Mengurai Problem Pendirian Rumah Ibadah

Kamis, 14 September 2023 - 15:47 WIB
loading...
Mengurai Problem Pendirian Rumah Ibadah
Foto: Istimewa
A A A
Abu Rokhmad Musaki
Staf Ahli Menteri Agama Bidang Hukum dan HAM

“TATA negara yang bernama Indonesia yang memiliki ciri kodrati keberagaman, kebhinekaan, dan pluralitas, (saya mempunyai mimpi untuk) membangun suatu kemerdekaan bagi seluruh warganya supaya mereka (dapat) beribadah sesuai dengan keyakinannya. Keperbedaan yang dimiliki Indonesia ini (dapat) menjadi Kompas bagi toleransi di dunia.” ( Yaqut Cholil Qoumas , Menag RI dalam Indonesia Raya KompasTV, 9/9/2023).

baca juga: Penjelasan MUI Terkait Niat Menag Permudah Pendirian Rumah Ibadah

Majalah Tempo (11-17 September 2023) menurunkan laporan cukup panjang soal pendirian rumah ibadah (halaman 20, 60-65). Tempo bermaksud mengkritisi Raperpres tentang Pemeliharaan Umat Beragama yang sekarang memasuki tahap akhir pembahasan.

Ulasan Tempo menggunakan perspektif kebebasan sipil semata, tanpa mengapresiasi sedikitpun peran pemerintah dalam upaya menjamin dan memenuhi hak umat beragama untuk mendirikan rumah ibadah. Upaya Tempo mengetengahkan kasus-kasus pendirian rumah ibadah di beberapa daerah merupakan cermin buram yang harus diakui. Tetapi berbagai ikhtiar yang telah, sedang dan akan terus dilakukan oleh pemerintah semestinya dihargai.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama , berupaya melakukan berbagai terobosan untuk mengurai persoalan tempat ibadah. Misalnya, umat beragama yang belum memilik rumah ibadah dengan berbagai alasan, dapat menggunakan kantor pemerintah sebagai tempat ibadah sementara.

Pemerintah juga sedang mendorong Rapepres tentang Pemeliharaan Umat Beragama sebagai pengganti PBM Nomor 8 dan 9 Tahun 2009 agar segera disahkan. Tujuannya untuk penguatan status hukum dan penyempurnaan substansi tertentu yang dipandang masih menjadi ganjalan bagi pendirian rumah ibadah.

baca juga: Jokowi Tegaskan Konstitusi Tidak Boleh Kalah dengan Kesepakatan soal Pendirian Rumah Ibadah

Raperpres ini merupakan aspirasi banyak pihak. Pada saatnya nanti, keberadaannya harus didukung sehingga dapat menjadi pedoman bersama bagi penyelenggaraan kehidupan umat beragama yang rukun dan damai.

Perpres dipandang sebagai regulasi yang masuk akal karena relatif cepat prosesnya, sebelum ada UU sendiri yang khusus mengatur agama. Sebagaimana diketahui, Pasal 29 UUD NRI belum memiliki UU turunan yang mengatur dan menjamin kebebasan menjalankan agama dan keyakinan.

Menjaga Keseimbangan

Pembahasan Raperpres memakan waktu cukup lama dan melibatkan hampir semua stakeholder. Ormas keagamaan, majelis agama, pemerintah, NGO dan penghayat kepercayaan berpartisipasi aktif membahas dan mendiskusikan substansi Raperpres ini.

Pada mulanya, Raperpres hanya mengatur soal penguatan FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) di semua tingkatan. Tetapi dengan berbagai pertimbangan, substansi pendirian rumah ibadah harus diboyong juga ke dalam Raperpres. Dengan catatan, tidak melakukan perubahan yang fundamental dalam pengaturan pendirian rumah ibadah.

Aturan pendirian rumah ibadah tidak berubah mengingat masih relevan dengan kebutuhan masyarakat dan disepakati oleh majelis agama, termasuk aturan 60/90 itu. Dukungan minimal 60 orang warga sekitar dan pengguna rumah ibadah minimal 90 orang pemeluk, merupakan wujud nyata perlunya didirikan rumah ibadah.

Di tengah keinginan dan persaingan untuk mendirikan rumah ibadah, pengaturan nominal pengguna tidak dapat dihindari. Persetujuan warga sekitar—yang akan menerima dampak langsung aktivitas Jemaah—masuk akal diperhitungkan.

Formula 60/90 harus dipahami sebagai pengaturan dan bukan pembatasan agar pendirian tempat ibadah berlangsung tertib, rukun dan damai. Tanpa pengaturan seperti ini, perlombaan pendirian rumah ibadah sangat mungkin terjadi. Atas nama hak asasi manusia, setiap tokoh agama dan beserta jemaahnya yang jumlahnya mungkin tidak seberapa bisa mendirikan rumah ibadah di mana saja.

baca juga: Permudah Izin Pendirian Rumah Ibadah, Langkah Menag Dinilai Lebih Maju Dibanding SKB 2 Menteri

Tidak terbayangkan bila keinginan satu kelompok mendirikan rumah ibadah berbenturan dengan keinginan kelompok lain yang tidak menghendaki adanya rumah ibadah tersebut. Pemenuhan ketentuan ini hendaknya tidak dipandang sebagai mempersulit pendirian rumah ibadah.

Sebab, pandangan ini akan mendorong rasa tidak puas, konflik dengan sesama umat dan cenderung menyalahkan pemerintah. Sebaliknya, pemenuhan aturan 60/90 semestinya dipandang sebagai upaya menyadarkan umat beragama agar setiap pemeluk agama dimudahkan untuk meniti jalan kebaikan dan mendekat kepada Tuhan YME.

Raperpres ini tidak sesuram yang digambarkan. Di dalam regulasi ini juga ada optimisme bagi kemudahan mendirikan rumah ibadah. Peran FKUB dikembalikan pada fungsinya yang utama. Pada aturan sebelumnya, salah satu kewenangan FKUB adalah mengeluarkan rekomendasi pendirian rumah ibadah.

Setelah dilakukan evaluasi, beberapa oknum pengurus FKUB Kabupaten/Kota menyalahgunakan kewenangannya untuk mengganjal rekomendasi pendirian rumah ibadah. Karena itu, untuk mendirikan rumah ibadah, rekomendasinya cukup berasal dari Kakankemenag Kabupaten/Kota saja.

Pembentukan FKUB Pusat merupakan usulan dari banyak pihak, termasuk FKUB daerah. Alasannya cukup logis. Keberadaan FKUB daerah membutuhkan konsolidasi, koordinasi dan konsultasi dengan FKUB di atasnya. Pembentukan FKUB Pusat juga harus dimaknai sebagai penguatan FKUB dan pengokohan tata kelola kerukunan umat beragama.

Pembentukan FKUB Pusat hendaknya tidak dimaknai sebagai upaya dominasi dan kooptasi atas FKUB Daerah atau untuk memperpanjang birokrasi. Jika itu yang terjadi, saya yakin, Menteri Agama RI, Yaqut Cholil Qoumas, orang pertama yang tidak setuju dengan keberadaan FKUB Pusat.

Kompleksitas Persoalan

Masalah pendirian rumah ibadah cukup kompleks dan tidak bisa disederhanakan hanya soal regulasi saja. Regulasi, sebagaimana teorinya, sebenarnya menyelesaikan persoalan. Kesadaran dan kedewasaan umat beragama untuk mendirikan atau tidak mendirikan rumah ibadah juga hal lain yang mesti diperhatikan.

Secara umum, persoalan pendirian rumah ibadah, bermuara pada dua hal. Pertama, regulasi belum dipenuhi oleh pengusul. Dalam Perpres ini yang merupakan penguatan dari PBM 9/8 Tahun 2006, pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis bangunan gedung dan persyaratan khusus.

Jika persyaratan ini belum dipenuhi, dipastikan akan menjadi masalah. Jika ada masalah, bukan berarti umat beragama tidak bisa beribadah. Kantor Kemenag RI atau kantor Pemda bisa digunakan untuk tempat ibadah sementara. Dengan demikian, hak untuk beribadah tetap bisa dipenuhi oleh masyarakat.

baca juga: Tegas! TGB Tolak Rumah Ibadah jadi Panggung Politik

Kedua, perlu direm nafsu membangun rumah ibadah tanpa memperhatikan kebutuhan nyata umat. Dapat dimaklumi bahwa keberadaan rumah ibadah sangat penting bagi umat beragama.

Rumah ibadah bukan hanya simbol tetapi juga kebanggaan dan eksistensi umat. Pendirian rumah ibadah merupakan perintah agama. Wajar jika setiap umat beragama, bahkan secara perorangan sekalipun, pasti ingin memiliki rumah ibadah sendiri.

Tetapi, apakah bijak kalau semua keinginan tersebut dituruti? Bukankah rumah ibadah menempati ruang sosial yang membutuhkan konsensus bersama agar kehidupan umat beragama tetap aman dan damai. Rumah ibadah adalah rumah kebaikan dan kemaslahatan, baik bagi bangsa maupun bagi umat beragama sendiri.

Raperpres ini merupakan ikhtiar untuk kemaslahatan bangsa, merawat sikap toleransi dan saling hormat-menghormati serta mewujudkan kerukunan umat beragama. Sekalipun sudah dibahas serius dan disusun dengan niat mulia, sangat mungkin masih ditemukan hal-hal yang tidak ideal.

Tentu saja, hal-hal yang tidak ideal itu bukan bersifat hitam-putih atau benar-salah. Terbuka ruang dialog dengan berbagai perspektif untuk meyakinkan publik mana yang paling mendekati maslahat untuk bangsa ini.
(hdr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1071 seconds (0.1#10.140)