Sistem Proporsional Tertutup Dianggap Potensial Tingkatkan Nepotisme dan Oligarki
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wacana penerapan sistem pemilu tertutup diyakini memicu adanya dampak negatif bagi banyak calon anggota legislatif (caleg) dan partainya. Konsekuensi tersebut akan terasa oleh partai politik dan caleg yang sudah resmi mendaftarkan dirinya.
Pengamat politik dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan bahwa dampak negatif yang terjadi jika diterapkannya sistem proporsional tertutup adalah mengakarnya oligarki di parlemen. Hal itu dikarenakan sedikitnya persentase caleg untuk lolos ke Senayan jika partainya berada di nomor urut terbawah.
“Pada sistem tertutup partai menjadi sangat powerful dan anggota partai hanya sekrup-sekrup kecil yang nasibnya akan ditentukan sepenuhnya oleh partai,” ujar Lucius, Selasa (30/5/2023).
Sistem proporsional tertutup dinilai cenderung akan membuat para partai politik yang berkuasa bebas menentukan calegnya sendiri. Lucius mengatakan bahwa hal paling ditakutkan yaitu parpol yang berkuasa nantinya akan memilih anggota keluarga atau kerabatnya sendiri untuk menjadi calegnya.
Parpol yang berkuasa juga cenderung akan menempati nomor urut pertama dan mengunci tiket kursi parlemen. Artinya, kata dia, hanya partai besar yang dapat bertarung di kancah teratas politik Indonesia.
Sedangkan untuk partai nomor urut besar, menurut Lucius, hanya akan gigit jari karena persentase lolos ke parlemen amat sangat kecil. Hal seperti itu justru akan memperburuk wajah DPR karena proses rekrutmen anggota legislatif bergantung pada elektabilitas partai.
“Kecenderungan tata kelola parpol yang oligarki akan mendapatkan dukungan dari sistem yang tertutup karena parpol berkuasa menentukan caleg dari lingkaran keluarga atau kerabat yang akan menempati nomor urut 1 yang sekaligus berarti bahwa peluang memperoleh kursi,” tambahnya.
Dia menambahkan, pola sistem proporsional tertutup sangat tidak sejalan dengan semangat demokrasi Indonesia dan napas reformasi. Para legislator yang terpilih pun berpotensi hanya membawa beban politik dan kepentingan partai sehingga semakin membuat DPR kontraproduktif.
“Bagaimana bisa membawa perubahan jika semua anggota DPR sejak awal sudah dalam cengkeraman parpol dan oligarki,” pungkasnya.
Pengamat politik dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan bahwa dampak negatif yang terjadi jika diterapkannya sistem proporsional tertutup adalah mengakarnya oligarki di parlemen. Hal itu dikarenakan sedikitnya persentase caleg untuk lolos ke Senayan jika partainya berada di nomor urut terbawah.
“Pada sistem tertutup partai menjadi sangat powerful dan anggota partai hanya sekrup-sekrup kecil yang nasibnya akan ditentukan sepenuhnya oleh partai,” ujar Lucius, Selasa (30/5/2023).
Sistem proporsional tertutup dinilai cenderung akan membuat para partai politik yang berkuasa bebas menentukan calegnya sendiri. Lucius mengatakan bahwa hal paling ditakutkan yaitu parpol yang berkuasa nantinya akan memilih anggota keluarga atau kerabatnya sendiri untuk menjadi calegnya.
Parpol yang berkuasa juga cenderung akan menempati nomor urut pertama dan mengunci tiket kursi parlemen. Artinya, kata dia, hanya partai besar yang dapat bertarung di kancah teratas politik Indonesia.
Sedangkan untuk partai nomor urut besar, menurut Lucius, hanya akan gigit jari karena persentase lolos ke parlemen amat sangat kecil. Hal seperti itu justru akan memperburuk wajah DPR karena proses rekrutmen anggota legislatif bergantung pada elektabilitas partai.
“Kecenderungan tata kelola parpol yang oligarki akan mendapatkan dukungan dari sistem yang tertutup karena parpol berkuasa menentukan caleg dari lingkaran keluarga atau kerabat yang akan menempati nomor urut 1 yang sekaligus berarti bahwa peluang memperoleh kursi,” tambahnya.
Dia menambahkan, pola sistem proporsional tertutup sangat tidak sejalan dengan semangat demokrasi Indonesia dan napas reformasi. Para legislator yang terpilih pun berpotensi hanya membawa beban politik dan kepentingan partai sehingga semakin membuat DPR kontraproduktif.
“Bagaimana bisa membawa perubahan jika semua anggota DPR sejak awal sudah dalam cengkeraman parpol dan oligarki,” pungkasnya.
(rca)