungkin pula AUKUS akan diintegrasikan dengan NATO, dengan FDPA menjadi persekutuan bayangan. (*)
baca juga: 8 Keunggulan Latihan Militer Gabungan Anggota ASEAN
Dalam latihan yang digelar selama dua minggu, Australia tercatat mengerahkan kekuatan paling besar, di antaranya berupa pesawat F/A-18 Super Hornet, pesawat angkut militer C-27J Spartan, kapal perusak berpeluru kendali kelas Hobart, dan HMAS Brisbane.
Kepala Operasi Gabungan Australia, Letnan Jenderal Greg Bilton AO, CSC, menekankan komitmen kuat negerinya terhadap FPDA yang telah memberikan landasan stabilitas regional selama setengah abad. Tentu saja, muara latihan anggota FPDA diarahkan untuk memperkuat kerja sama memudah kekuatan militer anggota untuk bekerja sama ketika diperlukan.
Dibanding latihan gabungan militer seperti Latgab Cooperation Afloat Readiness and Training (Carat) atau Latgab Garuda Shield yang intes digelar di kawasan dan melibatkan TNI, latgab anggota FDPA relatif jarang terdengar. Kalaupun digelar, gaungnya juga tidak begitu besar. Terakhir, mereka menggelar latihan pada Oktober 2021 dengan tajuk ‘Bersama Gold 2021’ untuk memperingati 50 tahun keberadaan FPDA.
Dari sisi skala pelibatan alutsista, latgab 2021 jauh lebih besar. Seperti dilansir USNI News, latgab total melibatkan 2.600 personel, 10 kapal, satu kapal selam, enam helikopter maritim, tiga pesawat patroli maritim, 25 pesawat tempur, dua pesawat pendukung. Satu pesawat komando dan kontrol berpartisipasi dalam latihan tersebut.
baca juga: Amerika-Filipina Akan Gelar Latihan Militer Gabungan Terbesar
Sebelumnya, latgab militer FPDA digelar pada 2019. Latihan yang dilaksanakan di Malaysia itu melibatkan sekitar 3.000 personel militer, lebih dari selusin kapal, dan 100 pesawat terbang dari lima negara anggota.
Meski gaung latgab FPDA tidak menggetarkan, bagi Indonesia eksistensi pakta pertahanan tersebut dan langkah menggelar latgab tetap patut mendapat perhatian. Betapa tidak, bila dirunut sejarahnya, kelahiran FPDA spesifik diarahkan untuk menghadapi Indonesia yang ketika itu berkonfrontasi dengan Malaysia.
Namun dalam kondisi damai seperti saat ini, dan negara-negara anggota FPDA menjalin hubungan mesra dengan Indonesia, eksistensi FPDA dan latgab yang digelar pun menimbulkan tanda tanya.
Pertanyaan dimaksud antara lain, apakah sejatinya masih menganggap Indonesia masih musuh potensial? Bila dengan Indonesia sudah menjalin hubungan mesra, lantas negara mana yang menjadi ancaman? Sebaliknya dari perspektif Jakarta, apakah FPDA masih layak dipertimbangkan sebagai ancaman?
Tujuan Pembentukan dan Dinamika
Berdasar sejarah, FPDA merupakan kerja sama pertahanan yang ditandatangani pada 1971 antara Inggris, Australia, Selandia Baru, Malaysia dan Singapura. Tujuan pembentukan sebagai wadah konsultasi 5 negara anggota untuk bersama-sama menentukan tindakan apa yang harus diambil secara kolektif atau terpisah dalam merespons munculnya ancaman atau serangan.
baca juga: AS Pantau Latihan Militer China di Sekitar Taiwan
Pembentukan FDPA dilakukan setelah Inggris pada Januari 1968 mengumumkan segera menarik pasukannya dari Malaysia dan Singapura pada 1971, sebagai hasil keputusan pada 1967 untuk menarik pasukannya di sebelah timur Terusan Suez.
Penarikan ini berkonsekwensi pada penghentian jaminan pertahanan Britania Raya atas Malaysia dan Singapura di bawah Perjanjian Pertahanan Anglo-Malaya. Karena itulah, 5 negara membuat keputusan bersama sebagai solusi atas kemungkinan serangan terhadap Malaysia dan Singapura setelah pasukan Inggris tidak lagi melindunginya.
Tak dapat dimungkiri, pembentukan FPDA yang dilakukan sesaat usai Dwikora mereda karena tumbangnya Orde Lama adalah untuk mengadapi kemungkinan ancaman Indonesia secara bersama-sama alias keroyokan.
Jurnal Lemhanas RI pada Desember 2022 secara gamblang menyebut pembentukan FPDA ditujukan melindungi Singapura dan Malaysia karena menganggap negeri ini ancaman baginya. Sebaliknya, bagi Indonesia adalah ancaman karena berada tepat di samping halaman rumah.
Selain itu, pembentukan FPDA juga merupakan jawaban Inggris atas keresahan meluasnya pengaruh Uni Soviet dengan ideologi komunisme di Asia Tenggara. Karena itulah, FPDA dibentuk untuk melindungi Singapura, Malaysia, Australia, Inggris dan Selandia Baru dari ancaman yang mewarnai geopolitik saat itu.
Sejak berdiri, anggota FPDA konsisten melakukan koordinasi seperti melakukan latihan bersama.Unsur penting FPDA adalah Markas Besar Sistem Pertahanan Wilayah Terpadu (HQ IADS) yang yang dipimpin perwira bintang dua dan didukung personel dari negara anggota dari tiga matra.
baca juga: Perbandingan Kekuatan Militer Indonesia dengan Vietnam
Pada satu dekade awal, latihan FPDA masih fokus pada latihan pertahanan udara sederhana. Hingga pada 1980-an, skala latihan terus berkembang mulai dari sisi ukuran, ruang lingkup dan kompleksitasnya. Per tahun 1997 latihan matra laut dan matra udara telah digabungkan. Memasuki fase 2000-an, latihan ditingkatkan mencakup penanganan ancaman non-konvensional seperti operasi kontra-pembajakan, peningkatan kapasitas dalam bantuan kemanusiaan dan penanggulangan bencana.
Hubungan Indonesia dengan negara-negara anggota FPDA yang diwarnai dengan kecurigaan dalam perkembangan sejarah menunjukkan tren positif. Kondisi cair ini terjadi karena hubungan antarnegara terbangun, baik secara bilateral maupun di level regional.
Dengan Malaysia misalnya, sejak ditandatanganinya perjanjian keamanan di wilayah perbatasan kedua negara pada 1972, Indonesia telah melakukan kerja sama bidang pertahanan. Model-kegiatan yang dilakukan antara lain kerja sama di bidang intelijen dan operasi dalam wadah General Border Committee Malaysia-Indonesia (GBC Malindo).
Begitu juga dengan Australia, kerja sama pertahanan semakin kuat melalui Lombok Treaty (Agreement between the Republic of Indonesia and Australia on the Framework for Security Cooperation) yang diteken pada 2006. Perjanjian tersebut telah ditindaklanjuti Kementerian Pertahanan RI dan Departemen Pertahanan Australia melalui kerangka kerja mengenai kerja sama keamanan dan rencana aksi di bidang pertahanan yang ditanda tangani pada tahun 2012.
baca juga: Militer Indonesia, Australia, dan Amerika Serikat Latihan Bersama
Kedua negara pun sangat intensif menjalin komunikasi dan konsultasi pertahanan melalui forum dialog meliputi Indonesia Australia Defence Strategic Dialogue (IADSD), Australia-Indonesia High Level Committee (Ausindo HLC), dan Two Plus Two antara menteri luar negeri dan menteri pertahanan kedua negara.
Mendekati Indonesia, Mengantisipasi China
Kepada Straits Times, pada 21 Oktober 2021, di sela Latgab militer FPDA, PM Singapura Lee Hsien Loong menegaskan FPDA harus mengambil langkah aktif agar Jakarta tak melihat pakta pertahanan ini sebagai ancaman. Pendekatan antara lain dilakukan dengan mengundang Indonesia untuk menyaksikan langsung latihan militer FPDA.
Selain menghindari konflik, Hsien Loong melihat mendekati Indonesia bisa menjadi sarana FPDA menangkal pengaruh China di Asia Tenggara. Bila melihat dinamika perkembangan FPDA hingga menginjak usia 50 tahun, apa yang disampaikan Hsien Loong sangat realitis. Mengapa? Indonesia memang bukan lagi ancaman, seperti menjadi muasal berdirinya aliansi tersebut.
baca juga: Perbandingan Kekuatan Militer Indonesia dan Swedia, Skor Beda Jauh?
Runtuhnya Orde Lama yang diiringi dengan perubahan cara pandang politik luar negeri, termasuk dengan Malaysia dan Singapura, melahirkan hubungan bilateral dengan negara-negara anggota FPDA pada level tertinggi, termasuk pada bidang pertahanan.
Bila demikian, mengapa FPDA tidak dibubarkan? Mestinya secara teoritis demikian, karena tidak ada lagi musuh sebagaimana menjadi latar belakang persekutuan ini didirikan.
Namun bila dilihat lebih dalam, bagi beberapa negara anggota, seperti Malaysia dan Singapura, FPDA masih dibutuhkan sebagai sandaran pertahanan karena kapasitas militer dan pertahanan mereka masih terbatas dan demi mengantipasi munculnya ancaman kedaulatan yang tidak bisa diduga.
Seperti diakui Menteri Pertahanan, Datuk Seri Mohamad Hasan, Malaysia meneruskan kerja sama dengan FPDA dalam memperkukuh industri pertahanan, memajukan teknologi bersama, dan menjalankan latihan bersama. Malaysia berharap menguatkan komitmen bekerja sama dengan FPDA dalam domain keselamatan serta pertahanan konvensional dan non-konvensional. Di sisi lain, FPDA juga masih dibutuhkan karena munculnya ancaman baru, dalam hal ini China. Kondisi demikian seperti disampaikan
Hsien Loong. Euan Graham, seorang peneliti senior di International Institute for Strategic Studies. Dalam pandangannya, FPDA telah mendapatkan relevansi dalam beberapa tahun terakhir karena kehadiran Tiongkok di kawasan ini, terutama sengketa teritorialnya di Laut Cina Selatan dengan Malaysia dan perambahan ke dalam perairan Indonesia.
baca juga: Terkuat di Asia Tenggara, Militer Indonesia Kangkangi Australia dan Korut
Menteri Pertahanan Selandia Baru Andrew Little dikutip dari Antara pada 3 Juni 2023 menandaskan, fokus utama FPDA adalah menjaga stabilitas kawasan Asia Tenggara di tengah ketegangan regional.
Bila awalnya tujuan utama FPDA menanggapi ancaman militer Vietnam dan Indonesia, maka saat ini untuk menghadapi ancaman Nine Dash Line China. Apalagi Amerika Serikat dkk mengambil langkah berlawanan dengan China, mau tak mau FPDA ikut terseret dalam pusaran konflik ‘tuan besarnya’.
Pada dialog Shangri-La di Singapura beberapa waktu lalu, para menteri pertahanan negara anggota FPDA -Menteri Pertahanan Singapura Ng Eng Hen, Wakil Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan Australia Richard Marles, Menteri Pertahanan Malaysia Seri Mohamad Hasan, dan Menteri Pertahanan Inggris Ben Wallace, dan Menteri Pertahanan Selandia Baru Andrew Little- menegaskan relevansi FPDA dalam menghadapi dinamika ancaman global.Mereka sepakat FPDA menjadi bagian penting
untuk memastikan pertahanan kolektif di kawasan dan menjaga keseimbangan di kawasan Asia Tenggara dari potensi konflik AS-China. Richard Marles menyebut, FPDA sebagai pakta pertahanan yang harus mempromosikan perdamaian di kawasan Asia Tenggara.
baca juga: Pengamat Militer: Indonesia Harusnya Abstain Soal Resolusi PBB Terkait Rusia-Ukraina
Jika tren perubahan geopolitik membuat FPDA mengalihkan pandangan potensi ancaman ke China, bagi Indonesia apakah pergeseran ini serta-merta membuat FPDA tidak lagi relevan dianggap sebagai ancaman? Jawabannya, situasi harmonis yang terbentuk dengan negara-negara anggota FPDA tidak boleh melengahkan sejengkal pun kewaspadaan terhadap mereka.
Poin utamanya adalah, keberadaan FPDA sebagai pakta pertahanan selalu selaras dengan kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya. Karena itu, bila terjadi benturan atau konflik, maka loyalitas mereka adalah pada kepentingan kelompoknya.
Berangkat dari pemahaman ini dan tetap berpegang pada prinsip paradigma pragmatis dalam hubungan antar-bangsa seperti disampaikan Lord Palmerston, there is no permanent but only permanent interest, maka Indonesia tidak serta-merta menisbikan ancaman dari FPDA.
Apalagi dengan ketersangkutan salah satu anggota FPDA dengan AUKUS, yakni Australia, maka bukan tidak mungkin FPDA akan terintegrasi dengan AUKUS bila menghadapi situasi mengancam. Bahkan, seperti sudah diingatkan Presiden Rusia Vladimir Putin, bukan tidak mungkin pula AUKUS akan diintegrasikan dengan NATO, dengan FDPA menjadi persekutuan bayangan. (*)
(hdr)