Media Harus Bertransformasi untuk Bertahan di Era New Normal

Jum'at, 24 Juli 2020 - 17:42 WIB
loading...
Media Harus Bertransformasi...
Media harus bertransformasi untuk bertahan di era New Normal. Istimewa
A A A
JAKARTA - Para pelaku industri media harus menyiapkan strategi agar bisa bertahan memasuki kehidupan normal baru ( new normal ). Selain mengubah cara kerja jurnalisme, pandemi Covid-19 juga memengaruhi bisnis media secara keseluruhan. Media harus lebih kreatif, adaptatif, dan melakukan mitigasi yang tepat dalam menjalani kondisi new normal.

Demikian terungkap dalam hasil riset media yang dikeluarkan oleh Imogen Communications Institute (ICI). Managing Director Imogen PR sekaligus Principal ICI Jojo S. Nugroho mengatakan, dalam survei terbaru pihaknya menemukan bahwa pandemi Covid-19 paling berpengaruh terhadap pemasukan dan pendapatan bisnis media. "70,2 persen persen responden menjawab bahwa perusahaannya telah terdampak oleh pandemi. Yang paling banyak dikeluhkan adalah menurunnya pemasukan iklan serta berkurangnya sponsor dan user," kata Jojo dalam rilisnya, Jumat (24/7/2020).

Riset bertema 'Transformasi Jurnalisme dan Nasib Bisnis Media Di New Normal' ini melibatkan 124 jurnalis media massa di 10 kota Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Palembang, Medan, Pekanbaru, Makassar, Banjarmasin, Samarinda, dengan metode kuantitatif maupun kualitatif. Hasil temuan penelitian ini mampu memberikan gambaran transformasi proses kerja media dan skala krisis yang dihadapi bisnis media, untuk memberikan insight bagi institusi maupun bisnis di sektor lain untuk bersama-sama bertahan dalam menghadapi tantangan dan krisis.

"Media masih akan terus ada walau tergerus waktu dan kondisi pandemi, tapi diperlukan berbagai strategi adaptasi, mitigasi, dan navigasi yang tepat untuk mengarahkan perusahaan media melalui kondisi ini. Oleh karena itu, perusahaan media perlu mengeluarkan berbagai arahan dan kebijakan yang mampu menunjang produktivitas, menjaga fungsi fundamental media, dan tetap mengutamakan keamanan dan kesehatan," jelas Jojo. ( ).

Menurutnya, segala cara adaptasi yang dilakukan perusahaan dan pekerja media, bukan semata-mata untuk mempertahankan bisnis, tapi juga dibutuhkan untuk tetap memenuhi hak publik akan informasi. "Transformasi cara kerja jurnalisme bukan hanya bentuk adaptasi untuk menyelamatkan bisnis, namun bentuk tanggung jawab pekerja media guna memastikan setiap orang bisa mendapatkan dan mengakses informasi dalam situasi apapun," kata Jojo yang juga Ketua Umum Asosiasi Perusahaan PR Indonesia (APPRI).

Dalam kesempatan sama, Sekjen Asosiasi Perusahaan Pengiklan Indonesia (APPINA) Musa Chandra mengakui pengiklan saat ini memang banyak memakai social media dan influencer, akan tetapi efektivitas dari pendekatan ini sangat tergantung pada ekspektasi jumlah jangkauan dan juga kesesuaian brand dengan influencernya. ( Baca juga: Era New Normal Lahirkan Percepatan Disrupsi Media ).

"Pemilihan social media dan influencer memang meningkat pesat belakangan ini, karena dapat diukur melalui konversi dengan potensi penjualan yang diciptakan melalui investasi iklan. Social media dan influencer harus bersinergi, social media akan lebih mudah diterima atau menjangkau lebih banyak para calon konsumennya, sedangkan influencer sebagai virality ataupun creative storyteller dengan gaya bahasa masing-masing," paparnya.

Lalu bagaimana solusinya agar media konvensional dapat kembali dipilih menjadi target pengiklan, Musa menjelaskan bahwa tujuan dari pengiklan adalah menjangkau sebanyak mungkin para (calon) konsumennya, sehingga media televisi masih tetap menjadi pilihan dibanding media lain.

"Ini adalah perang dari eyeball dan perhatian atau attention. Para pengiklan ingin menjangkau sebanyak mungkin konsumen. Jangkauan media adalah hal pertama yang harus dicapai dan diverifikasi, sebelum kita semua dapat berdiskusi mengenai dampak positif yang mungkin dibawa oleh media tersebut untuk menimbulkan minat dan permintaan masyarakat. Media konvensional seperti televisi tetap menjadi pilihan kami," jelasnya.

Lebih lanjut Jojo menambahkan media juga bisa berkolaborasi dengan para praktisi PR atau humas karena mereka juga memiliki kepentingan agar media tetap bertahan. Media dan humas bisa merumuskan produk atau jasa yang bisa mengakomodir kebutuhan humas untuk mempublikasikan informasi namun sekaligus memberikan pemasukan kepada media. "Komodifikasi berita di media massa selama ini sesuatu yang enggan untuk dibahas, namun para praktiknya terjadi di jalur belakang. Nah sekarang saatnya untuk dibahas bareng agar industri media bisa bertahan," tutup Jojo.( ).
(zik)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2424 seconds (0.1#10.140)