Duel Pendiri Bangsa yang Mematikan
loading...
A
A
A
Kemala Atmojo
Peminat filsafat, hukum, dan seni.
Di Madura, Jawa Timur, pernah ada tradisi duel menggunakan celurit. Namanya Carok. Di Amerika Serikat, ada duel pakai pistol. Ini bukan ada di film-film koboi. Tapi ada di kehidupan nyata. Bahkan pelaku duel adalah dua tokoh penting dalam sejarah Amerika Serikat. Mereka adalah Alexander Hamilton dan Wakil Presiden Aaron Burr. Peristiwa itu terjadi pada 1804 di Weehawken, New Jersey. Duel tersebut terjadi sebagai akibat dari permasalahan pribadi dan politik yang rumit di antara keduanya.
Karena penasaran ceritanya, suatu siang saya berkunjung ke rumah asli Alexander Hamilton yang sekarang sudah jadi museum (Hamilton Grange National Memorial). Rumah kayu berlantai tiga, berwarna krem dengan aksen putih itu, selalu terlihat sepi dari luar. Seperti tak ada kehidupan di dalamnya. Sesekali hanya ada mobil minibus yang parkir di halaman depan. Selebihnya kesunyian di hamparan tanah yang cukup luas. Saya sering melewati rumah itu ketika saya tinggal untuk beberapa hari di Hamilton Terrace, Harlem Barat.
Meskipun Hamilton belum pernah menjadi Presiden, namun wajahnya menghiasi mata uang kertas pecahan sepuluh dollar Amerika Serikat. Sebab peran Alexander Hamilton dalam sejarah Amerika Serikat sangatlah signifikan. Kebijakan-kebijakannya di bidang keuangan, pendirian Bank Amerika Serikat, dan pemikirannya tentang kekuasaan pemerintahan federal yang kuat telah memberikan kontribusi besar terhadap pembentukan Amerika Serikat modern.
Peran penting lainya, ia adalah salah satu tokoh utama dalam merumuskan dan mempromosikan Konstitusi Amerika Serikat. Bersama dengan James Madison dan John Jay, ia menulis serangkaian esai yang dikenal sebagai The Federalist Papers. Esai-esai ini ditulis untuk membela dan menjelaskan konstitusi baru Amerika Serikat. The Federalist Papers sangat berpengaruh dalam membujuk para delegasi negara bagian untuk mendukung ratifikasi Konstitusi Amerika Serikat.
Pada 2017, kisah hidup Hamilton dipentaskan dalam sebuah pertunjukan besar di Theatre Broadway, New York, dengan judul “Hamilton”. Maka nama Hamilton kembali dibicarakan banyak orang. Ini adalah pertunjukan yang musik, lirik, dan naskahnya ditulis oleh Lin-Manuel Miranda. Sedangkan ceritanya diangkat dari biografi Hamilton karya Ron Chernow, dan disutradarai oleh Thomas Kail.
Pertunjukan itu membawa penonton ke panggung kehidupan masa lalu Alexander Hamilton, seorang anak yatim piatu penuh ambisi dan kemudian berhasil menjadi orang kepercayaan George Washington, yang kemudian menjadi presiden pertama Amerika Serikat. Karakter tokoh yang ditampilkan ke atas panggung mulai dari George Washington sampai Thomas Jefferson, dan tentu saja, musuh Hamilton, yakni Aaron Burr, yang membunuhnya dalam duel bersejarah di Weehawken.
The New Yorker menyebut pertunjukan itu merupakan pencapaian rekonstruksi ulang sejarah dan budaya Amerika Serikat. Kemudian The Wall Street Journal menulis: “'Hamilton' is the most exciting and significant musical of the decade. Sensationally potent and theatrically vital, it is plugged straight into the wall socket of contemporary music. This show makes me feel hopeful for the future of musical theater.” Sedangkan The New York Times berkomentar: “Historic. 'Hamilton' is brewing up a revolution. This is a show that aims impossibly high and hits its target. It's probably not possible to top the adrenaline rush.”
Layaknya sebuah museum, di dalam rumah itu dipaparkan latar belakang sejarah Amerika Serikat dan peran Alexander Hamilton. Kemudian secara bergiliran (per 14 orang dalam satu kelompok) para pengunjung diizinkan oleh petugas di situ untuk naik ke lantai dua. Pembatasan ini dilakukan dengan pertimbangan daya tahan lantai rumah. Maklum, ini bangunan asli, meski lokasinya tak berada di tempat asalnya. Bangunan ini pernah dipindah sebanyak dua kali dengan cara mengangkat langsung rumah itu secara utuh.
Di lantai dua, ada ruangan belajar dan meja tempat Hamilton menulis. Lalu ada ruang makan dengan meja yang cukup panjang. Kemudian ada ruang bersantai yang cukup lengang. Meski tidak terlalu luas, tapi terkesan lega dan nyaman. Saya bermaksud naik lagi ke lantai atasnya, tapi tidak diizinkan. Di lantai tiga itu, kata petugas, hanya untuk staf museum bekerja dan dua tempat tidur di sana.
Acara terakhir saya menonton film dokumenter pendek mengenai tokoh ini. Alexander Hamilton lahir di Hindia Barat, Kepulauan Karibia, pada 11 Januari 1757 (ada yang menyebut tahun 1955). Konon ia anak di luar nikah. Pada tahun 1765, ketika Alexander berusia delapan tahun, keluarga itu pindah ke St. Croix, tak jauh dari tempat asalnya. Selama empat tahun berikutnya, Alexander Hamilton dan saudaranya mulai kehilangan satu demi satu kerabatnya. Bibinya meninggal, lalu pamannya, kemudian nenek mereka. Tak cuma itu. Ayahnya meninggalkan keluarga begitu saja alias kabur. Tak lama kemudian ibunya meninggal akibat demam pada 1768, disusul saudaranya yang bunuh diri pada 1769. Jadilah ia remaja yatim piatu.
Hamilton muda bekerja sebagai juru tulis untuk sebuah perusahaan perdagangan. Dia sangat dipercaya oleh atasannya. Bahkan, ketika dia masih berusia empat belas tahun, dia mendapat kepercayaan untuk bertanggung jawab atas keseluruhan bisnis selama beberapa bulan sementara atasannya berada di New York. Hamilton dikenal sebagai remaja yang pintar. Sehingga pada tahun 1772, ketika usianya 17, ia dikirim ke New York untuk belajar di King's College (sekarang University of Columbia) atas sponsor atasannya itu. Di sini pun ia dikenal sebagai mahasiswa yang cerdas.
Ketika perang pecah pada 1775, ia bergabung dengan kelompok milisi. Pada awal 1776, ia membentuk tentara artileri daerah dan diangkat sebagai kapten. Ia kemudian ditunjuk sebagai pembantu senior George Washington, komandan tertinggi militer Amerika Serikat. Washington mengutusnya dalam berbagai misi penting untuk menyampaikan keinginannya kepada para jenderal di lapangan. Seusai perang, Hamilton terpilih sebagai anggota Kongres Konfederasi dari New York.
Hamilton tidak menyukai pemerintahan pusat (federal) yang lemah. Ia memimpin Konvensi Annapolis yang berhasil meminta Kongres untuk menyelenggarakan Konvensi Philadelphia dalam rangka perumusan undang-undang dasar Amerika yang baru. Ia sangat aktif di Konvensi Philadelphia dan membantu proses ratifikasi dengan menulis sebanyak 51 dari 85 bagian The Federalist Papers, yakni kumpulan dokumen yang sampai sekarang masih dijadikan acuan penafsiran undang-undang dasar Amerika Serikat. Singkatnya, banyak hal telah dilakukannya, termasuk mendirikan Koran The New York Post; dan aneka jabatan pernah diraihnya – misalnya menjadi menteri keuangan pertama.
Pada tahun 1795, ia membuka praktik hukum di New York, serta mendirikan Bank of New York. Ia selalu kritis terhadap pemerintah pusat dan berbagai kebijakan Presiden John Adams. Ia kemudian menolak pencalonan kembali Presiden John Adam. Lalu, pada saat Thomas Jefferson dan Aaron Burr mendapat jumlah suara yang sama dalam pemilihan presiden pada 1801, Hamilton memilih membantu Jefferson untuk mengalahkan Burr, yang ia anggap sebagai tokoh yang tidak berprinsip. Ia mendukung Thomas Jefferson meski berbeda pandangan. Maka Thomas Jefferson menjadi presiden dan Aaron Burr menjadi Wakil Presiden.
Nah, ini yang seru. Ketika Wakil Presiden Aaron Burr mencalonkan diri sebagai gubernur New York, Hamilton tidak sepakat. Ia mencap Burr tidak layak menjadi gubernur. Pada 21 September 1792, misalnya, Hamilton menulis surat yang berbunyi: “Burr is for or against nothing but as it suits his interest or ambition… and I feel it a religious duty to oppose his career”.
Burr tersinggung oleh komentar Hamilton itu. Perseteruan di antara mereka makin lama makin panas. Sehingga pada 1804 Burr menantangnya untuk duel adu tembak. Sebagai seorang Wakil Presiden Amerika, Burr merasa harus membela kehormatannya. Hamilton meladeni tantangan itu. Teman-teman mereka mencoba menenangkan kedua pria tersebut, namun gagal. Duel tetap akan dilaksanakan.
Sebelum duel terjadi, Hamilton mungkin sudah merasa bakal kalah. Maka, sebelum menghadapi kemungkinan kematian itu, ia menulis surat kepada teman dan keluarganya. Lalu, pada suatu pagi, sekitar pukul 07.00 lewat sedikit, mereka sepakat untuk duel menggunakan pistol. Suasana tampak tegang. Benar saja, tembakan Burr mengena dan melukai Hamilton. Ia meninggal dunia keesokan harinya. Setelah kematiannya, Elizabeth, istrinya, membaca surat yang ditulis Hamilton sebelum duel. Di akhir surat itu tertulis: “Adieu, best of wives and best of women. Embrace all my darling children for me.…”
Mungkinkah duel semacam itu terjadi di Indonesia? Semoga tidak. Semua persoalan harus bisa diselesaikan dengan akal sehat, hati nurani, atau hukum yang berlaku.
Peminat filsafat, hukum, dan seni.
Di Madura, Jawa Timur, pernah ada tradisi duel menggunakan celurit. Namanya Carok. Di Amerika Serikat, ada duel pakai pistol. Ini bukan ada di film-film koboi. Tapi ada di kehidupan nyata. Bahkan pelaku duel adalah dua tokoh penting dalam sejarah Amerika Serikat. Mereka adalah Alexander Hamilton dan Wakil Presiden Aaron Burr. Peristiwa itu terjadi pada 1804 di Weehawken, New Jersey. Duel tersebut terjadi sebagai akibat dari permasalahan pribadi dan politik yang rumit di antara keduanya.
Karena penasaran ceritanya, suatu siang saya berkunjung ke rumah asli Alexander Hamilton yang sekarang sudah jadi museum (Hamilton Grange National Memorial). Rumah kayu berlantai tiga, berwarna krem dengan aksen putih itu, selalu terlihat sepi dari luar. Seperti tak ada kehidupan di dalamnya. Sesekali hanya ada mobil minibus yang parkir di halaman depan. Selebihnya kesunyian di hamparan tanah yang cukup luas. Saya sering melewati rumah itu ketika saya tinggal untuk beberapa hari di Hamilton Terrace, Harlem Barat.
Meskipun Hamilton belum pernah menjadi Presiden, namun wajahnya menghiasi mata uang kertas pecahan sepuluh dollar Amerika Serikat. Sebab peran Alexander Hamilton dalam sejarah Amerika Serikat sangatlah signifikan. Kebijakan-kebijakannya di bidang keuangan, pendirian Bank Amerika Serikat, dan pemikirannya tentang kekuasaan pemerintahan federal yang kuat telah memberikan kontribusi besar terhadap pembentukan Amerika Serikat modern.
Peran penting lainya, ia adalah salah satu tokoh utama dalam merumuskan dan mempromosikan Konstitusi Amerika Serikat. Bersama dengan James Madison dan John Jay, ia menulis serangkaian esai yang dikenal sebagai The Federalist Papers. Esai-esai ini ditulis untuk membela dan menjelaskan konstitusi baru Amerika Serikat. The Federalist Papers sangat berpengaruh dalam membujuk para delegasi negara bagian untuk mendukung ratifikasi Konstitusi Amerika Serikat.
Pada 2017, kisah hidup Hamilton dipentaskan dalam sebuah pertunjukan besar di Theatre Broadway, New York, dengan judul “Hamilton”. Maka nama Hamilton kembali dibicarakan banyak orang. Ini adalah pertunjukan yang musik, lirik, dan naskahnya ditulis oleh Lin-Manuel Miranda. Sedangkan ceritanya diangkat dari biografi Hamilton karya Ron Chernow, dan disutradarai oleh Thomas Kail.
Pertunjukan itu membawa penonton ke panggung kehidupan masa lalu Alexander Hamilton, seorang anak yatim piatu penuh ambisi dan kemudian berhasil menjadi orang kepercayaan George Washington, yang kemudian menjadi presiden pertama Amerika Serikat. Karakter tokoh yang ditampilkan ke atas panggung mulai dari George Washington sampai Thomas Jefferson, dan tentu saja, musuh Hamilton, yakni Aaron Burr, yang membunuhnya dalam duel bersejarah di Weehawken.
The New Yorker menyebut pertunjukan itu merupakan pencapaian rekonstruksi ulang sejarah dan budaya Amerika Serikat. Kemudian The Wall Street Journal menulis: “'Hamilton' is the most exciting and significant musical of the decade. Sensationally potent and theatrically vital, it is plugged straight into the wall socket of contemporary music. This show makes me feel hopeful for the future of musical theater.” Sedangkan The New York Times berkomentar: “Historic. 'Hamilton' is brewing up a revolution. This is a show that aims impossibly high and hits its target. It's probably not possible to top the adrenaline rush.”
Layaknya sebuah museum, di dalam rumah itu dipaparkan latar belakang sejarah Amerika Serikat dan peran Alexander Hamilton. Kemudian secara bergiliran (per 14 orang dalam satu kelompok) para pengunjung diizinkan oleh petugas di situ untuk naik ke lantai dua. Pembatasan ini dilakukan dengan pertimbangan daya tahan lantai rumah. Maklum, ini bangunan asli, meski lokasinya tak berada di tempat asalnya. Bangunan ini pernah dipindah sebanyak dua kali dengan cara mengangkat langsung rumah itu secara utuh.
Di lantai dua, ada ruangan belajar dan meja tempat Hamilton menulis. Lalu ada ruang makan dengan meja yang cukup panjang. Kemudian ada ruang bersantai yang cukup lengang. Meski tidak terlalu luas, tapi terkesan lega dan nyaman. Saya bermaksud naik lagi ke lantai atasnya, tapi tidak diizinkan. Di lantai tiga itu, kata petugas, hanya untuk staf museum bekerja dan dua tempat tidur di sana.
Acara terakhir saya menonton film dokumenter pendek mengenai tokoh ini. Alexander Hamilton lahir di Hindia Barat, Kepulauan Karibia, pada 11 Januari 1757 (ada yang menyebut tahun 1955). Konon ia anak di luar nikah. Pada tahun 1765, ketika Alexander berusia delapan tahun, keluarga itu pindah ke St. Croix, tak jauh dari tempat asalnya. Selama empat tahun berikutnya, Alexander Hamilton dan saudaranya mulai kehilangan satu demi satu kerabatnya. Bibinya meninggal, lalu pamannya, kemudian nenek mereka. Tak cuma itu. Ayahnya meninggalkan keluarga begitu saja alias kabur. Tak lama kemudian ibunya meninggal akibat demam pada 1768, disusul saudaranya yang bunuh diri pada 1769. Jadilah ia remaja yatim piatu.
Hamilton muda bekerja sebagai juru tulis untuk sebuah perusahaan perdagangan. Dia sangat dipercaya oleh atasannya. Bahkan, ketika dia masih berusia empat belas tahun, dia mendapat kepercayaan untuk bertanggung jawab atas keseluruhan bisnis selama beberapa bulan sementara atasannya berada di New York. Hamilton dikenal sebagai remaja yang pintar. Sehingga pada tahun 1772, ketika usianya 17, ia dikirim ke New York untuk belajar di King's College (sekarang University of Columbia) atas sponsor atasannya itu. Di sini pun ia dikenal sebagai mahasiswa yang cerdas.
Ketika perang pecah pada 1775, ia bergabung dengan kelompok milisi. Pada awal 1776, ia membentuk tentara artileri daerah dan diangkat sebagai kapten. Ia kemudian ditunjuk sebagai pembantu senior George Washington, komandan tertinggi militer Amerika Serikat. Washington mengutusnya dalam berbagai misi penting untuk menyampaikan keinginannya kepada para jenderal di lapangan. Seusai perang, Hamilton terpilih sebagai anggota Kongres Konfederasi dari New York.
Hamilton tidak menyukai pemerintahan pusat (federal) yang lemah. Ia memimpin Konvensi Annapolis yang berhasil meminta Kongres untuk menyelenggarakan Konvensi Philadelphia dalam rangka perumusan undang-undang dasar Amerika yang baru. Ia sangat aktif di Konvensi Philadelphia dan membantu proses ratifikasi dengan menulis sebanyak 51 dari 85 bagian The Federalist Papers, yakni kumpulan dokumen yang sampai sekarang masih dijadikan acuan penafsiran undang-undang dasar Amerika Serikat. Singkatnya, banyak hal telah dilakukannya, termasuk mendirikan Koran The New York Post; dan aneka jabatan pernah diraihnya – misalnya menjadi menteri keuangan pertama.
Pada tahun 1795, ia membuka praktik hukum di New York, serta mendirikan Bank of New York. Ia selalu kritis terhadap pemerintah pusat dan berbagai kebijakan Presiden John Adams. Ia kemudian menolak pencalonan kembali Presiden John Adam. Lalu, pada saat Thomas Jefferson dan Aaron Burr mendapat jumlah suara yang sama dalam pemilihan presiden pada 1801, Hamilton memilih membantu Jefferson untuk mengalahkan Burr, yang ia anggap sebagai tokoh yang tidak berprinsip. Ia mendukung Thomas Jefferson meski berbeda pandangan. Maka Thomas Jefferson menjadi presiden dan Aaron Burr menjadi Wakil Presiden.
Nah, ini yang seru. Ketika Wakil Presiden Aaron Burr mencalonkan diri sebagai gubernur New York, Hamilton tidak sepakat. Ia mencap Burr tidak layak menjadi gubernur. Pada 21 September 1792, misalnya, Hamilton menulis surat yang berbunyi: “Burr is for or against nothing but as it suits his interest or ambition… and I feel it a religious duty to oppose his career”.
Burr tersinggung oleh komentar Hamilton itu. Perseteruan di antara mereka makin lama makin panas. Sehingga pada 1804 Burr menantangnya untuk duel adu tembak. Sebagai seorang Wakil Presiden Amerika, Burr merasa harus membela kehormatannya. Hamilton meladeni tantangan itu. Teman-teman mereka mencoba menenangkan kedua pria tersebut, namun gagal. Duel tetap akan dilaksanakan.
Sebelum duel terjadi, Hamilton mungkin sudah merasa bakal kalah. Maka, sebelum menghadapi kemungkinan kematian itu, ia menulis surat kepada teman dan keluarganya. Lalu, pada suatu pagi, sekitar pukul 07.00 lewat sedikit, mereka sepakat untuk duel menggunakan pistol. Suasana tampak tegang. Benar saja, tembakan Burr mengena dan melukai Hamilton. Ia meninggal dunia keesokan harinya. Setelah kematiannya, Elizabeth, istrinya, membaca surat yang ditulis Hamilton sebelum duel. Di akhir surat itu tertulis: “Adieu, best of wives and best of women. Embrace all my darling children for me.…”
Mungkinkah duel semacam itu terjadi di Indonesia? Semoga tidak. Semua persoalan harus bisa diselesaikan dengan akal sehat, hati nurani, atau hukum yang berlaku.
(wur)