Digigit Nyamuk! Jenderal TNI AD Ini Gagal Sandang Baret Merah karena Tak Kuat Berjalan 10 Hari ke Nusakambangan
loading...
A
A
A
Alhasil dari kegiatannya membantu Mayor Gunawan dan Mayor Heru berakumulasi kepada peningkatan jumlah jam terjun yang sangat signifikan. Bisa dibilang hingga saat itu, jam terjun Soegito paling tinggi dari semua perwira lulusan AMN 61. Karena jam terjun yang cukup banyak itu, di kemudian hari di atas wing terjunnya ditambahkan bintang dan bintang merah sekembalinya Dili tahun 1976.
Di sela-sela tugas sambil menunggu dibukanya pendidikan komando, Soegito memeriksakan ke dokter mencari tahu penyebab sakit di kakinya yang menyebabkannya gagal mengikuti pendidikan komando. Hasil diagnosa dokter menyebutkan ia terkena malaria, yang salah satunya menyebabkan sakit di persendian kaki dan daya tahan tubuhnya menurun.
Flashback kejadian sebelumnya ketika merasakan sakit saat mengikuti program Infanteri Diperberat dan saat Operasi Tumpas, Soegito yakin sepertinya ia tersengat nyamuk yang membawa parasit plasmodium itu saat berdinas di Rindam, Padang. Virusnya mendekam sekian tahun di dalam tubuhnya. Terutama di sendi-sendinya.
Akhirnya kesempatan kedua untuk mengikuti pendidikan komando tiba juga. Karena sudah pernah menjalaninya, Soegito malah menikmati setiap tahap yang dilaluinya. Bahkan pada tahap long march, petanya disimpan di ransel sewaktu memasuki wilayah Kabupaten Cilacap dan langkahnya diikuti oleh peserta yang lain, yang semuanya adalah juniornya.
Salah satu kenangannya saat pendidikan komando pada tahap pendaratan di Cilacap adalah disuruh salto oleh bintara pelatih dari sebuah ketinggian. Alasan pelatih sederhana sekali, hanya karena Soegito orang Cilacap. Alasan yang jelas-jelas tidak ada korelasinya. Beberapa tahun kemudian, pelatih asal Aceh yang dikenal galak itu menjadi anggotanya saat diterjunkan di Dili, Desember 1975.
Usai menjalani pendidikan dasar komando, Soegito ditempatkan sebagai Komandan Kompi di Batalion 2 RPKAD di Magelang. Saat itu RPKAD baru memiliki dua batalion, dengan Batalion 1 di Cijantung. Setelah itu Soegito ditarik ke Cijantung dan diserahi jabatan Danki A Batalion 1.
Di sela-sela tugas sambil menunggu dibukanya pendidikan komando, Soegito memeriksakan ke dokter mencari tahu penyebab sakit di kakinya yang menyebabkannya gagal mengikuti pendidikan komando. Hasil diagnosa dokter menyebutkan ia terkena malaria, yang salah satunya menyebabkan sakit di persendian kaki dan daya tahan tubuhnya menurun.
Flashback kejadian sebelumnya ketika merasakan sakit saat mengikuti program Infanteri Diperberat dan saat Operasi Tumpas, Soegito yakin sepertinya ia tersengat nyamuk yang membawa parasit plasmodium itu saat berdinas di Rindam, Padang. Virusnya mendekam sekian tahun di dalam tubuhnya. Terutama di sendi-sendinya.
Akhirnya kesempatan kedua untuk mengikuti pendidikan komando tiba juga. Karena sudah pernah menjalaninya, Soegito malah menikmati setiap tahap yang dilaluinya. Bahkan pada tahap long march, petanya disimpan di ransel sewaktu memasuki wilayah Kabupaten Cilacap dan langkahnya diikuti oleh peserta yang lain, yang semuanya adalah juniornya.
Salah satu kenangannya saat pendidikan komando pada tahap pendaratan di Cilacap adalah disuruh salto oleh bintara pelatih dari sebuah ketinggian. Alasan pelatih sederhana sekali, hanya karena Soegito orang Cilacap. Alasan yang jelas-jelas tidak ada korelasinya. Beberapa tahun kemudian, pelatih asal Aceh yang dikenal galak itu menjadi anggotanya saat diterjunkan di Dili, Desember 1975.
Usai menjalani pendidikan dasar komando, Soegito ditempatkan sebagai Komandan Kompi di Batalion 2 RPKAD di Magelang. Saat itu RPKAD baru memiliki dua batalion, dengan Batalion 1 di Cijantung. Setelah itu Soegito ditarik ke Cijantung dan diserahi jabatan Danki A Batalion 1.
(kri)