Indonesia Siap Hadiri KTT Perubahan Iklim di Dubai
loading...
A
A
A
JAKARTA - Conference of the Parties (COP) ke-28 atau Konferensi Para Pihak anggota The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim akan segera dilangsungkan di Dubai, Persatuan Emirat Arab. Pelaksanaan kegiatan tersebut dilakukan pada akhir bulan November tahun ini.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) bidang Perubahan Iklim di Dubai ini menjadi momentum penting bagi seluruh Pihak dalam aksi pengendalian peningkatan suhu bumi global dan sebagai peluang utama untuk fokus pada agenda iklim melalui course correct di adaptasi, pendanaan iklim, dan loss and damage.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya mengatakan, bahwa suasana COP28 diiringi dengan persoalan dunia yaitu Triple planetary crisis yang meliputi perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
"Persoalan tersebut menjadi tantangan global yang sedang dihadapi saat ini dan memerlukan kolaborasi serta kerja sama baik bilateral maupun multilateral guna mempertahankan masa depan yang tetap layak-huni yaitu planet Bumi," kata Menteri Siti dalam keterangannya, Minggu (6/8/2023).
Ketiga persoalan itu kata Menteri Siti, bila didalami maka ultimate masalahnya adalah indikasi kerusakan atmosfir baik dengan simpton hilangnya biodiversity, ataupun dahsyatnya polusi.
"Yang ujungnya adalah kerusakan atmosfir, dengan peningkatan emisi gas rumah kaca di tingkat global dan terjadinya perubahan iklim," ucap Menteri Siti.
Menteri Siti menegaskan, selama rentang hampir 9 tahun ini, sejak 2015, Indonesia terus berkomitmen untuk melakukan upaya penurunan emisi GRK dan menyampaikan berbagai dokumen wajib ke Sekretariat UNFCCC.
"Antara lain Third National Communication, 2nd dan 3rd Biennial Update Report, First Nationally Determined Contribution (1st NDC), Updated NDC, dan Strategi Jangka Panjang Pembangunan Rendah Karbon Berketahanan Iklim 2050 (Long Term Strategy Low Carbon and Climate Resilience 2050)," jelasnya.
Dirinya menerangkan, sebagaimana hasil perundingan sejak di Glasgow tahun 2021, Para Negara Pihak diminta untuk memperkuat target NDC 2030, di akhir 2022.
"Pada 23 September 2022 yang lalu, Indonesia menyampaikan Enhanced Nationally Determined Contribution atau ENDC ke Sekretariat UNFCCC, dengan mempertajam target reduksi emisi GRK dari 29 persen menjadi 31,89 persen dengan kekuatan nasional, dan dari 41 persen menjadi 43,20 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030," terang Menteri Siti.
Berdasarkan laporan IPCC, sains memberi tahu kita bahwa dunia harus mengurangi emisi sebesar 45 persen pada tahun 2030 dan mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050.
Namun, menurut komitmen NDC dari Para Pihak yang dikompilasi UNFCCC tahun 2022 emisi global akan meningkat hampir 14 persen selama dekade ini, dan data UNFCCC tahun 2023 memperlihatkan kebijakan saat ini membawa dunia ke kenaikan suhu 2,8°C pada akhir abad ini.
Bahkan, baru sebulan lalu, dunia memecahkan rekor suhu udara permukaan rata-rata global harian selama 4 hari berturut-turut pada tanggal 3 hingga 6 Juli 2023. Semua hari sejak saat itu menjadi lebih panas dari rekor sebelumnya yaitu 16,80°C yang ditetapkan pada 13 Agustus 2016.
Hari terpanas terjadi pada 6 Juli 2023, ketika suhu rata-rata global mencapai 17,08°C, dan nilai yang tercatat pada 5 dan 7 Juli 2023 berada dalam kisaran 0,01°C.
Untuk itu, meski pada Persetujuan Paris 2015 disepakati untuk membatasi pemanasan global 1,5°C hingga 2°, dibandingkan dengan tingkat pra-industri, yang perlu dicapai pada atau sekitar pertengahan abad ini, maka Dunia khususnya Negara Pihak UNFCCC dan Paris Agreement harus meningkatkan target penurunan emisinya untuk mendukung pencapaian pembatasan suhu global benar-benar firm hanya 1,5°C guna menutup gap emisi global.
Menteri Siti mengharapkan, Paviliun Indonesia pada COP28 nanti mampu merefleksikan kepentingan Indonesia dengan tetap memperhatikan dan mendukung pilihan tema Presidensi Uni Emirat Arab.
"Paviliun Indonesia juga menjadi wahana diplomasi pada subyek-subyek dan antara lain pada subyek dalam situasi yang masih mengandung tension yang bisa dibawa dalam suasana yang friendly dan gembira," tutupnya.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) bidang Perubahan Iklim di Dubai ini menjadi momentum penting bagi seluruh Pihak dalam aksi pengendalian peningkatan suhu bumi global dan sebagai peluang utama untuk fokus pada agenda iklim melalui course correct di adaptasi, pendanaan iklim, dan loss and damage.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya mengatakan, bahwa suasana COP28 diiringi dengan persoalan dunia yaitu Triple planetary crisis yang meliputi perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
"Persoalan tersebut menjadi tantangan global yang sedang dihadapi saat ini dan memerlukan kolaborasi serta kerja sama baik bilateral maupun multilateral guna mempertahankan masa depan yang tetap layak-huni yaitu planet Bumi," kata Menteri Siti dalam keterangannya, Minggu (6/8/2023).
Ketiga persoalan itu kata Menteri Siti, bila didalami maka ultimate masalahnya adalah indikasi kerusakan atmosfir baik dengan simpton hilangnya biodiversity, ataupun dahsyatnya polusi.
"Yang ujungnya adalah kerusakan atmosfir, dengan peningkatan emisi gas rumah kaca di tingkat global dan terjadinya perubahan iklim," ucap Menteri Siti.
Menteri Siti menegaskan, selama rentang hampir 9 tahun ini, sejak 2015, Indonesia terus berkomitmen untuk melakukan upaya penurunan emisi GRK dan menyampaikan berbagai dokumen wajib ke Sekretariat UNFCCC.
"Antara lain Third National Communication, 2nd dan 3rd Biennial Update Report, First Nationally Determined Contribution (1st NDC), Updated NDC, dan Strategi Jangka Panjang Pembangunan Rendah Karbon Berketahanan Iklim 2050 (Long Term Strategy Low Carbon and Climate Resilience 2050)," jelasnya.
Dirinya menerangkan, sebagaimana hasil perundingan sejak di Glasgow tahun 2021, Para Negara Pihak diminta untuk memperkuat target NDC 2030, di akhir 2022.
"Pada 23 September 2022 yang lalu, Indonesia menyampaikan Enhanced Nationally Determined Contribution atau ENDC ke Sekretariat UNFCCC, dengan mempertajam target reduksi emisi GRK dari 29 persen menjadi 31,89 persen dengan kekuatan nasional, dan dari 41 persen menjadi 43,20 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030," terang Menteri Siti.
Berdasarkan laporan IPCC, sains memberi tahu kita bahwa dunia harus mengurangi emisi sebesar 45 persen pada tahun 2030 dan mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050.
Namun, menurut komitmen NDC dari Para Pihak yang dikompilasi UNFCCC tahun 2022 emisi global akan meningkat hampir 14 persen selama dekade ini, dan data UNFCCC tahun 2023 memperlihatkan kebijakan saat ini membawa dunia ke kenaikan suhu 2,8°C pada akhir abad ini.
Bahkan, baru sebulan lalu, dunia memecahkan rekor suhu udara permukaan rata-rata global harian selama 4 hari berturut-turut pada tanggal 3 hingga 6 Juli 2023. Semua hari sejak saat itu menjadi lebih panas dari rekor sebelumnya yaitu 16,80°C yang ditetapkan pada 13 Agustus 2016.
Hari terpanas terjadi pada 6 Juli 2023, ketika suhu rata-rata global mencapai 17,08°C, dan nilai yang tercatat pada 5 dan 7 Juli 2023 berada dalam kisaran 0,01°C.
Untuk itu, meski pada Persetujuan Paris 2015 disepakati untuk membatasi pemanasan global 1,5°C hingga 2°, dibandingkan dengan tingkat pra-industri, yang perlu dicapai pada atau sekitar pertengahan abad ini, maka Dunia khususnya Negara Pihak UNFCCC dan Paris Agreement harus meningkatkan target penurunan emisinya untuk mendukung pencapaian pembatasan suhu global benar-benar firm hanya 1,5°C guna menutup gap emisi global.
Menteri Siti mengharapkan, Paviliun Indonesia pada COP28 nanti mampu merefleksikan kepentingan Indonesia dengan tetap memperhatikan dan mendukung pilihan tema Presidensi Uni Emirat Arab.
"Paviliun Indonesia juga menjadi wahana diplomasi pada subyek-subyek dan antara lain pada subyek dalam situasi yang masih mengandung tension yang bisa dibawa dalam suasana yang friendly dan gembira," tutupnya.
(maf)