Generasi Muda Unggul Jadi Modal Wujudkan Indonesia Emas 2045
loading...
A
A
A
JAKARTA - Generasi muda dinilai merupakan tumpuan peradaban bangsa yang harus menjadi generasi unggul dalam menjawab tantangan kemajuan zaman, juga dalam melawan penyebaran intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Generasi unggulan ini akan menjadi modal Indonesia dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 .
Pendakwah sekaligus pegiat sosial media, Habib Husein Jafar Al Hadar menjelaskan, intoleransi bisa sangat berdampak dalam menentukan apakah Indonesia nantinya akan sukses atau tidak saat menapak di usia 1 Abad Republik Indonesia (RI).
"Dampak dari intoleransi, ketika anak muda Indonesia yang saat ini menjadi bonus demografi atau mayoritas dari populasi penduduk, yaitu sekitar 63%, maka bonus demografi itu akan berubah menjadi bencana demografi kalau tidak bisa dimanfaatkan dengan baik," ujar Habib Jafar, saapan akrabnya, di Jakarta, Senin (7/8/2023).
Habib Jafar mengutip buku karya seorang Indonesianis bernama Benedict Anderson berjudul Revolusi Pemuda. Dalam buku itu disebutkan, pemuda selalu berperan utama dan penting dalam penyelesaian masalah-masalah bangsa sejak sebelum maupun sesudah kemerdekaan.
Selain itu, dalam buku juga diungkap peran utama dan penting serta mendasar pemuda dalam memerdekakan bangsa dan memastikan kemerdekaan bangsa dengan diisi hal-hal yang positif.
Menurut Habib Jafar, bonus demografi yang dirasakan Indonesia harus dikelola dengan benar agar dapat menjadi kelebihan dan bukan menjadi beban. Selain itu, bangsa Indonesia perlu mengambil pelajaran dari negara-negara lain, baik yang berhasil maupun gagal.
Contohnya Afrika Selatan, mereka tidak bisa memanfaatkan bonus demografinya dengan baik, sehingga banyak generasi muda di sana justru menjadi bencana demografi. Contoh yang sukses adalah Korea Selatan, mereka sukses mengelola anak mudanya hingga menjadi bonus demografi yang menguntungkan.
"Kalau Indonesia gagal mengelola anak muda ini yang jumlahnya 2/3 dari populasi rakyat keseluruhan, kita akan gagal mendapatkan manfaat dari bonus demografi tersebut," katanya.
Habib Jafar lalu membayangkan, begitu banyak anak muda, tapi justru menjadi beban negatif dan destruktif bagi bangsanya, apalagi di bidang intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Kondisi itu sangat berbahaya. Jangankan dalam jumlah yang banyak, satu anak muda saja yang terpapar intoleransi, radikalisme, atau terorisme itu bisa sangat mengerikan.
"Kalau dia sampai melakukan tindakan teror, misalnya melakukan pemboman, itu akan menjadi isu yang buruk dan kemudian akan berdampak buruk. Banyak hal bisa terdampak, seperti kepercayaan dunia kepada Indonesia, ekonomi negara, psikologi masyarakat, dan termasuk tercorengnya agama dari si teroris tersebut di mata orang lain," katanya.
Ia mengajak generasi muda mencontoh para sahabat nabi yang kala itu termasuk golongan anak muda tetapi sudah bisa memberikan kontribusi bagi negaranya. Misalnya, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, karena ketangkasannya dalam perang dan kecerdasannya dalam keilmuan, dia unggul dalam pengembangan keilmuan serta kemiliteran, hingga kemudian menjadi khalifah keempat umat Islam.
"Begitu juga Sayyidina Zaid bin Tsabit yang unggul dalam keilmuan, hingga beliau diangkat menjadi penulis wahyu. Sayyidina Ibnu Abbas yang juga unggul dalam keilmuan, beliau lalu diangkat menjadi penafsir pertama dalam Islam," katanya.
Habib Jafar menambahkan, kalangan muda dari perempuan di zaman Rasulullah juga ikut memberikan kontribusi terhadap perkembangan negara dan agamanya. Salah satunya Sayyidina Aisyah RA yang unggul dalam keilmuan dan kemudian menjadi salah satu periwayat hadis terbanyak. Bahkan beberapa hadis spesial hanya bisa kita dengar dari Sayyidina Aisyah, karena hadis-hadis itu terkait hubungan Nabi dengan Sayyidina Aisyah sebagai istrinya.
Ia menyadari potensi masing-masing individu muda berbeda-beda. Namun hal tersebut bukanlah alasan untuk tidak memberikan kontribusi kepada bangsa sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.
"Kita di Indonesia, sebagai umat Islam dari kalangan anak muda seharusnya melihat apa yang kita miliki sebagai potensi untuk kita aktualisasikan sebagai kontribusi bagi bangsa, agama, kemanusiaan, dan perdamaian," kata Habib Jafar.
Pendakwah sekaligus pegiat sosial media, Habib Husein Jafar Al Hadar menjelaskan, intoleransi bisa sangat berdampak dalam menentukan apakah Indonesia nantinya akan sukses atau tidak saat menapak di usia 1 Abad Republik Indonesia (RI).
"Dampak dari intoleransi, ketika anak muda Indonesia yang saat ini menjadi bonus demografi atau mayoritas dari populasi penduduk, yaitu sekitar 63%, maka bonus demografi itu akan berubah menjadi bencana demografi kalau tidak bisa dimanfaatkan dengan baik," ujar Habib Jafar, saapan akrabnya, di Jakarta, Senin (7/8/2023).
Habib Jafar mengutip buku karya seorang Indonesianis bernama Benedict Anderson berjudul Revolusi Pemuda. Dalam buku itu disebutkan, pemuda selalu berperan utama dan penting dalam penyelesaian masalah-masalah bangsa sejak sebelum maupun sesudah kemerdekaan.
Selain itu, dalam buku juga diungkap peran utama dan penting serta mendasar pemuda dalam memerdekakan bangsa dan memastikan kemerdekaan bangsa dengan diisi hal-hal yang positif.
Menurut Habib Jafar, bonus demografi yang dirasakan Indonesia harus dikelola dengan benar agar dapat menjadi kelebihan dan bukan menjadi beban. Selain itu, bangsa Indonesia perlu mengambil pelajaran dari negara-negara lain, baik yang berhasil maupun gagal.
Contohnya Afrika Selatan, mereka tidak bisa memanfaatkan bonus demografinya dengan baik, sehingga banyak generasi muda di sana justru menjadi bencana demografi. Contoh yang sukses adalah Korea Selatan, mereka sukses mengelola anak mudanya hingga menjadi bonus demografi yang menguntungkan.
"Kalau Indonesia gagal mengelola anak muda ini yang jumlahnya 2/3 dari populasi rakyat keseluruhan, kita akan gagal mendapatkan manfaat dari bonus demografi tersebut," katanya.
Habib Jafar lalu membayangkan, begitu banyak anak muda, tapi justru menjadi beban negatif dan destruktif bagi bangsanya, apalagi di bidang intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Kondisi itu sangat berbahaya. Jangankan dalam jumlah yang banyak, satu anak muda saja yang terpapar intoleransi, radikalisme, atau terorisme itu bisa sangat mengerikan.
"Kalau dia sampai melakukan tindakan teror, misalnya melakukan pemboman, itu akan menjadi isu yang buruk dan kemudian akan berdampak buruk. Banyak hal bisa terdampak, seperti kepercayaan dunia kepada Indonesia, ekonomi negara, psikologi masyarakat, dan termasuk tercorengnya agama dari si teroris tersebut di mata orang lain," katanya.
Ia mengajak generasi muda mencontoh para sahabat nabi yang kala itu termasuk golongan anak muda tetapi sudah bisa memberikan kontribusi bagi negaranya. Misalnya, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, karena ketangkasannya dalam perang dan kecerdasannya dalam keilmuan, dia unggul dalam pengembangan keilmuan serta kemiliteran, hingga kemudian menjadi khalifah keempat umat Islam.
"Begitu juga Sayyidina Zaid bin Tsabit yang unggul dalam keilmuan, hingga beliau diangkat menjadi penulis wahyu. Sayyidina Ibnu Abbas yang juga unggul dalam keilmuan, beliau lalu diangkat menjadi penafsir pertama dalam Islam," katanya.
Habib Jafar menambahkan, kalangan muda dari perempuan di zaman Rasulullah juga ikut memberikan kontribusi terhadap perkembangan negara dan agamanya. Salah satunya Sayyidina Aisyah RA yang unggul dalam keilmuan dan kemudian menjadi salah satu periwayat hadis terbanyak. Bahkan beberapa hadis spesial hanya bisa kita dengar dari Sayyidina Aisyah, karena hadis-hadis itu terkait hubungan Nabi dengan Sayyidina Aisyah sebagai istrinya.
Ia menyadari potensi masing-masing individu muda berbeda-beda. Namun hal tersebut bukanlah alasan untuk tidak memberikan kontribusi kepada bangsa sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.
"Kita di Indonesia, sebagai umat Islam dari kalangan anak muda seharusnya melihat apa yang kita miliki sebagai potensi untuk kita aktualisasikan sebagai kontribusi bagi bangsa, agama, kemanusiaan, dan perdamaian," kata Habib Jafar.
(abd)