KPK Beberkan Modus Korupsi di Lapas, dari Pungli hingga Penyalahgunaan Anggaran
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan sejumlah modus korupsi di lembaga pemasyarakatan ( lapas ) berdasarkan laporan masyarakat. Praktik korupsi itu dari mulai pungutan liar (pungli) hingga penyalahgunaan anggaran.
"KPK juga telah menerima sejumlah aduan masyarakat menyoal modus korupsi dalam lapas, mulai pungutan liar (pungli) dan suap-menyuap, penyalahgunaan anggaran, penyalahgunaan wewenang, hingga pengadaan barang/jasa," kata Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri melalui pesan singkatnya, Rabu (10/5/2023).
Karena itu, KPK mendorong perbaikan tata kelola di lapas. Sebab, berdasarkan hasil kajian KPK, lapas merupakan sektor yang juga sangat rentan terjadinya tindak pidana korupsi. Bahkan, KPK pernah mengungkap praktik korupsi di Lapas Sukamiskin pada 2018.
"Pada tahun 2018, KPK melakukan kegiatan tangkap tangan pada Kepala Lapas Sukamiskin, atas dugaan suap dan pemberian fasilitas mewah bagi penghuni di lapas," ujarnya.
KPK telah melakukan berbagai upaya, mulai dari pencegahan hingga kajian pada 2018. Lembaga antirasuah itu menemukan berbagai permasalahan dalam pengelolaan lapas, di antaranya kerugian negara akibat pemasalahan overstay.
Kemudian, lemahnya mekanisme check and balance pejabat dan staf Unit Pelaksana Teknis (UPT) rutan atau lapas dalam pemberian remisi kepada Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Selanjutnya, diistimewakannya napi tipikor di rutan atau lapas.
"Risiko penyalahgunaan kelemahan Sistem Data Pemasyarakatan (SDP) serta risiko korupsi pada penyediaan bahan makanan," kata Ali.
Dari temuan itu menunjukkan tata kelola lapas merupakan suatu urgensi yang harus segera diperbaiki demi memitigasi risiko korupsi. Dalam kajian tersebut KPK menyampaikan rekomendasi perbaikan.
Rekomendasi KPK jangka pendek terkait masalah lapas adalah membuat dan menyepakati Standar Operasional Prosedur (SOP) tentang pengembalian tahanan yang habis dasar penahanannya kepada pihak penahan. Kesepakatan itu dapat dilakukan Kementerian hukum dan HAM bersama-sama dengan penegak hukum terkait.
Kemudian, mengubah sistem pemberian remisi dari positive list menjadi negative list dengan memanfaatkan Sistem Database Pemasyarakatan (SDPP). Lantas, mengubah mekanisme pemberian remisi dari positive list menjadi negative list.
"Artinya narapidana yang tidak melakukan pelanggaran, secara otomatis berhak mendapatkan remisi. Sedangkan narapidana yang melakukan pelanggaran, akan dimasukkan ke dalam register F dan tidak berhak mendapat remisi," kata Ali.
KPK juga meminta agar pemberian remisi harus dilakukan secara transparan dan akuntabel supaya bisa mengurangi jumlah napi dalam rutan dan lapas akibat overcrowded dan overcapacity. KPK berharap Hal itu bisa menutup celah suap-menyuap dari pola interaksi petugas dan narapidana untuk membeli remisi.
"Melengkapi pedoman teknis SDP dan melaksanakan pelatihan SDP bagi operator secara intensif. Membuat mekanisme bon penerimaan untuk bahan makanan dan melakukan reviu atas kinerja vendor," katanya.
KPK juga merekomendasikan agar ada sistem pengawasan internal di level wilayah. Kemudian, membangun mekanisme whistle blower system yang efektif dan terintegrasi dengan inspektorat serta membuat koneksi SDP dengan Sistem Informasi Penanganan Perkara (SIPP).
"KPK juga telah menerima sejumlah aduan masyarakat menyoal modus korupsi dalam lapas, mulai pungutan liar (pungli) dan suap-menyuap, penyalahgunaan anggaran, penyalahgunaan wewenang, hingga pengadaan barang/jasa," kata Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri melalui pesan singkatnya, Rabu (10/5/2023).
Karena itu, KPK mendorong perbaikan tata kelola di lapas. Sebab, berdasarkan hasil kajian KPK, lapas merupakan sektor yang juga sangat rentan terjadinya tindak pidana korupsi. Bahkan, KPK pernah mengungkap praktik korupsi di Lapas Sukamiskin pada 2018.
"Pada tahun 2018, KPK melakukan kegiatan tangkap tangan pada Kepala Lapas Sukamiskin, atas dugaan suap dan pemberian fasilitas mewah bagi penghuni di lapas," ujarnya.
KPK telah melakukan berbagai upaya, mulai dari pencegahan hingga kajian pada 2018. Lembaga antirasuah itu menemukan berbagai permasalahan dalam pengelolaan lapas, di antaranya kerugian negara akibat pemasalahan overstay.
Kemudian, lemahnya mekanisme check and balance pejabat dan staf Unit Pelaksana Teknis (UPT) rutan atau lapas dalam pemberian remisi kepada Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Selanjutnya, diistimewakannya napi tipikor di rutan atau lapas.
"Risiko penyalahgunaan kelemahan Sistem Data Pemasyarakatan (SDP) serta risiko korupsi pada penyediaan bahan makanan," kata Ali.
Baca Juga
Dari temuan itu menunjukkan tata kelola lapas merupakan suatu urgensi yang harus segera diperbaiki demi memitigasi risiko korupsi. Dalam kajian tersebut KPK menyampaikan rekomendasi perbaikan.
Rekomendasi KPK jangka pendek terkait masalah lapas adalah membuat dan menyepakati Standar Operasional Prosedur (SOP) tentang pengembalian tahanan yang habis dasar penahanannya kepada pihak penahan. Kesepakatan itu dapat dilakukan Kementerian hukum dan HAM bersama-sama dengan penegak hukum terkait.
Kemudian, mengubah sistem pemberian remisi dari positive list menjadi negative list dengan memanfaatkan Sistem Database Pemasyarakatan (SDPP). Lantas, mengubah mekanisme pemberian remisi dari positive list menjadi negative list.
"Artinya narapidana yang tidak melakukan pelanggaran, secara otomatis berhak mendapatkan remisi. Sedangkan narapidana yang melakukan pelanggaran, akan dimasukkan ke dalam register F dan tidak berhak mendapat remisi," kata Ali.
KPK juga meminta agar pemberian remisi harus dilakukan secara transparan dan akuntabel supaya bisa mengurangi jumlah napi dalam rutan dan lapas akibat overcrowded dan overcapacity. KPK berharap Hal itu bisa menutup celah suap-menyuap dari pola interaksi petugas dan narapidana untuk membeli remisi.
"Melengkapi pedoman teknis SDP dan melaksanakan pelatihan SDP bagi operator secara intensif. Membuat mekanisme bon penerimaan untuk bahan makanan dan melakukan reviu atas kinerja vendor," katanya.
KPK juga merekomendasikan agar ada sistem pengawasan internal di level wilayah. Kemudian, membangun mekanisme whistle blower system yang efektif dan terintegrasi dengan inspektorat serta membuat koneksi SDP dengan Sistem Informasi Penanganan Perkara (SIPP).
(abd)