Penjelasan UI Terkait Thermometer Gun Dianggap Membahayakan Otak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Departemen Fisika Kedokteran Klaster Medical Technology IMERI, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) menyampaikan pernyataan untuk meluruskan persepsi informasi terkait viralnya berita tentang termometer tembak (thermogun) yang dianggap membahayakan otak karena memancarkan laser.
Tim penyusun dari Fakultas Kedokteran UI itu terdiri dari Prasandhya Astagiri Yusuf, Anindya Pradipta Susanto, Muhammad Hanif Nadhif dan Muhammad Satrio Utomo. Dalam keterangan tertulis yang diberikan kepada wartawan di Jakarta, Selasa (21/7/2020).
(Baca juga: Sebut Berbahaya, Ichsanuddin Noorsy Ogah Disorot Thermometer Gun)
Thermogun merupakan salah satu jenis termometer inframerah untuk mengukur temperatur tubuh yang umumnya di arahkan ke dahi. Alat ini menjadi andalan utama sebagai alat skrining Covid-19 (virus Corona) dengan gejala demam, alat ini tersedia hampir di setiap pintu masuk tempat umum dan perkantoran.
(Baca juga: Vaksin Covid-19 Tiba di Indonesia, Jalani Uji Klinik Tahap Tiga)
Pengunjung atau pegawai dengan temperatur di atas 37,5℃ dilarang masuk dan diminta untuk memeriksakan diri ke fasilitas layanan kesehatan. Namun, beberapa hari ini masyarakat diresahkan dengan viralnya video di media sosial yang menyatakan, alat ini berbahaya karena dianggap menggunakan laser dan merusak otak.
Apakah benar demikian, bagaimana cara kerja termometer inframerah?
Berbeda dengan termometer raksa atau termometer digital yang menggunakan prinsip rambatan panas secara konduksi, termometer ini menggunakan prinsip rambatan panas melalui radiasi. Dalam prinsip ilmu fisika kedokteran, setiap benda dengan temperatur lebih besar dari 0 Kelvin akan memancarkan radiasi elektromagnetik atau sering disebut dengan radiasi benda hitam (Asas Black).
Kelvin (K) adalah satuan baku untuk temperatur dengan konversi 0℃ setara dengan 273 K. Kisaran suhu tubuh manusia normal (36 - 37,5℃) berada di dalam pancaran spektrum inframerah jika dilihat dari jangkauan radiasi elektromagnetik. Energi radiasi dari permukaan tubuh ditangkap dan kemudian diubah menjadi energi listrik dan ditampilkan dalam angka digital temperatur derajat celcius pada thermogun.
Prinsip teknologi serupa juga digunakan di kamera termal untuk skrining temperatur di bandara serta thermal goggles di militer untuk mendeteksi keberadaan seseorang di malam hari yang gelap. (Baca juga: Kasus Covid-19 Lampaui China, Reisa Bilang Jangan Bandingkan Angka)
Termometer inframerah yang tersedia di pasaran umumnya untuk mendeteksi temperatur gendang telinga (termometer telinga) atau temperatur dahi (termometer dahi). Termometer dahi lebih cocok untuk skrining gejala demam Covid-19 karena hanya perlu “ditembak” ke arah dahi tanpa perlu kontak/bersentuhan langsung dengan kulit. Termometer ini mendeteksi temperatur arteri temporal pada dahi untuk mengestimasi suhu tubuh seseorang.
Hal yang perlu diperhatikan adalah akurasi pengukuran temperatur bergantung pada jarak dan sudut alat thermogun terhadap objek yang diukur. Maka dari itu, jangan heran jika hasil pengukuran bisa berubah-ubah.
Satu parameter penting yang menentukan tingkat akurasi pengukuran thermogun adalah perbandingan jarak dengan luas titik pengukuran. Biasanya angka perbandingan ini adalah 12:1. Dengan kata lain, untuk mengukur suatu titik dengan luas 1 cm persegi, jarak pengukuran ideal adalah 12 cm. Di sinilah sebenarnya peran laser dalam suatu thermogun, yaitu membantu operator menentukan titik pusat pengukuran. Namun alat thermogun dengan laser hanya ditemui untuk keperluan pengukuran termperatur di industri, bukan untuk medis.
Apa itu laser?
Laser merupakan akronim dari light amplification by stimulated emission of radiation atau amplifikasi cahaya melalui pancaran terstimulasi. Cahaya dengan satu warna/monokromatik ini memiliki keandalan utama berkas cahaya yang koheren. Beberapa contoh aplikasinya adalah laser pointer untuk presentasi, pembaca/penulis CD/DVD, hingga pemotong jaringan pada prosedur pembedahan. Energinya disesuaikan dengan fungsi, semakin besar akan semakin destruktif.
Beberapa thermogun industri mungkin saja dilengkapi dengan laser energi rendah, tetapi fungsinya sebagai penunjuk (pointer) untuk ketepatan arah, sehingga tidak ada kaitan langsung dengan fungsi pengukuran temperatur.
Apakah laser tersebut berbahaya untuk otak manusia?
Sama halnya dengan laser pointer, laser ini tidak ada efek berbahaya untuk otak, tapi jangan sampai menembak ke mata secara langsung karena dapat merusak retina. Yang jelas, penggunaan thermogun industri untuk mendeteksi temperatur tubuh manusia tidak tepat karena bukan peruntukannya.
Sebagai kesimpulan, alat thermogun untuk skrining temperatur seseorang bekerja dengan menerima pancaran inframerah dari benda, bukan dengan memancarkan radiasi apalagi laser.
Sebagai alat pengukur suhu sebagai indikator kesehatan, thermogun direkomendasikan untuk dikalibrasi minimal 1 tahun sekali. Kalibrasi diperlukan agar skrining suhu terjaga akurasinya karena informasi yang salah bisa membuat gagal skrining suhu (positif palsu dan negatif palsu) sehingga membahayakan banyak orang.
Pengukuran temperatur tubuh dengan thermogun tidak bisa dijadikan acuan utama terkait apakah seseorang menderita Covid-19 atau tidak, karena pasien Covid-19 bisa muncul tanpa gejala demam. Kami berharap penggunaan thermogun secara luas di tempat-tempat publik seperti pusat perbelanjaan, perkantoran, dan layanan transportasi publik disertai dengan SOP yang jelas.
Sementara itu Dekan Fakultas Kedokteran UI Prof Ari Fachrial Syam mengutarakan, salah satu faktor penyebab sulitnya penanganan Covid-19 di Indonesia adalah banyaknya hoaks beredar seputar Covid-19 di tengah masyarakat.
Prof Ari Fachrial menegaskan bahwa thermogun itu sudah lolos uji kesehatan jadi sudah diperhitungkan bahwa alat itu aman. "Thermometer inframerah tidak memancarkan radiasi seperti sinar-X dan, karena itu, tidak mempengaruhi sistem saraf termasuk juga tidak merusak retina," ujar Akademisi dan Praktisi Klinik itu.
Tim penyusun dari Fakultas Kedokteran UI itu terdiri dari Prasandhya Astagiri Yusuf, Anindya Pradipta Susanto, Muhammad Hanif Nadhif dan Muhammad Satrio Utomo. Dalam keterangan tertulis yang diberikan kepada wartawan di Jakarta, Selasa (21/7/2020).
(Baca juga: Sebut Berbahaya, Ichsanuddin Noorsy Ogah Disorot Thermometer Gun)
Thermogun merupakan salah satu jenis termometer inframerah untuk mengukur temperatur tubuh yang umumnya di arahkan ke dahi. Alat ini menjadi andalan utama sebagai alat skrining Covid-19 (virus Corona) dengan gejala demam, alat ini tersedia hampir di setiap pintu masuk tempat umum dan perkantoran.
(Baca juga: Vaksin Covid-19 Tiba di Indonesia, Jalani Uji Klinik Tahap Tiga)
Pengunjung atau pegawai dengan temperatur di atas 37,5℃ dilarang masuk dan diminta untuk memeriksakan diri ke fasilitas layanan kesehatan. Namun, beberapa hari ini masyarakat diresahkan dengan viralnya video di media sosial yang menyatakan, alat ini berbahaya karena dianggap menggunakan laser dan merusak otak.
Apakah benar demikian, bagaimana cara kerja termometer inframerah?
Berbeda dengan termometer raksa atau termometer digital yang menggunakan prinsip rambatan panas secara konduksi, termometer ini menggunakan prinsip rambatan panas melalui radiasi. Dalam prinsip ilmu fisika kedokteran, setiap benda dengan temperatur lebih besar dari 0 Kelvin akan memancarkan radiasi elektromagnetik atau sering disebut dengan radiasi benda hitam (Asas Black).
Kelvin (K) adalah satuan baku untuk temperatur dengan konversi 0℃ setara dengan 273 K. Kisaran suhu tubuh manusia normal (36 - 37,5℃) berada di dalam pancaran spektrum inframerah jika dilihat dari jangkauan radiasi elektromagnetik. Energi radiasi dari permukaan tubuh ditangkap dan kemudian diubah menjadi energi listrik dan ditampilkan dalam angka digital temperatur derajat celcius pada thermogun.
Prinsip teknologi serupa juga digunakan di kamera termal untuk skrining temperatur di bandara serta thermal goggles di militer untuk mendeteksi keberadaan seseorang di malam hari yang gelap. (Baca juga: Kasus Covid-19 Lampaui China, Reisa Bilang Jangan Bandingkan Angka)
Termometer inframerah yang tersedia di pasaran umumnya untuk mendeteksi temperatur gendang telinga (termometer telinga) atau temperatur dahi (termometer dahi). Termometer dahi lebih cocok untuk skrining gejala demam Covid-19 karena hanya perlu “ditembak” ke arah dahi tanpa perlu kontak/bersentuhan langsung dengan kulit. Termometer ini mendeteksi temperatur arteri temporal pada dahi untuk mengestimasi suhu tubuh seseorang.
Hal yang perlu diperhatikan adalah akurasi pengukuran temperatur bergantung pada jarak dan sudut alat thermogun terhadap objek yang diukur. Maka dari itu, jangan heran jika hasil pengukuran bisa berubah-ubah.
Satu parameter penting yang menentukan tingkat akurasi pengukuran thermogun adalah perbandingan jarak dengan luas titik pengukuran. Biasanya angka perbandingan ini adalah 12:1. Dengan kata lain, untuk mengukur suatu titik dengan luas 1 cm persegi, jarak pengukuran ideal adalah 12 cm. Di sinilah sebenarnya peran laser dalam suatu thermogun, yaitu membantu operator menentukan titik pusat pengukuran. Namun alat thermogun dengan laser hanya ditemui untuk keperluan pengukuran termperatur di industri, bukan untuk medis.
Apa itu laser?
Laser merupakan akronim dari light amplification by stimulated emission of radiation atau amplifikasi cahaya melalui pancaran terstimulasi. Cahaya dengan satu warna/monokromatik ini memiliki keandalan utama berkas cahaya yang koheren. Beberapa contoh aplikasinya adalah laser pointer untuk presentasi, pembaca/penulis CD/DVD, hingga pemotong jaringan pada prosedur pembedahan. Energinya disesuaikan dengan fungsi, semakin besar akan semakin destruktif.
Beberapa thermogun industri mungkin saja dilengkapi dengan laser energi rendah, tetapi fungsinya sebagai penunjuk (pointer) untuk ketepatan arah, sehingga tidak ada kaitan langsung dengan fungsi pengukuran temperatur.
Apakah laser tersebut berbahaya untuk otak manusia?
Sama halnya dengan laser pointer, laser ini tidak ada efek berbahaya untuk otak, tapi jangan sampai menembak ke mata secara langsung karena dapat merusak retina. Yang jelas, penggunaan thermogun industri untuk mendeteksi temperatur tubuh manusia tidak tepat karena bukan peruntukannya.
Sebagai kesimpulan, alat thermogun untuk skrining temperatur seseorang bekerja dengan menerima pancaran inframerah dari benda, bukan dengan memancarkan radiasi apalagi laser.
Sebagai alat pengukur suhu sebagai indikator kesehatan, thermogun direkomendasikan untuk dikalibrasi minimal 1 tahun sekali. Kalibrasi diperlukan agar skrining suhu terjaga akurasinya karena informasi yang salah bisa membuat gagal skrining suhu (positif palsu dan negatif palsu) sehingga membahayakan banyak orang.
Pengukuran temperatur tubuh dengan thermogun tidak bisa dijadikan acuan utama terkait apakah seseorang menderita Covid-19 atau tidak, karena pasien Covid-19 bisa muncul tanpa gejala demam. Kami berharap penggunaan thermogun secara luas di tempat-tempat publik seperti pusat perbelanjaan, perkantoran, dan layanan transportasi publik disertai dengan SOP yang jelas.
Sementara itu Dekan Fakultas Kedokteran UI Prof Ari Fachrial Syam mengutarakan, salah satu faktor penyebab sulitnya penanganan Covid-19 di Indonesia adalah banyaknya hoaks beredar seputar Covid-19 di tengah masyarakat.
Prof Ari Fachrial menegaskan bahwa thermogun itu sudah lolos uji kesehatan jadi sudah diperhitungkan bahwa alat itu aman. "Thermometer inframerah tidak memancarkan radiasi seperti sinar-X dan, karena itu, tidak mempengaruhi sistem saraf termasuk juga tidak merusak retina," ujar Akademisi dan Praktisi Klinik itu.
(maf)