Generasi Muda Harus Waspadai Narasi Keagamaan Keliru di Medsos
loading...
A
A
A
JAKARTA - Maraknya narasi keagamaan yang keliru di media sosial bisa menjadi salah satu akar dari radikalisme berbasis agama. Narasi keagamaan yang keliru seringkali menyebar dengan cepat dan luas di media sosial dan dapat mempengaruhi pemaham agama seseorang secara negatif.
Untuk itu generasi muda harus paham bagaimana cara kelompok radikal melakukan aksinya, dan harus tahu bagaimana mencegah penyebaran narasi keagamaan yang keliru itu. "Peran generasi muda di dalam menghadapi narasi keberagamaan yang radikal yang paling utama adalah memahami bagaimana cara kerja kelompok ini," kata Ketua Lakpesdam PBNU Ulil Abshar Abdalla saat Pengukuhan Duta Damai Santri dan Regenerasi Duta Damai Dunia Maya Regional Jawa Tengah di Semarang, Jawa Tengah, dikutip Minggu (18/6/2023).
Menurut Gus Ulil, kaum millenial tidak akan bisa menanggapi ideologi radikal jika tidak memahami cara kerja kelompok tersebut berselancar di dunia maya.
"Setelah kita tahu dan paham, kita baru bisa merumuskan narasi tandingan. Narasi tandingan ini sebetulnya narasi yang tidak berangkat dari nol. Karena narasi tandingan ini praktik keagamaan dan praktik dakwah yang sudah berlangsung di Indonesia selama beradab-abad," lanjutnya.
Namun pada kenyataannya, masih banyak generasi muda, termasuk para santri yang hanya menjadi pengguna media sosial yang pasif, padahal mereka memiliki ilmu agama yang cukup. Dirinya mengungkapkan, santri memiliki ilmu yang banyak dan bagus karena mereka belajar ilmu Islam dari para kiai, tapi memiliki beberapa kekurangan.
"Kelemahan para santri mereka kurang artikulatif, kurang banyak menulis, kurang banyak membuat dan memproduksi konten dan juga kurang canggih memahami bahasa komunikasi saat ini," tambahnya.
Pria yang melanjutkan sekolah di Harvard University ini menyampaikan generasi muda dan para santri perlu memperkuat kemampuan komunikasi. "Padahal para santri memiliki ilmunya, jadi tinggal memoles tekniknya saja," ujarnya.
Pihaknya berharap setelah mengikuti kegiatan pelatihan ini, generasi muda termasuk para santri, khususnya di daerah Jawa Tengah ini memiliki kemampuan dan terus meningkatkan keahlian yang mereka miliki.
"Saya berharap setelah mengikuti pelatihan ini mereka menjadi generasi muda yang punya skill teknis yang mumpuni, sehingga bisa menyampaikan ajaran-ajaran Islam yang rahmatan lilalamin sesuai dengan bahasa sekarang," katanya.
Gus Ulil juga menyampaikan akar penyebab radikalisme berbasis agama sangat kompleks dan ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kemunculannya. Karena itu, radikalisme berbasis agama tidak bisa dipisahkan dari konteks masyarakat modern dengan seluruh karakteristik masyarakat.
Faktor yang berkontribusi terhadap munculnya radikalisme berbasis agama antara lain tekanan politik, solidaritas agama, budaya keagamaan masyarakat, kebijakan pemerintah, dan pendidikan. "Faktor-faktor tersebut dapat menciptakan rasa marginalisasi, frustrasi, dan keputusasaan yang dapat menyebabkan individu menganut ideologi radikal," katanya.
Selain itu, lanjutnya, agama dapat digunakan sebagai alat untuk membenarkan tindakan kekerasan dan mendapatkan dukungan dari orang lain yang memiliki keyakinan sama. Penyebaran ideologi ekstremis melalui media sosial dan platform daring lainnya juga berkontribusi terhadap munculnya radikalisme berbasis agama.
Menurutnya, untuk mengatasi masalah radikalisme berbasis agama, penting untuk mengatasi akar penyebabnya dan mempromosikan pendidikan, toleransi, dan pemahaman. "Hal ini dapat dicapai melalui inisiatif yang mempromosikan dialog antaragama, memberikan peluang sosial dan ekonomi bagi komunitas yang terpinggirkan, dan melawan narasi ekstremis secara online dan offline," katanya.
Untuk itu generasi muda harus paham bagaimana cara kelompok radikal melakukan aksinya, dan harus tahu bagaimana mencegah penyebaran narasi keagamaan yang keliru itu. "Peran generasi muda di dalam menghadapi narasi keberagamaan yang radikal yang paling utama adalah memahami bagaimana cara kerja kelompok ini," kata Ketua Lakpesdam PBNU Ulil Abshar Abdalla saat Pengukuhan Duta Damai Santri dan Regenerasi Duta Damai Dunia Maya Regional Jawa Tengah di Semarang, Jawa Tengah, dikutip Minggu (18/6/2023).
Menurut Gus Ulil, kaum millenial tidak akan bisa menanggapi ideologi radikal jika tidak memahami cara kerja kelompok tersebut berselancar di dunia maya.
"Setelah kita tahu dan paham, kita baru bisa merumuskan narasi tandingan. Narasi tandingan ini sebetulnya narasi yang tidak berangkat dari nol. Karena narasi tandingan ini praktik keagamaan dan praktik dakwah yang sudah berlangsung di Indonesia selama beradab-abad," lanjutnya.
Namun pada kenyataannya, masih banyak generasi muda, termasuk para santri yang hanya menjadi pengguna media sosial yang pasif, padahal mereka memiliki ilmu agama yang cukup. Dirinya mengungkapkan, santri memiliki ilmu yang banyak dan bagus karena mereka belajar ilmu Islam dari para kiai, tapi memiliki beberapa kekurangan.
"Kelemahan para santri mereka kurang artikulatif, kurang banyak menulis, kurang banyak membuat dan memproduksi konten dan juga kurang canggih memahami bahasa komunikasi saat ini," tambahnya.
Pria yang melanjutkan sekolah di Harvard University ini menyampaikan generasi muda dan para santri perlu memperkuat kemampuan komunikasi. "Padahal para santri memiliki ilmunya, jadi tinggal memoles tekniknya saja," ujarnya.
Pihaknya berharap setelah mengikuti kegiatan pelatihan ini, generasi muda termasuk para santri, khususnya di daerah Jawa Tengah ini memiliki kemampuan dan terus meningkatkan keahlian yang mereka miliki.
"Saya berharap setelah mengikuti pelatihan ini mereka menjadi generasi muda yang punya skill teknis yang mumpuni, sehingga bisa menyampaikan ajaran-ajaran Islam yang rahmatan lilalamin sesuai dengan bahasa sekarang," katanya.
Gus Ulil juga menyampaikan akar penyebab radikalisme berbasis agama sangat kompleks dan ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kemunculannya. Karena itu, radikalisme berbasis agama tidak bisa dipisahkan dari konteks masyarakat modern dengan seluruh karakteristik masyarakat.
Faktor yang berkontribusi terhadap munculnya radikalisme berbasis agama antara lain tekanan politik, solidaritas agama, budaya keagamaan masyarakat, kebijakan pemerintah, dan pendidikan. "Faktor-faktor tersebut dapat menciptakan rasa marginalisasi, frustrasi, dan keputusasaan yang dapat menyebabkan individu menganut ideologi radikal," katanya.
Selain itu, lanjutnya, agama dapat digunakan sebagai alat untuk membenarkan tindakan kekerasan dan mendapatkan dukungan dari orang lain yang memiliki keyakinan sama. Penyebaran ideologi ekstremis melalui media sosial dan platform daring lainnya juga berkontribusi terhadap munculnya radikalisme berbasis agama.
Menurutnya, untuk mengatasi masalah radikalisme berbasis agama, penting untuk mengatasi akar penyebabnya dan mempromosikan pendidikan, toleransi, dan pemahaman. "Hal ini dapat dicapai melalui inisiatif yang mempromosikan dialog antaragama, memberikan peluang sosial dan ekonomi bagi komunitas yang terpinggirkan, dan melawan narasi ekstremis secara online dan offline," katanya.
(abd)