MK Tolak Judicial Review UU Kejaksaan: Pokok Permohonan Tidak Beralasan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan judicial review Undang-Undang (UU) tentang Kejaksaan terkait perkara soal pengangkatan Jaksa Agung dimana calon wajib mengikuti uji kelayakan. Perkara Nomor 30/PUU-XXI/2023 itu ditolak lantaran dinilai tidak beralasan.
"Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum untuk seluruh. Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Anwar Usman saat memimpin sidang putusan di Gedung MA, Jakarta Pusat, Selasa, (15/8/2023).
Diketahui, perkara tersebut digugat oleh Jovi Andrea Bachtiar yang berprofesi sebagai Analis Penuntutan/Calon Jaksa pada Kejaksaan Negeri Tojo Una-Una, Wakai.
Pada sidang terdahulu, Pemohon meminta agar Mahkamah memberikan tafsir konstitusional untuk memperbaiki definisi Penuntut Umum dalam Pasal 1 angka 3 UU Kejaksaan agar mencakup juga Jaksa Agung selain jaksa yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sebab, bisa saja seorang Jaksa Agung merupakan pensiunan jaksa yang tidak lagi berstatus PNS.
Dengan demikian, norma a quo nantinya diharapkan tidak lagi bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UU Kejaksaan. Berikutnya, Pemohon juga memohonkan agar MK memberikan tafsir tentang pengangkatan Jaksa Agung yang tidak disertai oleh adanya fit and proper test di DPR RI yang menjadi bagian dari penerapan check and balances.
Hal ini dapat berakibat pada gangguan independensi Kejaksaan Agung sebagai penegak hukum di Indonesia. Menurut Pemohon, Pasal 20 UU Kejaksaan membuka ruang kesempatan dengan sangat mudah bagi seseorang yang tidak pernah mengalami berbagai hal dan tahapan proses sebagai jaksa untuk menjadi Jaksa Agung.
Padahal, kisah Yovi, Pemohon sendiri telah bersusah payah merintis karier sebagai seorang Analis Penuntutan selama 1-2 tahun dan mengikuti program Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) selama berbulan-bulan agar dapat diangkat sebagai seorang jaksa.
Sehingga norma tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar MK menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 3, Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 21 UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945.
"Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum untuk seluruh. Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Anwar Usman saat memimpin sidang putusan di Gedung MA, Jakarta Pusat, Selasa, (15/8/2023).
Diketahui, perkara tersebut digugat oleh Jovi Andrea Bachtiar yang berprofesi sebagai Analis Penuntutan/Calon Jaksa pada Kejaksaan Negeri Tojo Una-Una, Wakai.
Pada sidang terdahulu, Pemohon meminta agar Mahkamah memberikan tafsir konstitusional untuk memperbaiki definisi Penuntut Umum dalam Pasal 1 angka 3 UU Kejaksaan agar mencakup juga Jaksa Agung selain jaksa yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sebab, bisa saja seorang Jaksa Agung merupakan pensiunan jaksa yang tidak lagi berstatus PNS.
Dengan demikian, norma a quo nantinya diharapkan tidak lagi bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UU Kejaksaan. Berikutnya, Pemohon juga memohonkan agar MK memberikan tafsir tentang pengangkatan Jaksa Agung yang tidak disertai oleh adanya fit and proper test di DPR RI yang menjadi bagian dari penerapan check and balances.
Hal ini dapat berakibat pada gangguan independensi Kejaksaan Agung sebagai penegak hukum di Indonesia. Menurut Pemohon, Pasal 20 UU Kejaksaan membuka ruang kesempatan dengan sangat mudah bagi seseorang yang tidak pernah mengalami berbagai hal dan tahapan proses sebagai jaksa untuk menjadi Jaksa Agung.
Padahal, kisah Yovi, Pemohon sendiri telah bersusah payah merintis karier sebagai seorang Analis Penuntutan selama 1-2 tahun dan mengikuti program Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) selama berbulan-bulan agar dapat diangkat sebagai seorang jaksa.
Baca Juga
Sehingga norma tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar MK menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 3, Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 21 UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945.
(kri)