Forum Dialog Antaragama dan Budaya ASEAN 2023

Jum'at, 16 Juni 2023 - 17:33 WIB
loading...
Forum Dialog Antaragama...
Ridwan, Dosen Ilmu Politik UIII dan Direktur Compose UIII. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Ridwan
Dosen Ilmu Politik Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)
Direktur Center of Muslim Politics and World Society (Compose) UIII

NAHDLATUL Ulama (NU) tampaknya sedang sangat bersemangat sebagai inisiator dan ikut serta dalam upaya membangun perdamaian global. Pada awal November 2022, NU telah sukses mengadakan Forum Religion Twenty (R20), sebagai kegiatan tambahan G20 di Indonesia 2022, yang telah berhasil merumuskan komunike R20 dengan mengusung agenda menjadikan agama sebagai solusi daripada sebagai problem kemanusiaan.

Setelah itu, NU juga melalui Ketum PB NU Gus Yahya, gencar membicarakan fikih peradaban dalam pelbagai kesempatan, misalnya di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), UIN Jakarta, dan berbagai kegiatan lainnya, yang sempat penulis ikuti. Kedua kegiatan besar ini (R20 dan Fikih Peradaban) bagi NU, dapat dilihat sebagai bagian dari satu kerangka kerja dialog antaragama dan budaya. Sudah bukan rahasia lagi, secara global agama pernah menjadi kambing hitam bagi peradaban gelap yang menghnacurkan kemanusiaan.

Secara kesejarahan, pada masa Eropa telah terjadi perang-perang agama yang menjadi dasar kritik Pencerahan terhadap agama. Perang 30 tahun di Jerman yang membuat jumlah penduduk Jerman menyusut drastis dan mendorong gelombang migrasi untuk mencari hidup damai tanpa perang agama.

Ada narasi besar (grand narrative) dalam historiografi Pencerahan, yang diwakili Edward Gibbon dan Voltaire, yang memandang perang agama sebagai hembusan napas terakhir dari barbarisme pertengahan dan fanatisisisme sebelum kegelapan lenyap berganti terang. Sampai saat ini, masyarakat Eropa pada umumnya memiliki pandangan yang negatif terhadap posisi agama di ruang publik. Dalam hal ini agama dilihat sebagai sumber konflik dan kekerasan yang mewujud dalam aksi-aksi terorisme.

Lebih jauh, tidak berhenti di dua kegiatan di atas, dua minggu terakhir kita membaca dari sejumlah media bahwa Gus Yahya telah bertemu Presiden Jokowi. Gus Yahya melaporkan perkembangan gagasan Forum Dialog Antaragama Tingkat ASEAN seirama dengan rencana pelaksanaan KTT ASEAN ke-43 pada 5-7 September 2023 di Jakarta.

Pada pertemuan tersebut Gus Yahya meminta Jokowi menjadi pembicara kunci pada Forum Dialog Antaragama dan Budaya tersebut. Selain itu langkah konkret tentang forum ini semakin terang benderang. NU dan Kemenag telah mengadakan sosialisasi pelaksanaan Forum Dialog Antaragama dan Budaya di Kota Surabaya (15 Juni 2023).

Sebagai seorang pegiat dialog antaragama dan budaya, secara khusus alumni KAICIID dari Indonesia, saya melihat Forum Dialog Antaragama dan Budaya yang sedang digiatkan rencana persiapannya adalah hal yang strategis terkait peran Indonesia sebagai ketua ASEAN.

Termasuk pelbagai masalah konflik di wilayah ASEAN juga beberapa terkait dengan agama, misalnya konflik di Thailand Selatan, Myammar, Filipina, dan Indonesia. Karenanya tulisan ini hendak mengkaji satu kerangka konseptual untuk forum dialog antaragama dan budaya ASEAN 2023 yang akan dilaksanakan.

Pada dasarnya, secara kesejarahan dialog antaragama dan budaya sudah jamak dilakukan di Indonesia oleh kalangan NU dan Muhammadiyah. Termasuk juga berbagai ormas Islam dan agama lain di Tanah Air.

Namun berbagai event itu sifatnya masih terdesentralisasi dan sporadis. Adanya Forum Dialog Antaragama dan Budaya ASEAN ini, maka pelibatan tokoh agama secara terstruktur akan bisa berkontribusi pada pelabagai kekerasan politik yang terjadi di kawasan ASEAN.

Namun sebelum mengetengahkan kerangka konseptual untuk aksi, penulis akan menjelaskan secara singkat peran NU untuk perdamaian. Dengan demikian kita tidak mencurigai upaya NU ini sebagai aji mumpung atau NU mendadak meminati dan bertumpuk lumus untuk perdamaian di dunia, termasuk ASEAN.

Misalnya, NU telah mendorong perdamaian di luar negeri dengan menjadi mediator damai di Thailand Selatan, Filipinan Selatan, Myammar dan Afghanistan. Sebelumnya, Gus Dur telah membentuk World Conference on Religion and Peace (WCRP).

Selanjutnya, pada masa Kiai Hasyim Muzadi, NU memfasilitasi pembentukan Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU di pelbagai negara dan menginiasi acara International Conference of Islamic Scholars (ICIS). Pergerakan perdamaian NU semakin berkembang pada masa KH Said Aqil Siroj dengan menginiasiasi International Summit of Moderate Islkamic Leaders (ISOMIL).

Dengan demikian, usaha-usaha NU untuk jembatan perdamaian tersebut telah dimulai satu dekade terakhir. Baik sendiri maupun berkolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil di dalam dan luar negeri.

Misalnya pada 2019 di Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Banjar, Jawa Barat, NU telah merekomendasikan bahwa kategori kafir tidak memiliki dasar hukum dalam sebuah negara bangsa yang modern. Ini penting untuk menegaskan bahwa di Indonesia ada kesetaraan antarwarga Negara, terlepas dari apapun agama, suku, ras, dan bahasanya.

Sedangkan pada 2021, Aliansi Injili Dunia (the World Evangelical Alliance), yang mewakili 600 juta Protestan di 143 negara, telah bergabung dengan NU dan Komunitas Imam W Deen Mohammed menandatangani Pernyataan Masjid Bangsa di Washington, DC.

Jalinan antaraagama dan konflik acap dipahami dalam tiga cara: penyebab, inspirasi, atau faktor yang memperburuk konflik antaragama. Yang terakhir menunjukkan bahwa agama acap digunakan sebagai kendaraan untuk mengaktifkan konflik dan pertentangan, termasuk dalam menciptakan polarisasi untuk memenangkan pemilu.

Namun, sebenarnya tidak ada konflik agama murni di negara mana pun. Konflik itu terkait dengan aspek-aspek lain, seperti ekonomi dan politik.

Beberapa pihak mengklaim agama adalah akar tunggang penyebab konflik kekerasan ketika iman mendefinisikan tujuan akhir. Misalnya, sebuah kelompok ingin mendirikan negara berdasarkan satu agama dalam masyarakat majemuk. Atau ketika agama menginspirasi penindasan masyarakat dengan merangkul agama yang berbeda dan menciptakan kelompok identitas eksklusif sebagai dinding supremasi.

Juga, kelompok-kelompok agama militan memburuk makna agama sebagai perdamaian melalui aksi perang atas nama agama mereka. Yang lain menyiratkan bahwa agama mengilhami kekerasan dengan memberikan ideologi dan wacana absolut yang mendukung perang suci.

Di sini, pejuang agama terlibat dalam perjuangan kosmik antara yang baik dan yang jahat, menghadirkan makna dan mencegah kompromi. Sarjana lain berpendapat bahwa agama dapat disalahgunakan untuk memperburuk konflik ketika elit politik memanipulasi agama untuk mempolitisasi massa demi kepentingan mereka.

Sementara salam memperkuat proses pembangunan perdamaian, agama merupakan faktor yang perlu diperhatikan sebagai akar konflik, beserta aspek ekonomi dan politik. Dalam hal ini, Appleby menekankan bahwa semua agama besar memiliki tradisi yang tidak hanya dapat diaktifkan untuk melegitimasi konflik dan perang tetapi juga dapat berfungsi sebagai sumber daya untuk mempromosikan resolusi konflik tanpa kekerasan dan perdamaian.

Dalam beberapa hal, kelompok militan Islam tampaknya menggunakan agama untuk melegitimasi dan membenarkan konflik. Misalnya, munculnya Boko Haram merupakan hambatan signifikan bagi pembangunan dan pembangunan perdamaian di Nigeria. Demikian pula, Negara Islam Irak dan al-Sham (ISIS) juga menggunakan perintah agama untuk menargetkan komunitas non-Muslim dan Syiah di daerah-daerah di bawah pengaruh mereka.

Ada tiga paradigma atau orientasi utama terkait perubahan yang terjadi melalui dialog: teologis, politik, dan peacebuilding. Pada dasarnya, dialog teologis berkembang dalam studi agama atau teologi, dialog politik dalam ilmu politik dan hubungan internasional, dan dialog pembangunan perdamaian yang terkait dengan transformasi konflik.

Dialog antaragamaberdasarkan teologi bertujuan untuk memahami para pendeta, pemimpin agama akar rumput, dan teolog, umumnya melalui pertukaran makalah, diskusi, panel tematik, dan pelatihan. Tujuannya adalah untuk memahami 'yang lain'. Sementara itu, dialog politik agama bertujuan untuk menghasilkan koeksistensi sosial atau harmoni dan meningkatkan legitimasi aktor dan proses politik yang dirasakan.

Di sisi lain, berdasarkan pembangunan perdamaian, dialog antaragama bertumpu pada model dialog sebelumnya tetapi bergantung pada resolusi konflik dan transformasi. Tipe ketiga, yang disebut dialog agama bertujuan transformasi konflik memiliki empat tujuan.

Pertama, mengubah sikap dan persepsi orang lain. Kedua, membangun rasa hormat dan saling pengertian. Ketiga, memperluas partisipasi dalam kegiatan pembangunan perdamaian. Keempat, membangun kerangka kerja bersama untuk tindakan yang membahas akar konflik.

Sebagai kesimpulan, penulis memandang secara konseptual Forum Dialog Antaragama dan Budaya ASEAN 2023 yang akan dilaksanakan mestinya mendorong transformasi konflik, untuk membedakan dengan beberapa kegiatan forum sejenis yang jatuh pada paradigma tradisional dialog antaragama dan dialog antaragama berorientasi politik.

Akhirnya, Dialog Antaragama dan Budaya yang bertujuan pada transformasi konflik akan bisa memperkuat peran tokoh agama sebagai katalisator dan peacebuilder di wilayah ASEAN yang acap bergolak dengan inspirasu agama.
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1403 seconds (0.1#10.140)