Akankah Khilaf Selesai dengan Maaf?
loading...
A
A
A
David Surya, ANZIIF (Snr Assoc) CIP, SH, MH
Ricky K Margono SH MH
Maruli Tua Sinaga SH
Advokat dan Pembela di DPP Lembaga Bantuan Hukum Partai Perindo
KHILAF seringkali digunakan oleh orang yang telah melakukan hal negatif secara sembunyi-sembunyi yang kemudian menjadi viral dan mendapat cemoohan publik.
Ketika orang tersebut mengaku khilaf, tak jarang publik justru tetap melanjutkan sindiran, cemoohan dan komentar-komentar pedas karena khilaf sudah terlalu sering dan berlebihan digunakan tidak pada tempatnya atau overrated kata anak Jaksel.
Namun khilaf yang disampaikan oleh sebuah lembaga antirasuah tentu memiliki bobot yang berbeda dan layak untuk dipikirkan dan mendapat perhatian lebih dari sekedar kata khilaf yang viral-viral itu. Pantaskah diberikan maaf?
Lembaga antirasuah-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)-nampak berupaya menunjukkan jiwa besar dengan mengakui di muka umum bahwa ada kekhilafan yang dilakukan oleh para penyelidiknya dalam menetapkan status tersangka kepada dua terduga pelaku tindak pidana korupsi yang merupakan anggota TNI yang masih aktif.
Publik menyadari bahwa permintaan maaf secara terbuka oleh KPK adalah hal yang belum pernah terjadi sebelumnya dan hal ini membuat publik bertanya-tanya mengenai siapa yang berwenang dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
Dalam konferensi pers penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK pada tanggal 26 Juli 2023 di Gedung KPK, disampaikan oleh Wakil Ketua KPK bahwa aturan hukum yang mengatur kewenangan KPK dalam menetapkan status tersangka pada anggota TNI terduga pelaku tindak pidana korupsi, bersumber pada Pasal 42 Undang-Undang KPK, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Militer dan Peradilan Umum Jo Pasal 89 KUHAP.
Pasal 89 ayat 1 KUHAP mengatur apabila terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh para subjek hukum yang masuk ke dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan militer, maka lingkungan peradilan yang mengadilinya adalah lingkungan peradilan umum.
Dalam berbagai literatur dan praktik, pasal ini disebut sebagai dasar hukum untuk tindak pidana koneksitas yakni pelanggaran aturan pidana yang melibatkan terduga sipil dan terduga anggota militer secara bersama-sama.
Wakil Ketua KPK pada konferensi pers tersebut juga mengatakan proses penyidikan kasus tersebut nantinya akan dilanjutkan melalui tim gabungan dari Puspom TNI dan KPK.
Kemudian dalam konferensi pers Puspom TNI pada tanggal 28 Juli 2023, Kababinkum TNI menjelaskan bahwa setiap anggota TNI tunduk pada hukum, namun khusus militer, para anggota memiliki aturan sendiri.
Aturan itu dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997. Oleh karena itu, untuk setiap tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer, prajurit aktif itu tunduk pada UU 31/1997, selain itu juga tunduk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.
Jadi pada intinya tidak ada prajurit TNI yang kebal hukum, semua tunduk pada aturan hukum, demikian penjelasan Kababinkum TNI.
Dari permukaan nampak seolah-olah ada tumpang tindih wewenang antara KPK dengan TNI dalam menetapkan status tersangka kepada anggota TNI aktif yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Benarkah demikian ?
Namun demikian, tentu publik pantas berharap bahwa KPK dapat memperbaiki diri dari waktu ke waktu dan tidak melakukan kekhilafan lain di kesempatan lain yang tentu dapat mempengaruhi reputasi lembaga anti rasuah.
Penggunaan mekanisme koneksitas dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi sebenarnya bukan hal yang baru sepenuhnya. Pada tahun 2002, sebelum berdirinya lembaga antirasuah dan Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, telah ada Putusan Mahkamah Agung yakni Putusan Nomor 35 K/Pid/2002 yang memutus mengenai keabsahan tim penyidik koneksitas dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh mantan Menteri Pertambangan ketika itu dan perkaranya telah dihentikan pada Oktober tahun 2004.
Dalam Putusan Nomor 35 K/Pid/2002, Majelis Hakim Agung telah menjawab pertanyaan mengenai siapa yang berwenang mengkoordinasikan dan memimpin penyelidikan, penyidikan dan penuntutan seorang anggota militer yang secara bersama-sama dengan orang sipil diduga melakukan tindak pidana korupsi.
Majelis Hakim Agung dalam perkara tersebut menyatakan bahwa Tim Penyidik Koneksitas yang terdiri dari Penyidik Sipil dan Penyidik Militer yang dipimpin oleh Jaksa Agung adalah sah menurut hukum dan karena itu berhak melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penahanan.
Selain pasal-pasal aturan hukum yang telah disebutkan oleh Wakil Ketua KPK dan Kababinkum TNI dalam konferensi pers masing-masing yang dilakukan secara terpisah, maka Putusan Nomor 35 K/Pid/2002 dapat dijadikan referensi sebagai solusi atas apa yang dianggap adanya tumpang tindih wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Pembentukan tim koneksitas yang terdiri dari penyidik KPK, penyidik TNI dan dipimpin oleh Jaksa Agung dapat dipertimbangkan sebagai jalan tengah penyelesaian tumpang tindih pelaksanaan wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap anggota TNI yang diduga melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan sipil.
Pembentukan tim koneksitas tersebut selaras juga dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007 Jo. Nomor 16/PUU-X/2012 mengenai differensiasi fungsi/wewenang aparat penegak hukum (Kejaksaan dengan Kepolisian) yang oleh Majelis Hakim Konstitusi telah ditegaskan bahwa Kejaksaan juga secara sah memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dan juga penuntutan.
Mahkamah Konstitusi menilai bahwa eksistensi differensiasi wewenang bermaksud agar setiap aparat penegak hukum memahami ruang lingkup serta batas-batas wewenangnya. Lebih lanjut, diharapkan di satu sisi tidak terjadi pelaksanaan wewenang yang tumpang tindih, di sisi lain tidak akan ada suatu perkara yang tidak tertangani oleh semua aparat penegak hukum.
Selain itu, diferensiasi fungsi demikian dimaksudkan untuk menciptakan mekanisme saling mengawasi secara horizontal di antara aparat penegak hukum, sehingga pelaksanaan wewenang secara terpadu dapat terlaksana dengan efektif dan serasi (harmonis).
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 28/PUU-V/2007 juga berpendapat bahwa sudah saatnya pembentuk undang-undang menyelaraskan berbagai ketentuan undang-undang yang berkaitan dengan wewenang penyidikan, sehingga lebih mengukuhkan jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi pencari keadilan serta jaminan kepastian hukum bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya.
Sebelum penyerasian itu terwujud, semua aparat penegak hukum seyogianya melakukan koordinasi jika ditengarai akan terjadi tumpang tindih dalam kasus-kasus pelaksanaan wewenang penyidikan di antara sesama aparat penegak hukum.
Wewenang Jaksa Agung Republik untuk mengkoordinasikan dan mengendalikan tindakan Penyidikan dan Penuntutan Perkara Koneksitas terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan Pasal 18 Jo Pasal 35 ayat 1 Huruf g Jo Penjelasan Pasal 35 ayat 1 huruf i Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yang menegaskan bahwa Jaksa Agung merupakan Penuntut Umum Tertinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mengenai adanya pendapat yang mengatakan bahwa anggota militer aktif yang diduga melakukan tindak pidana sekalipun sedang ditugaskan dalam lembaga pemerintah hanya dapat diadili melalui Peradilan Militer, maka terhadap opini yang demikian harus juga memperhatikan ketentuan Pasal 66 huruf c Undan-Undang Nomor 31 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa Oditurat Jenderal dalam rangka penyelesaian dan pelaksanaan penuntutan tindak pidana tertentu (termasuk tindak pidana korupsi) mengadakan koordinasi dengan Kejaksaan Agung, Polisi Militer dan Badan Penegak Hukum lain.
Publik tentu ingin melihat bahwa penegakan hukum dapat berjalan dengan baik dan wewenang para penegak hukum dapat terlaksana secara selaras dan harmonis seperti harapan Mahkamah Konstitusi. Maafkan khilafnya KPK, saatnya move on demi penegakkan hukum. Tetap semangat untuk TNI dan KPK, kalian luar biasa.
Ricky K Margono SH MH
Maruli Tua Sinaga SH
Advokat dan Pembela di DPP Lembaga Bantuan Hukum Partai Perindo
KHILAF seringkali digunakan oleh orang yang telah melakukan hal negatif secara sembunyi-sembunyi yang kemudian menjadi viral dan mendapat cemoohan publik.
Ketika orang tersebut mengaku khilaf, tak jarang publik justru tetap melanjutkan sindiran, cemoohan dan komentar-komentar pedas karena khilaf sudah terlalu sering dan berlebihan digunakan tidak pada tempatnya atau overrated kata anak Jaksel.
Namun khilaf yang disampaikan oleh sebuah lembaga antirasuah tentu memiliki bobot yang berbeda dan layak untuk dipikirkan dan mendapat perhatian lebih dari sekedar kata khilaf yang viral-viral itu. Pantaskah diberikan maaf?
Lembaga antirasuah-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)-nampak berupaya menunjukkan jiwa besar dengan mengakui di muka umum bahwa ada kekhilafan yang dilakukan oleh para penyelidiknya dalam menetapkan status tersangka kepada dua terduga pelaku tindak pidana korupsi yang merupakan anggota TNI yang masih aktif.
Publik menyadari bahwa permintaan maaf secara terbuka oleh KPK adalah hal yang belum pernah terjadi sebelumnya dan hal ini membuat publik bertanya-tanya mengenai siapa yang berwenang dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
Dalam konferensi pers penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK pada tanggal 26 Juli 2023 di Gedung KPK, disampaikan oleh Wakil Ketua KPK bahwa aturan hukum yang mengatur kewenangan KPK dalam menetapkan status tersangka pada anggota TNI terduga pelaku tindak pidana korupsi, bersumber pada Pasal 42 Undang-Undang KPK, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Militer dan Peradilan Umum Jo Pasal 89 KUHAP.
Pasal 89 ayat 1 KUHAP mengatur apabila terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh para subjek hukum yang masuk ke dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan militer, maka lingkungan peradilan yang mengadilinya adalah lingkungan peradilan umum.
Dalam berbagai literatur dan praktik, pasal ini disebut sebagai dasar hukum untuk tindak pidana koneksitas yakni pelanggaran aturan pidana yang melibatkan terduga sipil dan terduga anggota militer secara bersama-sama.
Wakil Ketua KPK pada konferensi pers tersebut juga mengatakan proses penyidikan kasus tersebut nantinya akan dilanjutkan melalui tim gabungan dari Puspom TNI dan KPK.
Kemudian dalam konferensi pers Puspom TNI pada tanggal 28 Juli 2023, Kababinkum TNI menjelaskan bahwa setiap anggota TNI tunduk pada hukum, namun khusus militer, para anggota memiliki aturan sendiri.
Aturan itu dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997. Oleh karena itu, untuk setiap tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer, prajurit aktif itu tunduk pada UU 31/1997, selain itu juga tunduk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.
Jadi pada intinya tidak ada prajurit TNI yang kebal hukum, semua tunduk pada aturan hukum, demikian penjelasan Kababinkum TNI.
Dari permukaan nampak seolah-olah ada tumpang tindih wewenang antara KPK dengan TNI dalam menetapkan status tersangka kepada anggota TNI aktif yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Benarkah demikian ?
Preseden Penggunaan Mekanisme Koneksitas Dalam Tindak Pidana Korupsi Pra Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi sejak berdiri tahun 2004 hingga saat ini belum pernah mengadili perkara korupsi yang dilakukan dengan mekanisme koneksitas. Oleh karena itu, cukup wajar jika penyelidik KPK melakukan kekhilafan dalam penetapan status tersangka bagi anggota TNI.Namun demikian, tentu publik pantas berharap bahwa KPK dapat memperbaiki diri dari waktu ke waktu dan tidak melakukan kekhilafan lain di kesempatan lain yang tentu dapat mempengaruhi reputasi lembaga anti rasuah.
Penggunaan mekanisme koneksitas dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi sebenarnya bukan hal yang baru sepenuhnya. Pada tahun 2002, sebelum berdirinya lembaga antirasuah dan Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, telah ada Putusan Mahkamah Agung yakni Putusan Nomor 35 K/Pid/2002 yang memutus mengenai keabsahan tim penyidik koneksitas dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh mantan Menteri Pertambangan ketika itu dan perkaranya telah dihentikan pada Oktober tahun 2004.
Dalam Putusan Nomor 35 K/Pid/2002, Majelis Hakim Agung telah menjawab pertanyaan mengenai siapa yang berwenang mengkoordinasikan dan memimpin penyelidikan, penyidikan dan penuntutan seorang anggota militer yang secara bersama-sama dengan orang sipil diduga melakukan tindak pidana korupsi.
Majelis Hakim Agung dalam perkara tersebut menyatakan bahwa Tim Penyidik Koneksitas yang terdiri dari Penyidik Sipil dan Penyidik Militer yang dipimpin oleh Jaksa Agung adalah sah menurut hukum dan karena itu berhak melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penahanan.
Penggunaan Mekanisme Koneksitas Pasca Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
Publik menantikan apa yang selanjutnya akan terjadi dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi untuk suap pengadaan alat bencana yang diduga melibatkan dua orang anggota TNI aktif dan tiga orang sipil.Selain pasal-pasal aturan hukum yang telah disebutkan oleh Wakil Ketua KPK dan Kababinkum TNI dalam konferensi pers masing-masing yang dilakukan secara terpisah, maka Putusan Nomor 35 K/Pid/2002 dapat dijadikan referensi sebagai solusi atas apa yang dianggap adanya tumpang tindih wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Pembentukan tim koneksitas yang terdiri dari penyidik KPK, penyidik TNI dan dipimpin oleh Jaksa Agung dapat dipertimbangkan sebagai jalan tengah penyelesaian tumpang tindih pelaksanaan wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap anggota TNI yang diduga melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan sipil.
Pembentukan tim koneksitas tersebut selaras juga dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007 Jo. Nomor 16/PUU-X/2012 mengenai differensiasi fungsi/wewenang aparat penegak hukum (Kejaksaan dengan Kepolisian) yang oleh Majelis Hakim Konstitusi telah ditegaskan bahwa Kejaksaan juga secara sah memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dan juga penuntutan.
Mahkamah Konstitusi menilai bahwa eksistensi differensiasi wewenang bermaksud agar setiap aparat penegak hukum memahami ruang lingkup serta batas-batas wewenangnya. Lebih lanjut, diharapkan di satu sisi tidak terjadi pelaksanaan wewenang yang tumpang tindih, di sisi lain tidak akan ada suatu perkara yang tidak tertangani oleh semua aparat penegak hukum.
Selain itu, diferensiasi fungsi demikian dimaksudkan untuk menciptakan mekanisme saling mengawasi secara horizontal di antara aparat penegak hukum, sehingga pelaksanaan wewenang secara terpadu dapat terlaksana dengan efektif dan serasi (harmonis).
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 28/PUU-V/2007 juga berpendapat bahwa sudah saatnya pembentuk undang-undang menyelaraskan berbagai ketentuan undang-undang yang berkaitan dengan wewenang penyidikan, sehingga lebih mengukuhkan jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi pencari keadilan serta jaminan kepastian hukum bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya.
Sebelum penyerasian itu terwujud, semua aparat penegak hukum seyogianya melakukan koordinasi jika ditengarai akan terjadi tumpang tindih dalam kasus-kasus pelaksanaan wewenang penyidikan di antara sesama aparat penegak hukum.
Wewenang Jaksa Agung Republik untuk mengkoordinasikan dan mengendalikan tindakan Penyidikan dan Penuntutan Perkara Koneksitas terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan Pasal 18 Jo Pasal 35 ayat 1 Huruf g Jo Penjelasan Pasal 35 ayat 1 huruf i Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yang menegaskan bahwa Jaksa Agung merupakan Penuntut Umum Tertinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mengenai adanya pendapat yang mengatakan bahwa anggota militer aktif yang diduga melakukan tindak pidana sekalipun sedang ditugaskan dalam lembaga pemerintah hanya dapat diadili melalui Peradilan Militer, maka terhadap opini yang demikian harus juga memperhatikan ketentuan Pasal 66 huruf c Undan-Undang Nomor 31 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa Oditurat Jenderal dalam rangka penyelesaian dan pelaksanaan penuntutan tindak pidana tertentu (termasuk tindak pidana korupsi) mengadakan koordinasi dengan Kejaksaan Agung, Polisi Militer dan Badan Penegak Hukum lain.
Publik tentu ingin melihat bahwa penegakan hukum dapat berjalan dengan baik dan wewenang para penegak hukum dapat terlaksana secara selaras dan harmonis seperti harapan Mahkamah Konstitusi. Maafkan khilafnya KPK, saatnya move on demi penegakkan hukum. Tetap semangat untuk TNI dan KPK, kalian luar biasa.
(hab)