Komnas HAM Menilai Kasus Haris Azhar dan Fatia Tidak Perlu Sampai Dibawa ke Pengadilan

Jum'at, 16 Juni 2023 - 16:18 WIB
loading...
Komnas HAM Menilai Kasus...
Direktur Lokataru Haris Azhar (kiri) dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti (kanan) saat tiba untuk menjalani pemeriksaan kesehatan di Biddokkes Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (6/3/2023). Foto/Antara
A A A
JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM ) merespons terkait kasus pencemaran nama baik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dengan terdakwa Haris Azhar dan Fathia Maulidiyanti yang saat ini sudah disidangkan. Komnas HAM memandang kasus tersebut seharusnya tidak perlu dibawa ke pengadilan.

“Komnas HAM memandang bahwa kasus ini sesungguhnya tidak perlu sampai dibawa ke pengadilan. Namun, karena prosesnya terus bergulir, maka Komnas HAM akan hadir di pengadilan untuk memberikan pandangan HAM, apabila Ketua Pengadilan Negeri Jaktim atau Majelis Hakim perkara tersebut menyetujui untuk dibacakan,” kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sugiro dalam keterangan tertulisnya, Jumat (16/6/2023).

Dia mengatakan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, bahwa Komnas HAM dapat memberikan pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia.





“Komnas HAM berharap akan tumbuhnya kesadaran publik, baik institusi dan aparatur negara maupun masyarakat, mengenai aktivitas pembela HAM, yang dilakukan oleh Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, yang juga banyak dilakukan di daerah lain,” katanya.

Dia menjelaskan, Komnas HAM telah melayangkan surat kepada Kejaksaan Tinggi Nomor: 409/PM.00/K/III/2023. Dalam surat tersebut, Komnas HAM meminta agar penanganan kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti mempertimbangkan status mereka sebagai pembela HAM di bidang lingkungan hidup.

“Yang memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan yang dijamin dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Bab VI angka 1 sampai 3 Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup,” tuturnya.

Dia menuturkan, pembela HAM berperan penting untuk memastikan penghormatan dan perlindungan bagi masyarakat, terlebih masyarakat marginal. “Dalam konteks kasus ini misalnya terkait dengan situasi masyarakat di Papua yang kerap mengalami marginalisasi ekonomi, dan kerusakan lingkungan,” ujarnya.

Dia mengatakan, pemidanaan terhadap mekanisme check and balance terhadap tata kelola pemerintahan merupakan ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat. Komnas HAM berpendapat bahwa dalam kasus yang melibatkan hal-hal yang menjadi perhatian publik, dalam hal ini kepentingan umum. “Maka penggugat atau tergugat harus membuktikan tuduhan fakta yang diduga sebagai pencemaran nama baik,” imbuhnya.

Di samping itu, kata dia, pengadilan harus memprioritaskan penggunaan sanksi di luar sanksi denda maupun sanksi pidana dalam kasus penghinaan, misalnya diberikan hak untuk mengoreksi atau hak untuk menjawab. “Sanksi yang disampaikan secara berlebihan akan menimbulkan dampak meluas yang buruk (chilling effect), di mana warga mengalami ketakutan untuk mengekspresikan pendapatnya terhadap jalannya pemerintahan,” pungkasnya.
(rca)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1903 seconds (0.1#10.140)