Konflik Pulau Rempang, Pakar Hukum: Perlu Penelusuran Riwayat Tanah Melalui Sejarah

Selasa, 19 September 2023 - 12:30 WIB
loading...
A A A
"Pendudukan oleh masyarakat Pulau Rempang tidak serta-merta menjadikan masyarakat tersebut menjadi pemilik tanah dimaksud. Terhadap hal pendudukan ini, harus ada kebijakan khusus dan tidak harus dipertahankan seperti Kampung Tua di tempat lain," jelasnya.

Dilanjutkannya, model penyelesaian sengketa penguasaan tanah antara masyarakat dan BP Batam harus diawali dengan penelusuran riwayat tanah melalui sejarah, cagar budaya, tanda-tanda fisik alam seperti usia pohon atau tanaman keras yang ditanam, pengakuan dan kesaksian masyarakat serta lembaga adat.

Surat Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan Kementerian Sekretariat Negara Nomor B.2593/Kemensetneg/D-3/DM.05/05/2015 tanggal 12 Mei 2015 merupakan jawaban terhadap surat tuntutan masyarakat Kampung Tua kepada Presiden.

"Inti surat ini memerintahkan Gubernur Kepulauan Riau, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Kepulauan Riau, dan Kepala Badan Pengusahaan Batam untuk membuat kajian dalam rangka penyelesaian," paparnya.

Sementara, Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menduga ada tumpang tindih terkait dengan kepemilikan lahan sehingga mengakibatkan konflik agraria di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.

Agus pun meminta agar Kementerian ATR/BPN bisa memperbaiki data terkait dengan kepemilikan lahan di Pulau Rempang yang diduga ada tumpang tindih.

"Saya curiga setelah adanya rencana pengembangan Pulau Rempang di tahun 2.000-an, kemudian banyak yang mencari tanah di sana dan dikasih surat sehingga kepemilikannya pun tumpang tindih. Nah ini yang harus dirapikan oleh pihak ATR/BPN," ujar Agus.

Ia mengatakan bahwa perencanaan adanya proyek di Pulau Rempang memang sudah sejak lama sekitar tahun 2000-an. Namun, proyek tersebut tak kunjung digarap dan lahan pun dibiarkan begitu saja sehingga dijadikan tempat pemukiman masyarakat.

"Tapi perlu kita ketahui, di Indonesia mayoritas itu kepemilikan tanahnya itu kurang jelas, karena dari awal dulu surat menyurat itu mereka nggak punya, karena itu tanah negara, tapi sudah digarap ditinggali puluhan tahun begitu," kata dia.

Bahkan, Agus menyebut bahwa secara legal tak ada peraturan yang mengharuskan pemerintah melakukan ganti rugi terhadap tanah milik negara yang ditinggali masyarakat. "Karena dalam peraturan kalau tanah milik negara kayak HGB dan sebagainya kalau diminta negara ya harus pergi," katanya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1186 seconds (0.1#10.140)