Konsistensi Mahkamah Konstitusi Diuji dalam Gugatan Usia Pensiun TNI
loading...
A
A
A
JAKARTA - Konsistensi Mahkamah Konstitusi ( MK ) diuji melalui gugatan tentang batas usia pensiun bagi prajurit TNI dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Pasalnya, MK pernah memutuskan menolak gugatan serupa pada Selasa, 29 Maret 2022.
Saat itu, permohonan gugatan diajukan oleh Letkol (Purn) Euis Kurniasih bersama lima orang rekannya, Jerry Indrawan G, Hardiansyah, A. Ismail Irwan Marzuk, Bayu Widiyanto, dan Musono.
“Amar putusan mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Pleno Hakim Konstitusi Anwar Usman membacakan kutipan amar Putusan Nomor 62/PUU-XIX/2021 dalam sidang yang digelar di MK, Selasa, 29 Maret 2022 secara daring.
Saat itu, berkaitan dengan batas usia pensiun TNI yang menurut para Pemohon perlu disetarakan dengan batas usia pensiun Polri, menurut Mahkamah, hal tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang yang sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan dan sesuai dengan jenis serta spesifikasi dan kualifikasi jabatan tersebut atau dapat melalui upaya legislative review.
Terbaru, tujuh prajurit TNI yang terdiri atas prajurit aktif dan purnawirawan, mengujikan ketentuan batas usia pensiun dalam UU TNI. Pemohon I yaitu Kresno Buntoro, Prajurit TNI aktif dengan Pangkat Laksamana Muda TNI.
Pemohon II, Sumaryo, Prajurit TNI aktif dengan pangkat Kolonel Chk. Pemohon III, Suwardi, Prajurit TNI aktif dengan pangkat Sersan Kepala. Pemohon IV, Lasman Nahampun, Purnawirawan Prajurit TNI dengan pangkat terakhir Kolonel Laut.
Pemohon V, Eko Haryanto, Purnawirawan Prajurit TNI dengan pangkat terakhir Kolonel Chk. Pemohon VI, Sumanto, Purnawirawan Prajurit TNI dengan pangkat terakhir Letda Sus. Terakhir, Pemohon VII, Marwan Suliandi, Prajurit Militer bertugas sebagai Hakim Militer.
Para Pemohon perkara Nomor 97/PUU-XXI/2023 tersebut, mengujikan Pasal 53 UU TNI yang menyatakan, “Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 58 tahun bagi perwira, dan 53 tahun bagi bintara dan tamtama”.
Dilansir dari laman resmi MK, Viktor Santoso Tandiasa selaku kuasa hukum para Pemohon menjelaskan perlunya kesetaraan ketentuan batas usia masa dinas (pensiun) di antara profesi abdi negara di Indonesia. Hal ini mengingat berbagai peraturan perundang-undangan lain yang juga mengatur profesi abdi negara (seperti Polri, ASN, Jaksa, Guru/Dosen, Hakim), ternyata menentukan batas usia pensiun mencapai 60 tahun bahkan mencapai paling tinggi 70 tahun.
Penyesuaian batas usia pensiun prajurit TNI menjadi paling tinggi 60 tahun sekaligus sebagai bentuk penghargaan negara atas pengabdian yang telah dilakukan oleh prajurit TNI yang masih berada dalam rentang usia produktif, serta memberikan jaminan kesejahteraan yang lebih lama atau setidak-tidaknya setara dengan yang dinikmati oleh anggota Polri, ASN, Jaksa, Guru/Dosen, Hakim selaku profesi abdi negara atas kelangsungan hidup mereka.
Maka itu, para Pemohon dalam petitum provisi, sebelum MK menjatuhkan putusan akhir, mereka meminta MK menyatakan menunda pelaksanaan Pasal 53 UU TNI hingga adanya putusan akhir MK.
Kemudian, dalam petitum pokok perkara, mereka meminta MK menyatakan Pasal 53 UU TNI bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 60 tahun bagi perwira dan 58 tahun bagi bintara dan tamtama”.
Direktur Imparsial Ghufron Mabruri menilai konsistensi MK diuji dalam gugatan tentang batas usia pensiun bagi prajurit TNI yang diajukan tujuh orang tersebut. “Iya, kan UU sebelumnya pernah ada uji materi. MK harusnya konsisten dengan putusan sebelumnya,” kata Ghufron kepada SINDOnews, Kamis (21/9/2023).
Ghufron juga merespons wacana perpanjangan masa dinas Panglima TNI Laksamana Yudo Margono yang akan memasuki usia pensiun pada November mendatang bergulir belakangan ini. Dia sekaligus merespons pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyatakan bahwa perpanjangan tersebut sebagai salah satu opsi yang dipertimbangkan.
Sebelumnya, kata dia, Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid juga mengungkapkan bahwa baik pergantian maupun perpanjangan usia pensiun Panglima TNI merupakan opsi yang terbuka. “Imparsial memandang, proses perpanjangan masa usia pensiun Panglima TNI merupakan langkah yang bertentangan dengan hukum (inkonstitusional) dan tidak memiliki urgensi untuk dilakukan saat ini,” ujarnya.
Dia menuturkan, Pasal 53 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI menyatakan bahwa usia pensiun bagi perwira TNI adalah 58 tahun. Dia menambahkan, ketentuan tersebut tidak memungkinkan dibukanya opsi perpanjangan masa usia pensiun perwira, termasuk dalam hal ini Panglima TNI.
“Dalam konteks itu, menjadi sebuah keharusan bagi Presiden untuk tetap menjadikan UU TNI sebagai acuan hukum dalam pergantian Panglima TNI. Jangan memaksakan sebuah kebijakan yang bertentangan dengan hukum dan berdampak pada dinamika internal TNI,” jelasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, perpanjangan usia pensiun perwira TNI hanya bisa dilakukan melalui perubahan terhadap Pasal 53 UU TNI yang dapat dilakukan melalui dua cara; yaitu melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atau proses revisi di DPR. “Meski ada kemungkinan lain, yakni melalui Perppu, namun jelas-jelas saat ini tidak ada kegentingan yang memaksa sebagai prasyarat Presiden mengeluarkan Perppu untuk merevisi Pasal 53 UU TNI,” ungkapnya.
Terkait uji materi Pasal 53 UU TNI terkait usia pensiun perwira TNI di Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro beserta sejumlah purnawirawan lainnya, Imparsial mencatat bahwa uji materi tersebut adalah untuk yang kedua kalinya dilakukan.
“Sebelumnya, permohonan dengan substansi yang sama pernah juga dilakukan oleh Letkol (Purn) Euis Kurniasih bersama lima orang lainnya dan Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan tersebut dengan alasan bahwa hal itu merupakan kebijakan yang bersifat terbuka (open legal policy) yang tidak bisa ditentukan oleh MK,” ungkapnya.
Sementara itu, kata dia, jika melihat daftar Prolegnas 2023, tidak ada pembahasan terkait revisi UU TNI yang sedang berlangsung di DPR. Dikatakannya, wacana revisi terhadap UU TNI memang sudah muncul tetapi masih dalam tahap pembahasan di internal TNI (pemerintah) itu sendiri.
“Untuk itu, cukup aneh bagi Kababinkum TNI yang saat ini mengajukan Judicial Review usia pensiun perwira TNI ke MK, tetapi di sisi lain ia juga memproses revisi terhadap UU TNI yang salah satu substansinya terkait usia pensiun prajurit TNI. Kuat dugaan bahwa tujuan Judicial Review tersebut ditengarai untuk memperpajang masa jabatan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono,” kata Ghufron.
Imparsial menilai tidak ada urgensi bagi Presiden untuk memperpanjang masa usia pensiun Panglima TNI Laksamana Yudo Margono. Dia menjelaskan, penyelenggaraan Pemilu 2024 bukanlah alasan yang tepat untuk digunakan sebagai dasar bagi Presiden untuk melakukan perpanjangan tersebut.
“Penting dicatat, pergantian Panglima TNI harus dipandang sebagai proses yang biasa dan tidak berkaitan secara langsung dengan proses penyelenggaraan pemilu. Apalagi mekanisme pergantian Panglima TNI sudah dibentuk dan TNI sendiri secara internal sudah memiliki sistem yang baku dan telah dijalankan selama ini,” kata dia.
Imparsial mendesak ketimbang berpolemik dengan perpanjangan masa usia pensiun yang tidak memiliki urgensi dan bahkan inkonstitusional jika dipaksaan saat ini, Presiden Jokowi lebih baik segera menyiapkan calon pengganti Panglima TNI Laksamana Yudo Margono. Dalam konteks pergantian tersebut, lanjut dia, menjadi penting bagi presiden untuk mempertimbangkan syarat normatif dan substantif dalam menyeleksi calon Panglima TNI ke depan.
“Syarat normatif pergantian calon Panglima TNI mengacu pada ketentuan yang telah diatur di dalam UU TNI. Pasal 13 ayat 4 UU TNI menyatakan bahwa calon Panglima TNI adalah perwira TNI aktif yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan dan dapat dijabat secara bergantian,” ucapnya.
Dia melanjutkan, syarat normatif tersebut juga harus dibarengi dengan syarat substantif, yaitu dengan menyeleksi calon Panglima TNI dari aspek komitmen dan visi-misi dalam pembangunan TNI sebagai alat pertahanan negara yang profesional, termasuk juga mencermati rekam jejaknya yang bebas dari dugaan keterlibatan dalam kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM, praktik korupsi, dan tindak pidana berat lainnya.
Dia menegaskan, calon Panglima TNI ke depan juga harus memiliki komitmen untuk melanjutkan agenda reformasi TNI. Lebih dari itu, sambung dia, Presiden Jokowi harus menghindari pertimbangan yang sifatnya politis dalam pergantian Panglima TNI ke depan.
“Hal ini menjadi penting terutama di tengah kontestasi politik elektoral 2024 di mana calon Panglima TNI yang baru diharapkan mampu menjaga soliditas, netralitas, dan profesionalisme prajurit,” pungkasnya.
Hal senada juga dikatakan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar. “Sebelumnya kan pernah ada ya, itu juga ditolak itu kan, dan MK juga sudah mengatakan itu bagian dari open legal policy pada dasarnya. Ini juga seharusnya MK bisa konsisten dengan putusan sebelumnya,” kata Wahyudi Djafar.
“Ya itu diserahkan kepada pembentuk UU, karena itu open legal policy kan itu wilayahnya DPR dan presiden untuk menentukan berapa sih usia pensiun yang tepat bagi prajurit TNI, MK mestinya konsisten dengan putusan sebelumnya,” pungkasnya.
Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi memprediksi MK akan menyatakan pokok permohonan gugatan tersebut nebis in idem" (perkara sudah diputus sebelumnya). “Sudah pernah diuji sebelumnya - nebis in idem,” kata politikus Partai Golkar ini.
Dia pun berharap tidak ada perubahan siginifikan dalam organisasi TNI memasuki tahun pemilu ini. “Karena biasanya pergantian Panglima TNI diiringi dengan perubahan di bawahnya (mutasi-rotasi) dalam 100 hari pertama,” kata Bobby.
“Tapi karena masa pensiun panglima berakhir bulan Desember ini, sesuai UU harus dilakukan pergantian, kecuali ada Perppu, atau keputusan MK yang mendukung, atau revisi UU-nya,” pungkasnya.
Lihat Juga: Letjen TNI yang Belum Genap Sebulan Duduki Jabatan Baru, Nomor 5 dan 6 Peraih Adhi Makayasa
Saat itu, permohonan gugatan diajukan oleh Letkol (Purn) Euis Kurniasih bersama lima orang rekannya, Jerry Indrawan G, Hardiansyah, A. Ismail Irwan Marzuk, Bayu Widiyanto, dan Musono.
“Amar putusan mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Pleno Hakim Konstitusi Anwar Usman membacakan kutipan amar Putusan Nomor 62/PUU-XIX/2021 dalam sidang yang digelar di MK, Selasa, 29 Maret 2022 secara daring.
Saat itu, berkaitan dengan batas usia pensiun TNI yang menurut para Pemohon perlu disetarakan dengan batas usia pensiun Polri, menurut Mahkamah, hal tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang yang sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan dan sesuai dengan jenis serta spesifikasi dan kualifikasi jabatan tersebut atau dapat melalui upaya legislative review.
Terbaru, tujuh prajurit TNI yang terdiri atas prajurit aktif dan purnawirawan, mengujikan ketentuan batas usia pensiun dalam UU TNI. Pemohon I yaitu Kresno Buntoro, Prajurit TNI aktif dengan Pangkat Laksamana Muda TNI.
Pemohon II, Sumaryo, Prajurit TNI aktif dengan pangkat Kolonel Chk. Pemohon III, Suwardi, Prajurit TNI aktif dengan pangkat Sersan Kepala. Pemohon IV, Lasman Nahampun, Purnawirawan Prajurit TNI dengan pangkat terakhir Kolonel Laut.
Pemohon V, Eko Haryanto, Purnawirawan Prajurit TNI dengan pangkat terakhir Kolonel Chk. Pemohon VI, Sumanto, Purnawirawan Prajurit TNI dengan pangkat terakhir Letda Sus. Terakhir, Pemohon VII, Marwan Suliandi, Prajurit Militer bertugas sebagai Hakim Militer.
Para Pemohon perkara Nomor 97/PUU-XXI/2023 tersebut, mengujikan Pasal 53 UU TNI yang menyatakan, “Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 58 tahun bagi perwira, dan 53 tahun bagi bintara dan tamtama”.
Dilansir dari laman resmi MK, Viktor Santoso Tandiasa selaku kuasa hukum para Pemohon menjelaskan perlunya kesetaraan ketentuan batas usia masa dinas (pensiun) di antara profesi abdi negara di Indonesia. Hal ini mengingat berbagai peraturan perundang-undangan lain yang juga mengatur profesi abdi negara (seperti Polri, ASN, Jaksa, Guru/Dosen, Hakim), ternyata menentukan batas usia pensiun mencapai 60 tahun bahkan mencapai paling tinggi 70 tahun.
Penyesuaian batas usia pensiun prajurit TNI menjadi paling tinggi 60 tahun sekaligus sebagai bentuk penghargaan negara atas pengabdian yang telah dilakukan oleh prajurit TNI yang masih berada dalam rentang usia produktif, serta memberikan jaminan kesejahteraan yang lebih lama atau setidak-tidaknya setara dengan yang dinikmati oleh anggota Polri, ASN, Jaksa, Guru/Dosen, Hakim selaku profesi abdi negara atas kelangsungan hidup mereka.
Maka itu, para Pemohon dalam petitum provisi, sebelum MK menjatuhkan putusan akhir, mereka meminta MK menyatakan menunda pelaksanaan Pasal 53 UU TNI hingga adanya putusan akhir MK.
Kemudian, dalam petitum pokok perkara, mereka meminta MK menyatakan Pasal 53 UU TNI bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 60 tahun bagi perwira dan 58 tahun bagi bintara dan tamtama”.
Direktur Imparsial Ghufron Mabruri menilai konsistensi MK diuji dalam gugatan tentang batas usia pensiun bagi prajurit TNI yang diajukan tujuh orang tersebut. “Iya, kan UU sebelumnya pernah ada uji materi. MK harusnya konsisten dengan putusan sebelumnya,” kata Ghufron kepada SINDOnews, Kamis (21/9/2023).
Ghufron juga merespons wacana perpanjangan masa dinas Panglima TNI Laksamana Yudo Margono yang akan memasuki usia pensiun pada November mendatang bergulir belakangan ini. Dia sekaligus merespons pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyatakan bahwa perpanjangan tersebut sebagai salah satu opsi yang dipertimbangkan.
Sebelumnya, kata dia, Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid juga mengungkapkan bahwa baik pergantian maupun perpanjangan usia pensiun Panglima TNI merupakan opsi yang terbuka. “Imparsial memandang, proses perpanjangan masa usia pensiun Panglima TNI merupakan langkah yang bertentangan dengan hukum (inkonstitusional) dan tidak memiliki urgensi untuk dilakukan saat ini,” ujarnya.
Dia menuturkan, Pasal 53 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI menyatakan bahwa usia pensiun bagi perwira TNI adalah 58 tahun. Dia menambahkan, ketentuan tersebut tidak memungkinkan dibukanya opsi perpanjangan masa usia pensiun perwira, termasuk dalam hal ini Panglima TNI.
“Dalam konteks itu, menjadi sebuah keharusan bagi Presiden untuk tetap menjadikan UU TNI sebagai acuan hukum dalam pergantian Panglima TNI. Jangan memaksakan sebuah kebijakan yang bertentangan dengan hukum dan berdampak pada dinamika internal TNI,” jelasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, perpanjangan usia pensiun perwira TNI hanya bisa dilakukan melalui perubahan terhadap Pasal 53 UU TNI yang dapat dilakukan melalui dua cara; yaitu melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atau proses revisi di DPR. “Meski ada kemungkinan lain, yakni melalui Perppu, namun jelas-jelas saat ini tidak ada kegentingan yang memaksa sebagai prasyarat Presiden mengeluarkan Perppu untuk merevisi Pasal 53 UU TNI,” ungkapnya.
Terkait uji materi Pasal 53 UU TNI terkait usia pensiun perwira TNI di Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro beserta sejumlah purnawirawan lainnya, Imparsial mencatat bahwa uji materi tersebut adalah untuk yang kedua kalinya dilakukan.
“Sebelumnya, permohonan dengan substansi yang sama pernah juga dilakukan oleh Letkol (Purn) Euis Kurniasih bersama lima orang lainnya dan Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan tersebut dengan alasan bahwa hal itu merupakan kebijakan yang bersifat terbuka (open legal policy) yang tidak bisa ditentukan oleh MK,” ungkapnya.
Sementara itu, kata dia, jika melihat daftar Prolegnas 2023, tidak ada pembahasan terkait revisi UU TNI yang sedang berlangsung di DPR. Dikatakannya, wacana revisi terhadap UU TNI memang sudah muncul tetapi masih dalam tahap pembahasan di internal TNI (pemerintah) itu sendiri.
“Untuk itu, cukup aneh bagi Kababinkum TNI yang saat ini mengajukan Judicial Review usia pensiun perwira TNI ke MK, tetapi di sisi lain ia juga memproses revisi terhadap UU TNI yang salah satu substansinya terkait usia pensiun prajurit TNI. Kuat dugaan bahwa tujuan Judicial Review tersebut ditengarai untuk memperpajang masa jabatan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono,” kata Ghufron.
Imparsial menilai tidak ada urgensi bagi Presiden untuk memperpanjang masa usia pensiun Panglima TNI Laksamana Yudo Margono. Dia menjelaskan, penyelenggaraan Pemilu 2024 bukanlah alasan yang tepat untuk digunakan sebagai dasar bagi Presiden untuk melakukan perpanjangan tersebut.
“Penting dicatat, pergantian Panglima TNI harus dipandang sebagai proses yang biasa dan tidak berkaitan secara langsung dengan proses penyelenggaraan pemilu. Apalagi mekanisme pergantian Panglima TNI sudah dibentuk dan TNI sendiri secara internal sudah memiliki sistem yang baku dan telah dijalankan selama ini,” kata dia.
Imparsial mendesak ketimbang berpolemik dengan perpanjangan masa usia pensiun yang tidak memiliki urgensi dan bahkan inkonstitusional jika dipaksaan saat ini, Presiden Jokowi lebih baik segera menyiapkan calon pengganti Panglima TNI Laksamana Yudo Margono. Dalam konteks pergantian tersebut, lanjut dia, menjadi penting bagi presiden untuk mempertimbangkan syarat normatif dan substantif dalam menyeleksi calon Panglima TNI ke depan.
“Syarat normatif pergantian calon Panglima TNI mengacu pada ketentuan yang telah diatur di dalam UU TNI. Pasal 13 ayat 4 UU TNI menyatakan bahwa calon Panglima TNI adalah perwira TNI aktif yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan dan dapat dijabat secara bergantian,” ucapnya.
Dia melanjutkan, syarat normatif tersebut juga harus dibarengi dengan syarat substantif, yaitu dengan menyeleksi calon Panglima TNI dari aspek komitmen dan visi-misi dalam pembangunan TNI sebagai alat pertahanan negara yang profesional, termasuk juga mencermati rekam jejaknya yang bebas dari dugaan keterlibatan dalam kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM, praktik korupsi, dan tindak pidana berat lainnya.
Dia menegaskan, calon Panglima TNI ke depan juga harus memiliki komitmen untuk melanjutkan agenda reformasi TNI. Lebih dari itu, sambung dia, Presiden Jokowi harus menghindari pertimbangan yang sifatnya politis dalam pergantian Panglima TNI ke depan.
“Hal ini menjadi penting terutama di tengah kontestasi politik elektoral 2024 di mana calon Panglima TNI yang baru diharapkan mampu menjaga soliditas, netralitas, dan profesionalisme prajurit,” pungkasnya.
Hal senada juga dikatakan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar. “Sebelumnya kan pernah ada ya, itu juga ditolak itu kan, dan MK juga sudah mengatakan itu bagian dari open legal policy pada dasarnya. Ini juga seharusnya MK bisa konsisten dengan putusan sebelumnya,” kata Wahyudi Djafar.
“Ya itu diserahkan kepada pembentuk UU, karena itu open legal policy kan itu wilayahnya DPR dan presiden untuk menentukan berapa sih usia pensiun yang tepat bagi prajurit TNI, MK mestinya konsisten dengan putusan sebelumnya,” pungkasnya.
Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi memprediksi MK akan menyatakan pokok permohonan gugatan tersebut nebis in idem" (perkara sudah diputus sebelumnya). “Sudah pernah diuji sebelumnya - nebis in idem,” kata politikus Partai Golkar ini.
Dia pun berharap tidak ada perubahan siginifikan dalam organisasi TNI memasuki tahun pemilu ini. “Karena biasanya pergantian Panglima TNI diiringi dengan perubahan di bawahnya (mutasi-rotasi) dalam 100 hari pertama,” kata Bobby.
“Tapi karena masa pensiun panglima berakhir bulan Desember ini, sesuai UU harus dilakukan pergantian, kecuali ada Perppu, atau keputusan MK yang mendukung, atau revisi UU-nya,” pungkasnya.
Lihat Juga: Letjen TNI yang Belum Genap Sebulan Duduki Jabatan Baru, Nomor 5 dan 6 Peraih Adhi Makayasa
(rca)