Ungkap Risiko Ikut Umrah Backpacker, Kemenag: Melanggar Aturan Bisa Dipenjara 6 Tahun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Umrah Backpacker kini menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Hal ini menyusul salah satu penyelenggaraan dilaporkan Kementerian Agama (Kemenag) ke Polda Metro Jaya atas dugaan tindak pidana penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah pada 12 September 2023 lalu.
Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Kemenag, Nur Arifin mengatakan umrah backpacker merupakan aktivitas secara umrah non-prosedural. Sebab berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 bisnis perjalanan ibadah umrah dipegang oleh Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).
"Kami sampaikan bahwa peraturan perundang-undangan itu sama sekali tidak mempersulit masyarakat untuk ibadah justru mempermudah dengan memberikan jaminan layanan. Kalau umrah melalui PPIU itu jelas ada jaminan layanan baik jaminan layanan ibadah, kalau ada apa-apa negara berhak menuntut yang telah berizin tadi untuk kalau ada pelanggar,"katanya Sabtu (7/10/2023).
Arifin mengungkapkan sejumlah risiko jika masyarakat menggunakan layanan umrah backpacker untuk beribadah. Pertama adalah melanggar undang-undang karena tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 bisnis perjalanan ibadah umrah.
"Risikonya adalah menjadi bagian dari yang melanggar undang-undang kalau dia orang Islam ada dalil di Al Qur’an kita taat kepada Allah, taat kepada Rasul dan taat pada Ulil Amri. Mereka berarti tidak taat pada Ulil Amri misalnya kalau tujuannya ibadah diawali dengan pelanggaran syariah seperti orang salat tapi kadang-kadang kena najis atau kena hadas kan sayang, dia udah capek-capek ibadahnya tapi diawali dari pelanggaran,"kata Nur.
Adapun di dalam Pasal 115 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 disebutkan setiap orang dilarang tanpa hak sebagai PPIU mengumpulkan dan/atau memberangkatkan jamaah umrah. Larangan tersebut diancam dengan sanksi pidana penjara selama 6 tahun atau pidana denda Rp6 miliar.
Selain itu juga ada larangan bagi pihak yang tidak memiliki izin sebagai PPIU menerima setoran biaya umrah. Pidananya berupa pidana kurungan 8 tahun atau denda Rp8 miliar.
"Indonesia membuat aturan, siapa pun yang melakukan perjalanan umrah maka harus melalui PPIU. Seseorang atau kelompok orang yang menyelenggarakan umrah tetapi tidak berizin maka diancam dengan denda maksimal 6 miliar atau penjara maksimal 6 tahun,"ucapnya.
Kedua, perjalanan umrah backpacker tidak ada jaminan layanan. Walaupun dia mengakui umrah lebih murah, lebih lancar namun berbasis teori faktanya di lapangan umrah menggunakan layanan backpacker akan sungguh menyulitkan.
"Masyarakat Indonesia dengan Saudi itu budayanya berbeda, bahasanya beda, alamnya beda, sistem pemerintahannya. Kalau ada masalah maka siapa yang menjamin? kan kasihan,"kata dia.
Lantas dia mencontohkan jika jemaah umrah backpaker yang tiba-tiba sakit. Maka Saudi tidak akan bertanggung jawab karena mereka tidak menggunakan visa umrah.
"Kalau menggunakan visa umrah ada unsur asuransi ditanggung kesehatan selama di Saudi maka semua rumah sakit Saudi menjamin. Tetapi kalau tidak ada tentu mereka tidak mau menerima, siapa yang bertanggung jawab sementara travelnya enggak jelas dan sebagainya akhirnya masyarakat jadi korban,"katanya.
Arifin mengimbau kepada masyarakat untuk tetap menaati peraturan yang ada di Indonesia dengan mendaftar ibadah umrah melalui PPIU. Lembaga berizin tersebut diharapkan dapat menjamin seluruh layanan yang diperlukan jemaah saat hendak berangkat umrah ke Tanah Suci.
"Oleh karena itu maka ayo kita dukung aturan, kita dukung travel-travel yang berizin sehingga ibadah kita berbasis ibadah yang sah sesuai syariat dan ada jaminan layanan. Kalau menggunakan travel yang sah kita semua bisa hidup tertib sesuai aturan sehingga bisa beribadah berbasis sah, insyaallah mabrur," tuturnya.
Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Kemenag, Nur Arifin mengatakan umrah backpacker merupakan aktivitas secara umrah non-prosedural. Sebab berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 bisnis perjalanan ibadah umrah dipegang oleh Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).
"Kami sampaikan bahwa peraturan perundang-undangan itu sama sekali tidak mempersulit masyarakat untuk ibadah justru mempermudah dengan memberikan jaminan layanan. Kalau umrah melalui PPIU itu jelas ada jaminan layanan baik jaminan layanan ibadah, kalau ada apa-apa negara berhak menuntut yang telah berizin tadi untuk kalau ada pelanggar,"katanya Sabtu (7/10/2023).
Arifin mengungkapkan sejumlah risiko jika masyarakat menggunakan layanan umrah backpacker untuk beribadah. Pertama adalah melanggar undang-undang karena tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 bisnis perjalanan ibadah umrah.
"Risikonya adalah menjadi bagian dari yang melanggar undang-undang kalau dia orang Islam ada dalil di Al Qur’an kita taat kepada Allah, taat kepada Rasul dan taat pada Ulil Amri. Mereka berarti tidak taat pada Ulil Amri misalnya kalau tujuannya ibadah diawali dengan pelanggaran syariah seperti orang salat tapi kadang-kadang kena najis atau kena hadas kan sayang, dia udah capek-capek ibadahnya tapi diawali dari pelanggaran,"kata Nur.
Adapun di dalam Pasal 115 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 disebutkan setiap orang dilarang tanpa hak sebagai PPIU mengumpulkan dan/atau memberangkatkan jamaah umrah. Larangan tersebut diancam dengan sanksi pidana penjara selama 6 tahun atau pidana denda Rp6 miliar.
Selain itu juga ada larangan bagi pihak yang tidak memiliki izin sebagai PPIU menerima setoran biaya umrah. Pidananya berupa pidana kurungan 8 tahun atau denda Rp8 miliar.
"Indonesia membuat aturan, siapa pun yang melakukan perjalanan umrah maka harus melalui PPIU. Seseorang atau kelompok orang yang menyelenggarakan umrah tetapi tidak berizin maka diancam dengan denda maksimal 6 miliar atau penjara maksimal 6 tahun,"ucapnya.
Kedua, perjalanan umrah backpacker tidak ada jaminan layanan. Walaupun dia mengakui umrah lebih murah, lebih lancar namun berbasis teori faktanya di lapangan umrah menggunakan layanan backpacker akan sungguh menyulitkan.
"Masyarakat Indonesia dengan Saudi itu budayanya berbeda, bahasanya beda, alamnya beda, sistem pemerintahannya. Kalau ada masalah maka siapa yang menjamin? kan kasihan,"kata dia.
Lantas dia mencontohkan jika jemaah umrah backpaker yang tiba-tiba sakit. Maka Saudi tidak akan bertanggung jawab karena mereka tidak menggunakan visa umrah.
"Kalau menggunakan visa umrah ada unsur asuransi ditanggung kesehatan selama di Saudi maka semua rumah sakit Saudi menjamin. Tetapi kalau tidak ada tentu mereka tidak mau menerima, siapa yang bertanggung jawab sementara travelnya enggak jelas dan sebagainya akhirnya masyarakat jadi korban,"katanya.
Arifin mengimbau kepada masyarakat untuk tetap menaati peraturan yang ada di Indonesia dengan mendaftar ibadah umrah melalui PPIU. Lembaga berizin tersebut diharapkan dapat menjamin seluruh layanan yang diperlukan jemaah saat hendak berangkat umrah ke Tanah Suci.
"Oleh karena itu maka ayo kita dukung aturan, kita dukung travel-travel yang berizin sehingga ibadah kita berbasis ibadah yang sah sesuai syariat dan ada jaminan layanan. Kalau menggunakan travel yang sah kita semua bisa hidup tertib sesuai aturan sehingga bisa beribadah berbasis sah, insyaallah mabrur," tuturnya.
(cip)