KTT NATO, No Answer Threat Only

Kamis, 13 Juli 2023 - 19:28 WIB
loading...
KTT NATO, No Answer Threat Only
Andi Kurniawan, Dosen Hubungan Internasional, FISIP UPN Veteran Jakarta. Foto/Dok. Pribadi
A A A
Andi Kurniawan
Dosen Hubungan Internasional
FISIP UPN Veteran Jakarta

SIAPA menyangka organisasi pakta keamanan North Atlantic Treaty Organization (NATO) akan kembali eksis dan menjadi sorotan publik internasional? Pascaberakhirnya Perang Dingin, banyak pestudi hubungan internasional yang mengkritik dan mempertanyakan relevansi dari keberadaan organisasi ini.

Runtuhnya Uni Soviet menandai kemenangan Amerika Serikat dan sekutu, di mana NATO berperan sebagai suatu institusi keamanan kolektif yang melindungi negara-negara Eropa. Ditambah lagi, isu-isu global setelah Perang Dingin banyak diwarnai oleh isu low politics, seperti ekonomi, perdagangan, dan investasi.

Namun Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) NATO di kota Vilnius, Lithuania yang diselenggarakan 11-12 Juli 2023 kembali menempatkan organisasi ini pada kebutuhan keamanan strategis tidak hanya negara-negara anggotanya, tetapi juga negara-negara yang berupaya mencari perlindungan terhadap ancaman krisis Rusia-Ukraina. Hal ini ditandai salah satunya dengan desakan Swedia dan Finlandia untuk menjadi anggota yang sempat ditentang keras oleh Turki.

Swedia dan Finlandia dalam sejarah telah berupaya untuk menghindari bergabung dalam suatu aliansi militer. Sekarang, hal itu berubah dengan situasi politik keamanan kawasan Eropa yang cenderung tidak menentu dengan krisis Rusia-Ukraina. Belakangan, Turki menyetujui hal tersebut dengan harapan bahwa Swedia akan mendukung keanggotaan Turki dalam organisasi Uni Eropa yang menjadi impian Turki sejak lama.

Perang Dingin II
Apakah fenomena ini menggambarkan bahwa Perang Dingin II sedang berlangsung? Sejatinya ketegangan global telah terjadi sejak perseteruan Amerika Serikat dengan China dalam beberapa tahun terakhir.

Ditambah lagi terdapat indikasi NATO akan melebarkan pengaruhnya ke Asia Pasifik dengan mengajukan proposal pendirian kantor penghubung di Tokyo, Jepang. Hal ini dicurigai sebagai upaya AS untuk mempersempit ruang gerak China di kawasan, dan melindungi kepentingan AS bersama negara mitra tradisional di Asia, seperti Jepang dan Taiwan.

Menariknya, upaya konsolidasi juga akan dilakukan oleh China, Rusia bersama kekuatan mitra dalam rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS ke-15 yang akan digelar di Johannesburg, Afrika Selatan,pada 22-24 Agustus 2023 mendatang. Sudah terdapat belasan negara yang mengajukan keanggotaan untuk bergabung dalam klab negara-negara ini.

BRICS lahir sebagai suatu blok ekonomi yang beranggotakan Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, dengan kekuatan lebih dari 31 persen dari total PDB global, dan 42 persen total penduduk dunia. Melihat dinamika global yang berkembang, jalan sangat terbuka untuk transformasi BRICS dari blok ekonomi menjadi blok kerjasama pertahanan dan keamanan.

Menjaga Keseimbangan
China dan Rusia adalah sasaran utama dari manuver politik global AS ini. China merupakan destinasi ekspor utama Indonesia dengan kondisi defisit neraca perdagangan sebesar USD1,8 miliar pada 2022.

Sementara itu, hubungan dagang Indonesia dengan Rusia masih relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan negara tetangga di ASEAN. Vietnam, misalnya, hubungan perdagangannya dengan Rusia mencapai USD5,5 miliar pada 2022 dengan posisi surplus hampir mencapai USD900 juta.

Sedangkan kinerja perdagangan bilateral kita dengan Rusia baru mencapai USD3,5 miliar dengan posisi defisit sekitar US$ 800 juta pada periode yang sama. Padahal banyak potensi kerjasama ekonomi yang bisa dikembangkan dalam hubungan bilateral dengan Rusia, dan juga negara-negara anggota BRICS lainnya.

Ini momentum untuk menjaga keseimbangan, memperluas diversifikasi hubungan ekonomi kita dengan berbagai negara mitra non-tradisional. KTT NATO tidak memberikan solusi kongkrit terhadap perdamaian dan stabilitas politik dunia. Demikian pula membentuk blok pertahanan dan keamanan tandingan bukan merupakan jawaban, karena isu global yang kita hadapi lebih kompleksdan membutuhkan komitmen dari semua pihak, termasuk soal perubahan iklim, transisi energi, dan pemerataan pembangunan.

Blusukan Diaspora
Pertanyaan berikutnya adalah siapa yang cocok untuk melanjutkan estafet kepemimpinan Presiden Jokowi ditengah tantangan dan berbagai isu global tersebut. Kita membutuhkan sosok pemimpin yang memiliki pergaulan luas, luwes, dan dapat diterima oleh banyak pihak di level internasional.

Selain kemampuan menyusun strategi kebijakan pertahanan dan keamanan, pemimpin berikutnya harus mampu menciptakan peluang-peluang ekonomi bagi industri dan sektor UMKM kita. Dengan populasi yang terus bertambah dan proporsi perdagangan terhadap PDB yang relatif stagnan, kita tidak dapat melulu bergantung kepada pasar domestik untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi kita. PDB perkapita mungkin sulit untuk melampaui level USD10.000.

Kita mengenal Presiden Jokowi dengan gaya blusukan yang menarik simpati dan dukungan luas dari masyarakat. Ke depan, blusukan para pemimpin juga harus dilakukan ke berbagai komunitas diaspora kita di berbagai belahan dunia.

Mereka adalah para pelajar, pebisnis, dan pekerja yang dapat membantu program-program pemerintah untuk memperluas kerjasama ekonomi dan peluang bisnis dengan negara-negara setempat. Blusukan tidak sekedar dalam rangka pencitraan pribadi, tetapi juga membangun pencitraan bangsa di mata negara mitra menjadi hal penting agar produk dan investasi kita lebih dikenal dan mudah diterima oleh pasar.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1672 seconds (0.1#10.140)