Kasus Dugaan Suap, MA Bisa Nonaktifkan Hasbi Hasan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) dinilai bisa menonaktifkan Hasbi Hasan dari jabatan Sekretaris MA. Langkah tersebut sebagai tanggung jawab etika dan moral mengingat Hasbi Hasan berstatus tersangka kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA.
Pakar Hukum Adminitrasi Negara (HAN) Universitas Bengkulu Beni Kurnia Ilahi mengatakan, dugaan menerima suap Hasbi Hasan merupakan bentuk perbuatan penyimpangan terhadap institusi peradilan. Karena itu, tak bisa hanya dijerat dengan hukum pidana, tetapi harus ada sanksi moral.
"Perbuatan dia ini sudah mencoreng institusi peradilan. Jadi bukan hanya penegakan hukum, tapi harus ada penegakan etika dan moral yang dilaksanakan oleh Ketua MA," kata Beni dalam keterangan tertulis, Kamis (9/6/2023).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 17 Tahun 2020 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS), ketika seorang PNS berstatus sebagai tersangka dan ditahan, aparat penegak hukum dapat menginstruksikan kepada pejabat pembina kepegawaian untuk memberhentikan sementara pejabat tersebut. Selanjutnya, setelah keluar keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, tersangka dapat diberhentikan secara tidak hormat.
"Dalam kasus ini yang dapat memberhentikan adalah ketua MA," papar Beni.
Ia berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat memberikan rekomendasi kepada Ketua MA untuk menindak bawahan yang tersangkut kasus korupsi. Sebagai kepala pemerintahan, presiden punya wewenang karena institusi MA menjadi bagian yang menjalankan fungsi yudikatif di pemerintahan.
Apalagi selama ini institusi peradilan, khususnya MA dan lembaga peradilan di level bawah telah menjadi sorotan masyarakat dan media. Perlu adanya sikap presiden untuk memperbaiki citra lembaga peradilan di Tanah Air.
Terpisah, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman mengatakan, kasus yang menimpa Hasbi Hasan bukan pertama kali terjadi. Penyimpangan juga pernah dilakukan sejumlah hakim agung, sekretaris, dan sejumlah pegawai MA. Hal ini mengesankan adanya keterlibatan di semua level dengan berbagai posisi jabatan dalam kasus jual beli perkara.
"Ini menunjukan telah terjadi kerusakan moral secara sistemik. Sudah seperti kanker yang menggegrogoti tubuh MA," kata Zaenur.
Dia menduga penyebab dari berulangnya kasus di internal MA adalah faktor kebiasaan. Terjadinya kasus gratifikasi serta jual beli perkara menunjukkan seakan menjadi budaya yang sudah berlangsung sejak puluhan tahun sampai hari ini.
"Karena sudah menjadi budaya, faktor pertama adalah mengubah kultur korup dari lembaga peradilan. Perlu perbaikin mendasar, perbaikan sistem pengawasannya, dan pengawasan internal oleh Bawas MA, dan eksternal KY," kata Zaenur.
Untuk diketahui, KPK telah menetapkan Hasbi Hasan dan pihak swasta Dadan Tri Yudianto sebagai tersangka dalam kasus suap pengurusan perkara di MA. Nama Hasbi Hasan dan Dadan Tri Yudianto diketahui muncul dalam dakwaan kasus suap pengurusan perkara kasasi di MA yang sedang berproses di Pengadilan Tipikor Bandung.
Dalam dakwaan tersebut, Hasbi Hasan disebut sempat bertemu dengan pengacara yang menggugat kasasi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana, Theodorus Yosep Parera dan Eko Suparno. Hasbi Hasan dikenalkan ke Theodorus Yosep Parera dan Eko Suparno lewat Dadan Tri Yudianto.
Dadan disebut dalam dakwaan perkara ini telah menerima Rp11,2 miliar dari Theodorus Yosep dan Eko Suparno. Uang itu diduga berkaitan dengan pengurusan perkara di MA.
KPK sudah mengantongi bukti aliran dana terkait dugaan suap pengurusan perkara untuk Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Hasbi Hasan. Dugaan aliran dana tersebut telah dikonfirmasi penyidik KPK kepada Hasbi Hasan pada Kamis, 9 Maret 2023.
KPK baru menahan Dadan Tri Yudianto pada Selasa (6/6/2023) malam ini. Sementara Hasbi belum ditahan bahkan sedang mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan status tersangka oleh KPK.
Pakar Hukum Adminitrasi Negara (HAN) Universitas Bengkulu Beni Kurnia Ilahi mengatakan, dugaan menerima suap Hasbi Hasan merupakan bentuk perbuatan penyimpangan terhadap institusi peradilan. Karena itu, tak bisa hanya dijerat dengan hukum pidana, tetapi harus ada sanksi moral.
"Perbuatan dia ini sudah mencoreng institusi peradilan. Jadi bukan hanya penegakan hukum, tapi harus ada penegakan etika dan moral yang dilaksanakan oleh Ketua MA," kata Beni dalam keterangan tertulis, Kamis (9/6/2023).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 17 Tahun 2020 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS), ketika seorang PNS berstatus sebagai tersangka dan ditahan, aparat penegak hukum dapat menginstruksikan kepada pejabat pembina kepegawaian untuk memberhentikan sementara pejabat tersebut. Selanjutnya, setelah keluar keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, tersangka dapat diberhentikan secara tidak hormat.
"Dalam kasus ini yang dapat memberhentikan adalah ketua MA," papar Beni.
Ia berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat memberikan rekomendasi kepada Ketua MA untuk menindak bawahan yang tersangkut kasus korupsi. Sebagai kepala pemerintahan, presiden punya wewenang karena institusi MA menjadi bagian yang menjalankan fungsi yudikatif di pemerintahan.
Apalagi selama ini institusi peradilan, khususnya MA dan lembaga peradilan di level bawah telah menjadi sorotan masyarakat dan media. Perlu adanya sikap presiden untuk memperbaiki citra lembaga peradilan di Tanah Air.
Terpisah, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman mengatakan, kasus yang menimpa Hasbi Hasan bukan pertama kali terjadi. Penyimpangan juga pernah dilakukan sejumlah hakim agung, sekretaris, dan sejumlah pegawai MA. Hal ini mengesankan adanya keterlibatan di semua level dengan berbagai posisi jabatan dalam kasus jual beli perkara.
"Ini menunjukan telah terjadi kerusakan moral secara sistemik. Sudah seperti kanker yang menggegrogoti tubuh MA," kata Zaenur.
Dia menduga penyebab dari berulangnya kasus di internal MA adalah faktor kebiasaan. Terjadinya kasus gratifikasi serta jual beli perkara menunjukkan seakan menjadi budaya yang sudah berlangsung sejak puluhan tahun sampai hari ini.
"Karena sudah menjadi budaya, faktor pertama adalah mengubah kultur korup dari lembaga peradilan. Perlu perbaikin mendasar, perbaikan sistem pengawasannya, dan pengawasan internal oleh Bawas MA, dan eksternal KY," kata Zaenur.
Untuk diketahui, KPK telah menetapkan Hasbi Hasan dan pihak swasta Dadan Tri Yudianto sebagai tersangka dalam kasus suap pengurusan perkara di MA. Nama Hasbi Hasan dan Dadan Tri Yudianto diketahui muncul dalam dakwaan kasus suap pengurusan perkara kasasi di MA yang sedang berproses di Pengadilan Tipikor Bandung.
Dalam dakwaan tersebut, Hasbi Hasan disebut sempat bertemu dengan pengacara yang menggugat kasasi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana, Theodorus Yosep Parera dan Eko Suparno. Hasbi Hasan dikenalkan ke Theodorus Yosep Parera dan Eko Suparno lewat Dadan Tri Yudianto.
Dadan disebut dalam dakwaan perkara ini telah menerima Rp11,2 miliar dari Theodorus Yosep dan Eko Suparno. Uang itu diduga berkaitan dengan pengurusan perkara di MA.
KPK sudah mengantongi bukti aliran dana terkait dugaan suap pengurusan perkara untuk Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Hasbi Hasan. Dugaan aliran dana tersebut telah dikonfirmasi penyidik KPK kepada Hasbi Hasan pada Kamis, 9 Maret 2023.
KPK baru menahan Dadan Tri Yudianto pada Selasa (6/6/2023) malam ini. Sementara Hasbi belum ditahan bahkan sedang mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan status tersangka oleh KPK.
(abd)