LSI Denny JA Gunakan AI untuk Menangkan Pilpres Lima Kali Berturut- turut
loading...
A
A
A
JAKARTA - Situasi politik Indonesia semakin dinamis jelang Pilpres 2024 setelah dua nama resmi diusung sebagai bakal calon presiden (Capres). Kedua capres tersebut yakni, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo.
Pilpres 2024 juga disebut-sebut akan menghasilkan tiga poros, di mana satu nama terakhir yang akan diusung adalah Prabowo Subianto. Tiga sosok itu juga dalam beberapa tahun terakhir menempati posisi teratas bursa kandidat Capres 2024.
Sekarang, menarik untuk mencermati strategi seperti apa yang akan digunakan oleh tim pemenangan para capres untuk merebut hati pemilih saat kampanye dan memenangkan pertarungan Pilpres 2024.
Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, menyebut, salah satu teknik dalam marketing politik adalah Pro-Innovation yang tertuang dalam bukunya yang berjudul “Membangun Legacy: 10 P Untuk Marketing Politik, Teori dan Praktek.”
Menurutnya, marketing politik sangat memerlukan inovasi, terutama di tengah perkembangan teknologi terbaru yang dengan segera bisa mengubah pola kampanye politik. Bahkan, dosen FISIP Universitas Indonesia Lili Romli menyebut buku itu sebagai Denny JA’s Law of Political Marketing.
“Seseorang yang dianggap sangat ahli soal marketing politik di zamannya, lalu katakanlah ia tertidur selama 10 tahun, ketika ia terbangun ia kaget, betapa tertinggalnya ia soal marketing politik,” kata Denny JA, Kamis (27/4/2023).
Denny JA pada pelaksanaan dua kali pemilu di Amerika Serikat. Pada 2012, Barack Obama membawa hal baru dengan menggunakan media sosial dalam kampanye politiknya. Empat tahun kemudian, Donald Trump membawa hal baru lagi, yakni meme politik. Meme politik dilakukan menyerang lawan politiknya, yakni Hillary Clinton.
Saat itu, pada 2016, Hillary Clinton sedang membangun sentimen di kalangan perempuan yang ingin direbut hatinya untuk merasa saatnya Amerika Serikat memiliki presiden perempuan pertama. Apalagi, jumlah pemilih perempuan di AS kala itu mencapai 50%. Menang telak di pemilih perempuan, artinya akan menang dalam pilpres.
Namun, tim konsultan politik Donald Trump membaca strategi Hillary Clinton. Kekuatan Hillary Clinton di segmen pemilih perempuan justru harus diubah menjadi kelemahan. Maka, dipilihlah cara dengan membuat pemilih perempuan menjauh dari Hillary Clinton. “Mereka hidupkan kembali memori publik soal kelakuan Bill Clinton, Presiden AS sebelum Obama, suami Hillary Clinton,” tutur Denny JA.
Dia menambahkan, segar dalam memori publik pemilih Amerika Serikat, betapa Bill Clinton ketika menjadi presiden di Istana Negara memiliki love affair dengan pegawai magangnya, Monica Lewinsky.
Lalu, Bill Clinton mencampakkan Monica Lewinsky ketika kasus tersebut merebak ke publik. Kaum perempuan marah kepada Bill Clinton dua kali. Pertama, Bill menghianati Hillary Clinton. Kedua, Bill Clinton mencampakkan pula Monica Lewinsky.
“Maka kasus ini diangkat oleh tim Donald Trump menjadi meme politik. Dalam meme itu, wajah Bill Clinton senang sekali. Ia berkata (jika Hillary menang) Yess, saya akan punya pegawai intern lagi. Meme politik ini menjadi viral. Publik luas saling mem-forward dan membagi-bagikan meme politik itu,” terang Denny JA.
Masih soal inovasi, Denny JA mengatakan, pada Pilpres 2024 di Indonesia, tak ada inovasi lebih besar dan lebih hebat dibandingkan Artificial Intelligence (AI). Bahkan, dia mengaku memiliki dua asisten dalam bentuk Artificial Intelligence, yakni Midjourney yang membantu membuat lukisan dan Chat GPT yang membantu melakukan riset.
“Dalam 20 tahun profesi saya sebagai konsultan politik, sudah terjadi empat kali pilpres yang dipilih langsung. Saya ikut memenangkan keempat capres itu berturut-turut. Tahun 2024, jika saya kembali ikut memenangkan capres, ini menjadi lima kali berturut-turut dan selayaknya pada Pilpres 2024 Artificial Intelligence digunakan,” ujar Denny JA.
Denny menjelaskan, setidaknya ada empat hal yang bisa dilakukan Artificial Intelligence untuk membantu dunia marketing politik. Pertama, Artificial Intelligence akan lebih cepat dan lebih akurat membuat model perilaku pemilih.
Model yang menggunakan Artificial Intelligence dapat membuat prediksi dan dapat digunakan untuk menentukan probabilitas seorang pemilih mendukung kandidat tertentu. “Dengan menganalisis faktor-faktor seperti pola pemungutan suara, data demografis, dan preferensi isu, model ini dapat mengidentifikasi pemilih yang kemungkinan besar akan mendukung kandidat tertentu,” kata Denny JA.
Kedua, Artificial Intelligence akan lebih cepat dan lengkap untuk melakukan personalisasi pesan kandidat. Artificial Intelligence dapat menyesuaikan pesan capres untuk masing-masing pemilih dengan menganalisis beberapa variabel. Antara lain informasi demografis, catatan pemungutan suara, dan kekhawatiran atau preferensi pemilih pada isu tertentu.
“Pendekatan ini memungkinkan kampanye politik untuk membuat pesan yang lebih terarah, emosional dan efektif. Semakin pesan bersifat personal, sesuai dengan kebutuhan individual pemilih, semakin ia berpotensi mendapatkan dukungan pemilih itu,” ujarnya.
Ketiga, Artificial Intelligence membantu lebih cepat dan akurat mengenali kekuatan dan kelemahan masing-masing kandidat yang bersaing. Dalam marketing politik, dikenal tradisi yang disebut opposition research. Setiap kubu yang bertarung harus meriset secara detail siapa rivalnya, terutama jejaknya yang pernah bermasalah.
“Penelitian oposisi menjadi sentral untuk kampanye politik. Ia melibatkan riset mendalam soal jejak pesaing, setidaknya jejak digital. Lebih dari yang lain, Artificial Intelligence dapat melakukan ini lebih cepat dan lebih akurat,” sambungnya.
Keempat, Artificial Intelligence dapat membantu lebih cepat dan lebih akurat membaca percakapan di media sosial. Apalagi, di era ini, media sosial menjadi medium yang kian hari kian merasuk ke dalam memori kolektif publik luas.
Artificial Intelligence dapat digunakan untuk tujuan menganalisis influencer, tren, dan sentimen media sosial. Ini dapat membantu capres memahami lebih baik tentang preferensi pemilih dan jangkauan media sosial. “Maka diskusi dan topik yang relevan dapat diidentifikasi, memungkinkan kampanye politik untuk terlibat dengan pemilih secara real-time,” tutupnya.
Pilpres 2024 juga disebut-sebut akan menghasilkan tiga poros, di mana satu nama terakhir yang akan diusung adalah Prabowo Subianto. Tiga sosok itu juga dalam beberapa tahun terakhir menempati posisi teratas bursa kandidat Capres 2024.
Sekarang, menarik untuk mencermati strategi seperti apa yang akan digunakan oleh tim pemenangan para capres untuk merebut hati pemilih saat kampanye dan memenangkan pertarungan Pilpres 2024.
Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, menyebut, salah satu teknik dalam marketing politik adalah Pro-Innovation yang tertuang dalam bukunya yang berjudul “Membangun Legacy: 10 P Untuk Marketing Politik, Teori dan Praktek.”
Menurutnya, marketing politik sangat memerlukan inovasi, terutama di tengah perkembangan teknologi terbaru yang dengan segera bisa mengubah pola kampanye politik. Bahkan, dosen FISIP Universitas Indonesia Lili Romli menyebut buku itu sebagai Denny JA’s Law of Political Marketing.
“Seseorang yang dianggap sangat ahli soal marketing politik di zamannya, lalu katakanlah ia tertidur selama 10 tahun, ketika ia terbangun ia kaget, betapa tertinggalnya ia soal marketing politik,” kata Denny JA, Kamis (27/4/2023).
Denny JA pada pelaksanaan dua kali pemilu di Amerika Serikat. Pada 2012, Barack Obama membawa hal baru dengan menggunakan media sosial dalam kampanye politiknya. Empat tahun kemudian, Donald Trump membawa hal baru lagi, yakni meme politik. Meme politik dilakukan menyerang lawan politiknya, yakni Hillary Clinton.
Saat itu, pada 2016, Hillary Clinton sedang membangun sentimen di kalangan perempuan yang ingin direbut hatinya untuk merasa saatnya Amerika Serikat memiliki presiden perempuan pertama. Apalagi, jumlah pemilih perempuan di AS kala itu mencapai 50%. Menang telak di pemilih perempuan, artinya akan menang dalam pilpres.
Namun, tim konsultan politik Donald Trump membaca strategi Hillary Clinton. Kekuatan Hillary Clinton di segmen pemilih perempuan justru harus diubah menjadi kelemahan. Maka, dipilihlah cara dengan membuat pemilih perempuan menjauh dari Hillary Clinton. “Mereka hidupkan kembali memori publik soal kelakuan Bill Clinton, Presiden AS sebelum Obama, suami Hillary Clinton,” tutur Denny JA.
Dia menambahkan, segar dalam memori publik pemilih Amerika Serikat, betapa Bill Clinton ketika menjadi presiden di Istana Negara memiliki love affair dengan pegawai magangnya, Monica Lewinsky.
Lalu, Bill Clinton mencampakkan Monica Lewinsky ketika kasus tersebut merebak ke publik. Kaum perempuan marah kepada Bill Clinton dua kali. Pertama, Bill menghianati Hillary Clinton. Kedua, Bill Clinton mencampakkan pula Monica Lewinsky.
“Maka kasus ini diangkat oleh tim Donald Trump menjadi meme politik. Dalam meme itu, wajah Bill Clinton senang sekali. Ia berkata (jika Hillary menang) Yess, saya akan punya pegawai intern lagi. Meme politik ini menjadi viral. Publik luas saling mem-forward dan membagi-bagikan meme politik itu,” terang Denny JA.
Masih soal inovasi, Denny JA mengatakan, pada Pilpres 2024 di Indonesia, tak ada inovasi lebih besar dan lebih hebat dibandingkan Artificial Intelligence (AI). Bahkan, dia mengaku memiliki dua asisten dalam bentuk Artificial Intelligence, yakni Midjourney yang membantu membuat lukisan dan Chat GPT yang membantu melakukan riset.
“Dalam 20 tahun profesi saya sebagai konsultan politik, sudah terjadi empat kali pilpres yang dipilih langsung. Saya ikut memenangkan keempat capres itu berturut-turut. Tahun 2024, jika saya kembali ikut memenangkan capres, ini menjadi lima kali berturut-turut dan selayaknya pada Pilpres 2024 Artificial Intelligence digunakan,” ujar Denny JA.
Denny menjelaskan, setidaknya ada empat hal yang bisa dilakukan Artificial Intelligence untuk membantu dunia marketing politik. Pertama, Artificial Intelligence akan lebih cepat dan lebih akurat membuat model perilaku pemilih.
Model yang menggunakan Artificial Intelligence dapat membuat prediksi dan dapat digunakan untuk menentukan probabilitas seorang pemilih mendukung kandidat tertentu. “Dengan menganalisis faktor-faktor seperti pola pemungutan suara, data demografis, dan preferensi isu, model ini dapat mengidentifikasi pemilih yang kemungkinan besar akan mendukung kandidat tertentu,” kata Denny JA.
Kedua, Artificial Intelligence akan lebih cepat dan lengkap untuk melakukan personalisasi pesan kandidat. Artificial Intelligence dapat menyesuaikan pesan capres untuk masing-masing pemilih dengan menganalisis beberapa variabel. Antara lain informasi demografis, catatan pemungutan suara, dan kekhawatiran atau preferensi pemilih pada isu tertentu.
“Pendekatan ini memungkinkan kampanye politik untuk membuat pesan yang lebih terarah, emosional dan efektif. Semakin pesan bersifat personal, sesuai dengan kebutuhan individual pemilih, semakin ia berpotensi mendapatkan dukungan pemilih itu,” ujarnya.
Ketiga, Artificial Intelligence membantu lebih cepat dan akurat mengenali kekuatan dan kelemahan masing-masing kandidat yang bersaing. Dalam marketing politik, dikenal tradisi yang disebut opposition research. Setiap kubu yang bertarung harus meriset secara detail siapa rivalnya, terutama jejaknya yang pernah bermasalah.
“Penelitian oposisi menjadi sentral untuk kampanye politik. Ia melibatkan riset mendalam soal jejak pesaing, setidaknya jejak digital. Lebih dari yang lain, Artificial Intelligence dapat melakukan ini lebih cepat dan lebih akurat,” sambungnya.
Keempat, Artificial Intelligence dapat membantu lebih cepat dan lebih akurat membaca percakapan di media sosial. Apalagi, di era ini, media sosial menjadi medium yang kian hari kian merasuk ke dalam memori kolektif publik luas.
Artificial Intelligence dapat digunakan untuk tujuan menganalisis influencer, tren, dan sentimen media sosial. Ini dapat membantu capres memahami lebih baik tentang preferensi pemilih dan jangkauan media sosial. “Maka diskusi dan topik yang relevan dapat diidentifikasi, memungkinkan kampanye politik untuk terlibat dengan pemilih secara real-time,” tutupnya.
(cip)