Window Time dan Tren Distribusi Konten
loading...
A
A
A
Kemala Atmojo
Peminat dan Pemerhati Masalah Filsafat, Hukum, dan Seni
Dunia Over The Top (OTT) dengan aneka platform-nya tidak saja mengubah cara produksi konten yang akan dibuat, tetapi juga mengubah strategi pemasaran dan pola distribusinya. Sebut misalnya konten dan distribusi film. Ini tidak saja terjadi di Indonesia, tapi melanda seluruh dunia. Selama berpuluh-puluh tahun, bisnis peredaran film mengenal apa yang disebut dengan “window time”. Ini salah satu ciri unik atau karakteristik bisnis film yang tak mudah dicarikan padanannya dalam perdagangan umum komoditi lain.
Selama ini, sebagai bagian dari bisnis perfilman, sebuah film mempunyai beberapa format dan waktu dalam eksploitasi ekonominya. Mulai dari theatrical, home video, pay tv, cable tv, public tv, dan seterusnya. Telah berpuluh tahun format eksploitasi semacam itu dipegang teguh oleh produser agar membawa hasil ekonomi yang maksimal bagi pemilik hak ciptanya. Di dunia perfilman, urutan prioritas dalam rangkaian eksploitasi tersebut disebut sebagai window time.
Selama suatu film sedang berada dalam tahap eksploitasi di bioskop, misalnya, maka kegiatan eksploitasi berikutnya harus ditunda dulu sampai eksploitasi di tahap yang sedang berlangsung selesai. Mekanisme window time inilah yang antara lain menjamin maksimalisasi hasil eksploitasi ekonomi film.
Mekanisme window time juga mempunyai implikasi eliminasi persaingan antar-substitusi format penyajian film. Dengan begitu suatu film tidak akan mengalami persaingan kanibalistik yang akan merugikan pemegang hak cipta film. Maka, penting sekali bagi para produser atau pemegang hak cipta untuk memperhatikan dan menjaga prinsip window time ini agar dapat memaksimalkan eksploitasi ekonomi filmnya
Jika mau diurut, begini kira-kira rentetan window time selama ini: Window time teater (bioskop), yakni pemutaran di bioskop. Di sini film diputar secara eksklusif selama periode waktu tertentu. Pemutaran di bioskop ini menjadi sumber pendapat utama bagi pemilik film selama ini. Kelebihan bioskop, setiap pasang mata (penonton) harus membeli tiket jika ingin menyaksikan filmnya. Jadi, per tiket per kepala.
Lalu, jika beruntung, misalnya karena filmnya disukai penonton, maka dikenal istilah “jackpot” alias meledak alias booming alias box office atau yang istilah yang lain. Hal semacam itu sulit didapat dari platfom OTT. Sebab umumnya hubungan produser dengan platform OTT adalah “penjualan putus” atau untuk periode tertentu dengan harga yang sudah ditentukan sebelumnya.
Selesai penayangan di bioskop, kemudian masuk ke tahap video untuk rumah tangga (home video), baik dalam bentuk DVD atau Blu-ray untuk dijual satuan atau disewakan dalam kurun waktu tertentu. Pada tahap ini film tersebut dapat ditonton oleh seluruh keluarga. Namun, biasanya, ada aturan yang harus ditaati.Misalnya, DVD itu tidak untuk dikomersialkan atau diputar dengan penarikan tiket. Selanjutnya masuk ke tahap penayangan televisi berbayar dan kemudian televisi tertentu yang bekerja sama. Di sini film tersebut memungkinkan bisa mencapai audiens yang lebih luas.
Demikian tradisi window time yang kita kenal sebelum zaman OTT. Namun, sejak era digital, perlahan-lahan keadaan mulai berbuah. Mula-mula, beberapa film bisa langsung tersedia di platform seperti Google Play atau Amazon Video. Ini memungkinkan orang untuk menonton film menggunakan perangkat digital seperti komputer, smartphone, atau tablet. Baru kemudian window time streaming online dan layanan video on demand.
Saat ini, semakin banyak platform yang menyediakan pemutaran film. Sebut misalnya, Netflix, Amazon Prime, Viu, Tencent, Vidio, Maxtream, HBOgo, Disney+, WeTV, atau yang lain. Bahkan ada di antara platform tersebut yang bekerja sama langsung dengan perusahaan film dalam hal produksi. Platform tersebut terlibat dalam pembiayaan produksi atau sekadar jual-beli produk yang sudah jadi.
Di antara sekian banyak platform baru yang nenyediakan saluran distribusi, Netflix sempat dianggap yang paling potensial menganggu rantai distribusi di industri film. Sebab Netflix -- kini juga yang lain-- menawarkan opsi alternatif untuk memasarkan film langsung melalui saluran OTT alias sebelum rilis di bioskop.
Ini merupakan pergeseran dalam proses distribusi sebuah film. Jika sebelumnya hampir semua film besar diluncurkan melalui perilisan di bioskop-bioskop, sekarang Netflix dan pemain OTT lainnya telah menggunakan strategi untuk memperoleh lisensi sebelum dirilis ke publik. Itulah yang menyebabkan mereka dianggap mengganggu rantai distribusi yang sudah mengakar berpuluh tahun.
Sebenarnya, window time ini hanyalah salah satu dimensi saja dalam rangkaian bisnis film. Masih ada dimensi lain yang juga penting. Misalnya, biaya produksi, tema cerita, penggarapan, dan potensi pasarnya. Saat ini, di Indonesia, genre yang banyak digarap adalah horor dan komedi. Sementara film untuk anak-anak, film keluarga, atau film dengan isu-isu sosial-politik sangat minim jumlahnya.
Saya khawatir, jika genre horor dan komedi yang terus muncul, bisa-bisa penonton akan bosan. Kita tahu, menonton film di bioskop itu tidak gratis. Dan tidak ada yang bisa mengatur-atur orang lain untuk menonton film ini dan itu.Perlu juga dicatat, bahwa dunia OTT memberikan peluang lain untuk mendapat penghasilan. Dengan jangkauan yang lebih luas dan akses saluran distribusi online yang lebih mudah, film yang diproduksi dua puluh tahun lalu, misalnya, kembali bisa ditemukan, dipromosikan kembali, dan dikonsumsi oleh penonton zaman sekarang.
Dalam hal promosi film, dunia digital juga memberikan jalan yang lebih luas dan lebih efisen. Buzz digital dengan cepat dapat menggantikan promosi dari mulut ke mulut dalam menjangkau audiens baru. Tren bergeser dari “mulut ke mulut” ke platform media sosial. Situs seperti Facebook, Instagram, Twitter, YouTube, TikTok memainkan peran penting dalam promosi dan pemasaran film.
Peluang lain di zaman OTT ini adalah tak cuma feature film yang bisa dijual. Banyak platform yang menyediakan suguhan film dokumenter, ilmu pengetahuan, film serial televisi, bahkan sampai stand-up comedy. Semua jenis itu dapat ditayangkan dalam waktu yang cukup lama.
Kemajuan teknologi memang sulit distop. Tak lama lagi bisa jadi muncul model-model lain yang berdampak pada strategi produksi, promosi dan distribusi konten. Saat ini saja, dengan semakin banyaknya pengguna smartphone, bisa jadi telah meginspirasi para konten kreator untuk membuat produk-produk yang khusus untuk mereka, termasuk film.
Peminat dan Pemerhati Masalah Filsafat, Hukum, dan Seni
Dunia Over The Top (OTT) dengan aneka platform-nya tidak saja mengubah cara produksi konten yang akan dibuat, tetapi juga mengubah strategi pemasaran dan pola distribusinya. Sebut misalnya konten dan distribusi film. Ini tidak saja terjadi di Indonesia, tapi melanda seluruh dunia. Selama berpuluh-puluh tahun, bisnis peredaran film mengenal apa yang disebut dengan “window time”. Ini salah satu ciri unik atau karakteristik bisnis film yang tak mudah dicarikan padanannya dalam perdagangan umum komoditi lain.
Selama ini, sebagai bagian dari bisnis perfilman, sebuah film mempunyai beberapa format dan waktu dalam eksploitasi ekonominya. Mulai dari theatrical, home video, pay tv, cable tv, public tv, dan seterusnya. Telah berpuluh tahun format eksploitasi semacam itu dipegang teguh oleh produser agar membawa hasil ekonomi yang maksimal bagi pemilik hak ciptanya. Di dunia perfilman, urutan prioritas dalam rangkaian eksploitasi tersebut disebut sebagai window time.
Selama suatu film sedang berada dalam tahap eksploitasi di bioskop, misalnya, maka kegiatan eksploitasi berikutnya harus ditunda dulu sampai eksploitasi di tahap yang sedang berlangsung selesai. Mekanisme window time inilah yang antara lain menjamin maksimalisasi hasil eksploitasi ekonomi film.
Mekanisme window time juga mempunyai implikasi eliminasi persaingan antar-substitusi format penyajian film. Dengan begitu suatu film tidak akan mengalami persaingan kanibalistik yang akan merugikan pemegang hak cipta film. Maka, penting sekali bagi para produser atau pemegang hak cipta untuk memperhatikan dan menjaga prinsip window time ini agar dapat memaksimalkan eksploitasi ekonomi filmnya
Jika mau diurut, begini kira-kira rentetan window time selama ini: Window time teater (bioskop), yakni pemutaran di bioskop. Di sini film diputar secara eksklusif selama periode waktu tertentu. Pemutaran di bioskop ini menjadi sumber pendapat utama bagi pemilik film selama ini. Kelebihan bioskop, setiap pasang mata (penonton) harus membeli tiket jika ingin menyaksikan filmnya. Jadi, per tiket per kepala.
Lalu, jika beruntung, misalnya karena filmnya disukai penonton, maka dikenal istilah “jackpot” alias meledak alias booming alias box office atau yang istilah yang lain. Hal semacam itu sulit didapat dari platfom OTT. Sebab umumnya hubungan produser dengan platform OTT adalah “penjualan putus” atau untuk periode tertentu dengan harga yang sudah ditentukan sebelumnya.
Selesai penayangan di bioskop, kemudian masuk ke tahap video untuk rumah tangga (home video), baik dalam bentuk DVD atau Blu-ray untuk dijual satuan atau disewakan dalam kurun waktu tertentu. Pada tahap ini film tersebut dapat ditonton oleh seluruh keluarga. Namun, biasanya, ada aturan yang harus ditaati.Misalnya, DVD itu tidak untuk dikomersialkan atau diputar dengan penarikan tiket. Selanjutnya masuk ke tahap penayangan televisi berbayar dan kemudian televisi tertentu yang bekerja sama. Di sini film tersebut memungkinkan bisa mencapai audiens yang lebih luas.
Demikian tradisi window time yang kita kenal sebelum zaman OTT. Namun, sejak era digital, perlahan-lahan keadaan mulai berbuah. Mula-mula, beberapa film bisa langsung tersedia di platform seperti Google Play atau Amazon Video. Ini memungkinkan orang untuk menonton film menggunakan perangkat digital seperti komputer, smartphone, atau tablet. Baru kemudian window time streaming online dan layanan video on demand.
Saat ini, semakin banyak platform yang menyediakan pemutaran film. Sebut misalnya, Netflix, Amazon Prime, Viu, Tencent, Vidio, Maxtream, HBOgo, Disney+, WeTV, atau yang lain. Bahkan ada di antara platform tersebut yang bekerja sama langsung dengan perusahaan film dalam hal produksi. Platform tersebut terlibat dalam pembiayaan produksi atau sekadar jual-beli produk yang sudah jadi.
Di antara sekian banyak platform baru yang nenyediakan saluran distribusi, Netflix sempat dianggap yang paling potensial menganggu rantai distribusi di industri film. Sebab Netflix -- kini juga yang lain-- menawarkan opsi alternatif untuk memasarkan film langsung melalui saluran OTT alias sebelum rilis di bioskop.
Ini merupakan pergeseran dalam proses distribusi sebuah film. Jika sebelumnya hampir semua film besar diluncurkan melalui perilisan di bioskop-bioskop, sekarang Netflix dan pemain OTT lainnya telah menggunakan strategi untuk memperoleh lisensi sebelum dirilis ke publik. Itulah yang menyebabkan mereka dianggap mengganggu rantai distribusi yang sudah mengakar berpuluh tahun.
Sebenarnya, window time ini hanyalah salah satu dimensi saja dalam rangkaian bisnis film. Masih ada dimensi lain yang juga penting. Misalnya, biaya produksi, tema cerita, penggarapan, dan potensi pasarnya. Saat ini, di Indonesia, genre yang banyak digarap adalah horor dan komedi. Sementara film untuk anak-anak, film keluarga, atau film dengan isu-isu sosial-politik sangat minim jumlahnya.
Saya khawatir, jika genre horor dan komedi yang terus muncul, bisa-bisa penonton akan bosan. Kita tahu, menonton film di bioskop itu tidak gratis. Dan tidak ada yang bisa mengatur-atur orang lain untuk menonton film ini dan itu.Perlu juga dicatat, bahwa dunia OTT memberikan peluang lain untuk mendapat penghasilan. Dengan jangkauan yang lebih luas dan akses saluran distribusi online yang lebih mudah, film yang diproduksi dua puluh tahun lalu, misalnya, kembali bisa ditemukan, dipromosikan kembali, dan dikonsumsi oleh penonton zaman sekarang.
Dalam hal promosi film, dunia digital juga memberikan jalan yang lebih luas dan lebih efisen. Buzz digital dengan cepat dapat menggantikan promosi dari mulut ke mulut dalam menjangkau audiens baru. Tren bergeser dari “mulut ke mulut” ke platform media sosial. Situs seperti Facebook, Instagram, Twitter, YouTube, TikTok memainkan peran penting dalam promosi dan pemasaran film.
Peluang lain di zaman OTT ini adalah tak cuma feature film yang bisa dijual. Banyak platform yang menyediakan suguhan film dokumenter, ilmu pengetahuan, film serial televisi, bahkan sampai stand-up comedy. Semua jenis itu dapat ditayangkan dalam waktu yang cukup lama.
Kemajuan teknologi memang sulit distop. Tak lama lagi bisa jadi muncul model-model lain yang berdampak pada strategi produksi, promosi dan distribusi konten. Saat ini saja, dengan semakin banyaknya pengguna smartphone, bisa jadi telah meginspirasi para konten kreator untuk membuat produk-produk yang khusus untuk mereka, termasuk film.
(wur)