UMKM Menjadi Solusi Persoalan Ketenagakerjaan dan Permintaan (Bagian Pertama)
loading...
A
A
A
Selain kontribusinya tidak mengalami pertumbuhan, produktivitas UMKM di Indonesia juga masih kalah dibandingkan sejumlah negara anggota ASEAN, meskipun secara agregat penyerapan tenaga kerja merupakan yang tertinggi. Menurut laporan Asia SME Finance Monitor 2014 yang dirilis Asian Development Bank, pada 2012 produktivitas UMKM Indonesia hanya USD1.355, sementara Malaysia mencapai USD20.609 dan Thailand USD12.263. Adapun menurut pertumbuhan produktivitasnya, UMKM Indonesia tumbuh 4,9% sementara Thailand 6,1% dan Malaysia 9,5%.
Stagnasi kontribusi pertumbuhan kontribusi sektor UMKM terhadap PDB itu terkait dengan daya saing. Menurut Pusat Perdagangan Dunia (ITC), ada tiga pilar yang menjadi parameter daya saing usaha di level mikro, yakni kapasitas untuk bersaing (compete), kapasitas untuk terhubung (connect), dan kapasitas untuk berubah (change). Kapasitas untuk bersaing terkait dengan operasi perusahaan dan efisiensi terkait biaya, waktu, kualitas, dan kuantitas. Adapun kapasitas untuk terhubung berkaitan dengan kemampuan untuk mengumpulkan dan memanfaatkan informasi serta pengetahuan bisnis yang relevan. Sementara kapasitas untuk berubah terkait dengan kemampuan perusahaan untuk mengeksekusi perubahan sebagai respons atau antisipasi atas dinamika pasar.
Berhubung UMKM hidup dan beraktivitas di tengah dinamika ekonomi nasional dan global, daya saingnya akan ditentukan oleh kondisi makronya, yaitu ekosistem bisnis dan lingkungan nasional. Karena itu, penilaian daya saing UMKM berkaitan dengan kondisi bisnis dan lingkungan yang bisa menyebabkan UMKM mampu bersaing, terhubung, dan berubah.
Dalam perjalanannya, sudah banyak lembaga yang melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan daya saing UMKM. Namun, dengan kondisi UMKM yang belum mampu meningkatkan kontribusi terhadap PDB, walaupun agregat penyerapan tenaga kerjanya sangat besar, diperlukan terobosan baru.
Terobosan ini mengacu pada metode pelibatan UMKM pada tiga hal, yakni rational thinking, emotional feeling, dan motivation factor serta mengombinasikannya dengan menempatkan UMKM sebagai subjek, bukan objek. Dalam sejumlah kajian terlihat, kegagalan pemberdayaan UMKM sering kali bersumber dari kekeliruan menempatkan UMKM sebagai objek penerima bantuan, bukan subjek yang memiliki kemampuan untuk bersaing, terhubung, dan berubah. Untuk memberikan gambaran yang jelas dan nyata, saya akan memberi contoh model pemberdayaan dengan melibatkan langsung UMKM dalam seluruh prosesnya, yakni pemberdayaan UMKM oleh PT Jamkrindo di Geopark Ciletuh, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat; Larantuka, Nusa Tenggara Timur; dan Kintamani, Bali.
Rational thinking
Secara harfiah, konsep berpikir rasional mengedepankan penggunaan akal, alasan yang tepat, dan penggunaan logika untuk memverifikasi fakta-fakta. Cara berpikir rasional menuntut usaha yang penuh untuk berpikir dan secara khusus menggunakan intuisi berdasarkan pengalaman dan kemauan untuk terus-menerus memperbaiki diri.
Dalam konteks pelibatan pelaku UMKM dalam pengembangan diri dan kapasitas usahanya, konsep berpikir rasional itu mengacu pada keyakinan bersama antara UMKM dan pendamping bahwa pemahaman bersama sangatlah penting serta perlunya perumusan bersama konsep pemberdayaan. Rational thinking selalu menjadi tahap awal dari proses pemberdayaan karena UMKM harus diajak berpikir untuk merumuskan konsep, membuat perencanaan, dan mengeksekusi konsep dan perencanaan.
Walaupun ketiga proses itu sama-sama penting, konsep berpikir rasional harus menempatkan eksekusi dengan porsi paling besar dan memberi penekanan penuh pada tahap ini. Dalam sejumlah kasus, bisa saja terjadi UMKM dan pendamping memang sudah membuat konsep dan perencanaan yang bagus, tetapi sering kali gagal karena lemah dalam eksekusi.
Dalam model pemberdayaan UMKM di Larantuka, kami mengajak para petani mete untuk duduk bersama dan mengupas persoalan satu per satu. Cara berpikir rasional itu menuntun kami untuk mendapatkan keyakinan bahwa masing-masing petani mete memiliki persoalannya masing-masing sehingga cara mengatasi persoalannya pun berbeda-beda. Hal ini berangkat dari keyakinan bahwa hulu kegagalan pemberdayaan UMKM adalah cara berpikir yang tidak rasional, yakni UMKM punya persoalan yang sama: akses terhadap modal.
Ternyata, akses terhadap modal bukan satu-satunya dan bukan yang paling utama yang menjadi kendala UMKM. Di Larantuka, hal itu terkonfirmasi dengan sahih karena ternyata masing-masing petani memiliki persoalan masing-masing, walaupun akhirnya bermuara pada dampak yang sama, yakni usaha budi daya mete belum mampu memberi kontribusi optimal terhadap perekonomian mereka masing-masing.
Stagnasi kontribusi pertumbuhan kontribusi sektor UMKM terhadap PDB itu terkait dengan daya saing. Menurut Pusat Perdagangan Dunia (ITC), ada tiga pilar yang menjadi parameter daya saing usaha di level mikro, yakni kapasitas untuk bersaing (compete), kapasitas untuk terhubung (connect), dan kapasitas untuk berubah (change). Kapasitas untuk bersaing terkait dengan operasi perusahaan dan efisiensi terkait biaya, waktu, kualitas, dan kuantitas. Adapun kapasitas untuk terhubung berkaitan dengan kemampuan untuk mengumpulkan dan memanfaatkan informasi serta pengetahuan bisnis yang relevan. Sementara kapasitas untuk berubah terkait dengan kemampuan perusahaan untuk mengeksekusi perubahan sebagai respons atau antisipasi atas dinamika pasar.
Berhubung UMKM hidup dan beraktivitas di tengah dinamika ekonomi nasional dan global, daya saingnya akan ditentukan oleh kondisi makronya, yaitu ekosistem bisnis dan lingkungan nasional. Karena itu, penilaian daya saing UMKM berkaitan dengan kondisi bisnis dan lingkungan yang bisa menyebabkan UMKM mampu bersaing, terhubung, dan berubah.
Dalam perjalanannya, sudah banyak lembaga yang melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan daya saing UMKM. Namun, dengan kondisi UMKM yang belum mampu meningkatkan kontribusi terhadap PDB, walaupun agregat penyerapan tenaga kerjanya sangat besar, diperlukan terobosan baru.
Terobosan ini mengacu pada metode pelibatan UMKM pada tiga hal, yakni rational thinking, emotional feeling, dan motivation factor serta mengombinasikannya dengan menempatkan UMKM sebagai subjek, bukan objek. Dalam sejumlah kajian terlihat, kegagalan pemberdayaan UMKM sering kali bersumber dari kekeliruan menempatkan UMKM sebagai objek penerima bantuan, bukan subjek yang memiliki kemampuan untuk bersaing, terhubung, dan berubah. Untuk memberikan gambaran yang jelas dan nyata, saya akan memberi contoh model pemberdayaan dengan melibatkan langsung UMKM dalam seluruh prosesnya, yakni pemberdayaan UMKM oleh PT Jamkrindo di Geopark Ciletuh, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat; Larantuka, Nusa Tenggara Timur; dan Kintamani, Bali.
Rational thinking
Secara harfiah, konsep berpikir rasional mengedepankan penggunaan akal, alasan yang tepat, dan penggunaan logika untuk memverifikasi fakta-fakta. Cara berpikir rasional menuntut usaha yang penuh untuk berpikir dan secara khusus menggunakan intuisi berdasarkan pengalaman dan kemauan untuk terus-menerus memperbaiki diri.
Dalam konteks pelibatan pelaku UMKM dalam pengembangan diri dan kapasitas usahanya, konsep berpikir rasional itu mengacu pada keyakinan bersama antara UMKM dan pendamping bahwa pemahaman bersama sangatlah penting serta perlunya perumusan bersama konsep pemberdayaan. Rational thinking selalu menjadi tahap awal dari proses pemberdayaan karena UMKM harus diajak berpikir untuk merumuskan konsep, membuat perencanaan, dan mengeksekusi konsep dan perencanaan.
Walaupun ketiga proses itu sama-sama penting, konsep berpikir rasional harus menempatkan eksekusi dengan porsi paling besar dan memberi penekanan penuh pada tahap ini. Dalam sejumlah kasus, bisa saja terjadi UMKM dan pendamping memang sudah membuat konsep dan perencanaan yang bagus, tetapi sering kali gagal karena lemah dalam eksekusi.
Dalam model pemberdayaan UMKM di Larantuka, kami mengajak para petani mete untuk duduk bersama dan mengupas persoalan satu per satu. Cara berpikir rasional itu menuntun kami untuk mendapatkan keyakinan bahwa masing-masing petani mete memiliki persoalannya masing-masing sehingga cara mengatasi persoalannya pun berbeda-beda. Hal ini berangkat dari keyakinan bahwa hulu kegagalan pemberdayaan UMKM adalah cara berpikir yang tidak rasional, yakni UMKM punya persoalan yang sama: akses terhadap modal.
Ternyata, akses terhadap modal bukan satu-satunya dan bukan yang paling utama yang menjadi kendala UMKM. Di Larantuka, hal itu terkonfirmasi dengan sahih karena ternyata masing-masing petani memiliki persoalan masing-masing, walaupun akhirnya bermuara pada dampak yang sama, yakni usaha budi daya mete belum mampu memberi kontribusi optimal terhadap perekonomian mereka masing-masing.