Merayakan Intelektualisme dan Kepakaran

Selasa, 02 Mei 2023 - 14:02 WIB
loading...
Merayakan Intelektualisme dan Kepakaran
Abu Rokhmad Musaki, Plt Rektor UIN Sumatera Utara Medan. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Abu Rokhmad Musaki
Plt Rektor UIN Sumatera Utara Medan

Konferensi Internasional Tahunan Studi Islam ke-22 atau AICIS XXII (Annual International Conference on Islamic Studies) digelar di Surabaya pada 2-5 Mei 2023. Konferensi ini diselenggarakan Ditjen Pendidikan Islam Kemenag yang dihadiri para pakar studi Islam (ulama pesantren dan cendekiawan kampus) multidisipliner dari dalam dan luar negeri. Pembicara bukan hanya dari IAIN/ UIN, tetapi juga pesantren dan perguruan tinggi umum.

Konferensi ini mengambil tema Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peace dengan beberapa sub tema yang sangat menarik diikuti. Tema ini sangat krusial untuk dikaji, sebab bagi muslim fiqh is everything atau everything is fiqh. Seluruh kehidupan seorang muslim dipengaruhi dan berusaha disesuaikan oleh dan dengan fikih.

Fikih selau menarik dikaji, baik dalam pengajian atau kajian. Pengajian dan kajian dipastikan riuh kalau yang dibahas fikih. Fikih pula yang dijadikan untuk menjustifikasi absah atau tidaknya ibadah atau bahkan keislaman seseorang.

Terus terang, fikih memang membawa solusi, tetapi juga melahirkan problem. Damai atau perang dasarnya fikih. Karena itu, fikih peradaban (fiqh al-hadarat) yang diusung oleh PBNU menjadi masuk akal untuk suarakan.

Setiap tahun, forum AICIS selalu dinanti—khususnya—oleh para speaker muda yang mengajukan paper untuk dipresentasikan. Mereka bangga dapat tampil di stage konferensi internasional sebesar ini.

Mereka juga dapat bertemu dan berdiskusi dengan kolega, teman dan para guru besar dari seluruh Indonesia, termasuk pada pembicara dari luar negeri. Jaringan riset internasional sangat mungkin terbentuk pada forum ini.

Jika beruntung, mereka dapat berjumpa dengan teman satu kelas atau bahkan dosen favorit waktu kuliah dulu. Forum ilmiah ini bisa menjadi ajang reuni dan sekaligus rihlah ilmiah yang menyenangkan.

Apapun nama forumnya, diskusi, dialog dan bertukar pikiran tentang sains dan teknologi merupakan inti dari konferensi. Suatu sikap ilmiah yang tidak boleh hilang dan harus selalu dirawat adanya. Kampus menjadi tempat ideal untuk melestarikan tradisi ilmiah itu agar muncul gagasan-gagasan baru yang mencerahkan.

Kampus harus menjadi penyangga, penjaga dan pengaman tradisi ilmiah yang terbuka dan otonom. Pimpinan kampus perlu memprioritaskan dan mengalokasikan anggaran yang cukup untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan ilmiah ini. Tidak boleh muncul anggapan di kampus bahwa forum ilmiah tidak berguna dan hanya menghabiskan anggaran saja.

Ruh Kaum Cendekia
Diskusi dalam berbagai bentuk dan forum merupakan bagian dari intelektualisme. Bukan hanya diskusi lisan saja dalam forum ilmiah, tetapi dan terutama lewat tulisan. Lahirnya riset, artikel jurnal dan diterbitkannya buku-buku merupakan ujung dari diskusi yang tidak pernah selesai itu.

Untuk dapat melakukan diskusi yang berkualitas, dibutuhkan modal yang cukup. Banyak membaca buku dan sumber referensi yang berkualitas, melakukan riset, terbiasa menulis dan terlatih melakukan public speaking.

Intelektualisme merupakan aktivitas ilmiah lahir-batin yang kompleks. Menurut Mahfud MD, intelektualisme merupakan sikap ketaatan dan kesetiaan pada daya berpikir dan pencarian kebenaran ilmiah disertasi sikap berpihak pada kebaikan umum.

Bagi saya, intelektualisme merupakan wujud kecintaan mencari kebenaran. Yang benar pasti berpihak pada kemaslahatan publik. Intelektualisme, kurang lebih mirip seperti paham atau aktivitas yang dikerjakan para filosof.

Intelektualisme juga merupakan ikhtiar untuk menjaga kewarasan di tengah gempuran media sosial yang mengusung jargon “maha benar netizen dengan segala cuitannya.” Netizen dengan beragam latar belakang pendidikan menjelma menjadi pakar-pakar yang mengalahkan pakar sesungguhnya.

Benar dan tidaknya pendapat mereka bukan karena bantahan sekian banyak ilmuwan yang menulis dalam jurnal dan buku. Patokan kebenaran mereka diukur dari centang biru, jumlah follower, share, dan comment pada media sosial mereka.

Pada era matinya kepakaran (Nichols, 2021), para ulama dan ilmuwan mendapat tantangan yang luar biasa. Otoritas kepakaran mereka yang dibangun melalui pendidikan berjenjang, riset, publikasi ilmiah dan integritas pribadi, bisa kalah oleh pendapat netizen yang uneducated.

Di media sosial, kesetaraan betul-betul diamalkan secara radikal. Tidak ada cium tangan di media sosial. Semuanya sama dan setara, apakah dia professor atau mahasiswa semester 1.

Dalam konteks ini, AICIS merupakan oase dan selebrasi hidupnya kepakaran (the life of expertise). Yang pakar berbeda dengan yang tidak pakar. Rasionalitas dihormati. Riset menjadi landasan kebijakan. Diskusi dan dialog menjadi jalan terbaik menyelesaikan berbagai persoalan.

Kebenaran merupakan puncak seluruh aktivitas pencarian ilmiah. Inilah ruh kaum cendekia yang harus terus dihidupkan melalui berbagai kegiatan ilmiah, salah satunya lewat forum AICIS ini.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1760 seconds (0.1#10.140)