PKPU soal Keterwakilan Perempuan Digugat, Eks Komisioner KPU: Masih Ada Waktu
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pasal 8 Ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum ( PKPU ) Nomor 10 Tahun 2023 terkait perhitungan 30% jumlah bakal calon anggota legislatif ( caleg ) perempuan digugat Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (MPKP) ke Mahkamah Agung (MA) pada Senin (5/6/2023). Uji materi itu diajukan demi menjamin kesempatan partisipasi perempuan di parlemen.
Presidium Nasional Jaringan Demokrasi Indonesia yang juga mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay menilai masih ada waktu untuk menggugat PKPU yang dinilainya mencederai soal keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2024. Pelaksanaan uji materi di MK umumnya memakan waktu sebulan atau 30 hari.
Meskipun memakan waktu yang cukup panjang, menurut dia masih ada waktu untuk memastikan keterwakilan perempuan. "Ini prosesnya akan 30 hari ya, dan menurut saya, itu tidak ada masalah. Apalagi di dalam PKPU kita itu, itu ada ruang di mana perubahan urutan, nama, dapil, itu sampai bagian atau tahap akhir sebelum penetapan DPT. Jadi ruang itu masih besar. Jadi tidak bisa juga kita terima kalau ini menjadi alasan," ujar Hadar Nafis Gumay.
Dirinya meminta penyelenggara KPU bekerja sesuai konstitusi dan tidak membatasi keterwakilan bakal caleg perempuan dalam Pemilu 2024. "Yang terpenting adalah penyelenggara pemilu itu bekerja sesuai UU, sesuai dengan janji mereka waktu diangkat menjadi anggota KPU. Itu yang terpenting. Jadi ruangnya masih banyak. Kira-kira begitu," jelasnya.
Hadar meyakini masih ada waktu untuk memperjuangkan kesetaraan gender dengan memastikan keterwakilan perempuan terjaga dalam Pemilu 2024. "Merubah sistem pemilu pun (proporsional terbuka atau proporsional tertutup) kabarnya masih ada ruang kok. Mereka ngaku begitu kan? Masa ini yang lebih kecil, ini yang dikatakan tidak ada ruangnya. Jadi masih banyak ruangnya untuk merombak itu," ungkapnya.
Apabila hasil uji materi tidak sesuai harapan, Hadar Nafis bersama MPKP dan lembaga organisasi terkait lainnya akan mencari cara lainnya untuk memastikan keterwakilan perempuan di Pemilu 2024 dijalankan sesuai UU dan konstitusi.
"Kita pikir lagi, kita harus cari jalan selalu. Jangan sampai pemilu kita ini berantakan gara-gara dilaksanakan tidak sesuai dengan undang-undang. Ini risikonya besar sekali buat bangsa kita, buat negara kita. Kita cari jalan selalu, mudah-mudahan akan ada jalannya," pungkasnya.
Diketahui, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan terkait telah mengajukan permohonan pengujian materil Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota kepada MA. Permohonan yang diajukan diwakili oleh lima pemohon (dua badan hukum privat dan tiga perseorangan) yakni Perludem, Koalisi Perempuan Indonesia, Hadar Nafis Gumay, Titi Anggraini, dan Wahidah Suaib.
Dalam permohonan tersebut pihaknya juga mengajukan dua orang ahli yakni Rotua Valentina Sagala dan Ida Budhiati untuk memperkuat dalil-dalil permohonan yang diajukan.
Pada permohonan ini, MPKP mengajukan pengujian terhadap Pasal 8 ayat (2) PKPU tersebut (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 348) terhadap Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, Pasal 245 UU Pemilu dan UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimanation Against Women).
Bunyi Pasal 8 ayat (2) PKPU tersebut adalah “dalam hal penghitungan 30% jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai: (a) Kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah; atau (b) 50 atau lebih hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.
Para pemohon meminta kepada MA untuk menyatakan Pasal 8 ayat (2) PKPU tersebut bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women).
Pemohon juga meminta untuk ketentuan Pasal 8 ayat (2) PKPU itu dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas.”
Sehingga pasal a quo selengkapnya berbunyi: Pasal 8 ayat (2): “Dalam hal penghitungan 30 persen (tiga puluh persen) jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas".
Presidium Nasional Jaringan Demokrasi Indonesia yang juga mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay menilai masih ada waktu untuk menggugat PKPU yang dinilainya mencederai soal keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2024. Pelaksanaan uji materi di MK umumnya memakan waktu sebulan atau 30 hari.
Meskipun memakan waktu yang cukup panjang, menurut dia masih ada waktu untuk memastikan keterwakilan perempuan. "Ini prosesnya akan 30 hari ya, dan menurut saya, itu tidak ada masalah. Apalagi di dalam PKPU kita itu, itu ada ruang di mana perubahan urutan, nama, dapil, itu sampai bagian atau tahap akhir sebelum penetapan DPT. Jadi ruang itu masih besar. Jadi tidak bisa juga kita terima kalau ini menjadi alasan," ujar Hadar Nafis Gumay.
Dirinya meminta penyelenggara KPU bekerja sesuai konstitusi dan tidak membatasi keterwakilan bakal caleg perempuan dalam Pemilu 2024. "Yang terpenting adalah penyelenggara pemilu itu bekerja sesuai UU, sesuai dengan janji mereka waktu diangkat menjadi anggota KPU. Itu yang terpenting. Jadi ruangnya masih banyak. Kira-kira begitu," jelasnya.
Hadar meyakini masih ada waktu untuk memperjuangkan kesetaraan gender dengan memastikan keterwakilan perempuan terjaga dalam Pemilu 2024. "Merubah sistem pemilu pun (proporsional terbuka atau proporsional tertutup) kabarnya masih ada ruang kok. Mereka ngaku begitu kan? Masa ini yang lebih kecil, ini yang dikatakan tidak ada ruangnya. Jadi masih banyak ruangnya untuk merombak itu," ungkapnya.
Apabila hasil uji materi tidak sesuai harapan, Hadar Nafis bersama MPKP dan lembaga organisasi terkait lainnya akan mencari cara lainnya untuk memastikan keterwakilan perempuan di Pemilu 2024 dijalankan sesuai UU dan konstitusi.
"Kita pikir lagi, kita harus cari jalan selalu. Jangan sampai pemilu kita ini berantakan gara-gara dilaksanakan tidak sesuai dengan undang-undang. Ini risikonya besar sekali buat bangsa kita, buat negara kita. Kita cari jalan selalu, mudah-mudahan akan ada jalannya," pungkasnya.
Diketahui, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan terkait telah mengajukan permohonan pengujian materil Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota kepada MA. Permohonan yang diajukan diwakili oleh lima pemohon (dua badan hukum privat dan tiga perseorangan) yakni Perludem, Koalisi Perempuan Indonesia, Hadar Nafis Gumay, Titi Anggraini, dan Wahidah Suaib.
Dalam permohonan tersebut pihaknya juga mengajukan dua orang ahli yakni Rotua Valentina Sagala dan Ida Budhiati untuk memperkuat dalil-dalil permohonan yang diajukan.
Pada permohonan ini, MPKP mengajukan pengujian terhadap Pasal 8 ayat (2) PKPU tersebut (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 348) terhadap Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, Pasal 245 UU Pemilu dan UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimanation Against Women).
Bunyi Pasal 8 ayat (2) PKPU tersebut adalah “dalam hal penghitungan 30% jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai: (a) Kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah; atau (b) 50 atau lebih hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.
Para pemohon meminta kepada MA untuk menyatakan Pasal 8 ayat (2) PKPU tersebut bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women).
Pemohon juga meminta untuk ketentuan Pasal 8 ayat (2) PKPU itu dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas.”
Sehingga pasal a quo selengkapnya berbunyi: Pasal 8 ayat (2): “Dalam hal penghitungan 30 persen (tiga puluh persen) jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas".
(rca)